Monday, 16 December 2019

Berguru Pada Yusran Darmawan, Blogger Tampan Asal Buton

Berguru langsung
Minggu kemarin secara berturut-turut, akhirnya aku bisa menjumpai sosok penulis yang sudah lama ingin kutemui. Mungkin dia tidak pernah menyadari, selama dua tahun penuh, aku telah menyulam banyak kemungkinan hanya untuk belajar langsung darinya. Yusran Darmawan, dialah orangnya.

Pernah satu waktu, kawanku asal Toraja yang berkuliah di IPB mengirimiku poster diskusi penulisan yang akan mereka selenggrakan lewat paguyuban Sulawesi. Pembicaranya kak Yus. Sudah pasti senang bukan kepalang. Aku tak sabar menunggu Hari-H. Sayang, menjelang pelaksanaan, acaranya dibatalkan tanpa kutahu sebabnya. Aih kesalnya!

Awal mula aku mengenalnya, lewat tulisan berjudul Senjata Digital untuk Aktivis Jaman Now. Ia mampu menerjemahkan tantangan aktivis dengan konteks kekinian. Turun ke jalan bukan lagi pilihan satu-satunya untuk menggugat tiran, gerakan sosial perlu dikawinkan dengan kepiawaian memainkan gawai. Tulisan inilah yang menjadi pintu masukku ke rumah onlinenya, www.timur-angin.com

Sejak itu pula, setiap kali berselancar di dunia maya, tangan dan pikiranku kerap bergerak diluar kendali. Keduanya seperti bukan bagian diriku. Meskipun kubelokkan, kutuntut agar tetap konsentrasi untuk mencari bahan dan tugas perkuliahan, tetap saja mereka membawaku pada website kak Yusran. Bahkan mengajakku menelusuri ulang jejak-jejak hidupnya dari tahun pertama dia nge-Blog, 2005. Wajar kemudian, aku merasa sudah begitu familiar jauh sebelum bertemu dengannya.

Fiks, aku harus mendaulatnya sebagai guru. Akhirnya, semua saluran online maupun offline kumaksimalkan dengan baik hanya untuk mengetahui tentangnya. Aku senang sekali saat mendapat kenalan dari Sultra, atau kawan yang kebetulan pernah berkuliah di Unhas, karena dengan begitu, aku memperoleh peluang untuk menelusuri jejak kak Yusran lebih detail.

Setelah sekian lama mencoba peruntungan, akhirnya kuperoleh juga kesempatan untuk bersilaturrahmi dengannya. Tidak butuh waktu lama, konfirmasi yang ia kirim kuterima dengan riang dan langsung kuiyakan. Bagiku, peluang itu bisa jadi hanya berlaku di salah satu titik ruang dan waktu saja. Begitu titik koordinatnya bergeser, kesempatannya bisa hilang dan takkan terulang.

Sungguh, blogger tampan dan pelatih kucing asal Buton itu telah memasung banyak orang dengan pesonanya.

Tak hanya sekedar menulis kata, ia seorang seniman yang piawai melukis diksi. Mengubahnya jadi narasi yang membawa pembaca pada ruang refleksi. Kalimatnya selalu menggugah. Bernas. Tidak sebatas mengulas data dan fakta, tulisannya serupa perkawinan nada yang melahirkan irama indah. Membuat pembaca selalu ingin berhenti sejenak untuk meresapi kata demi kata.

Tulisannya hidup dan bernyawa. Memaksa pembaca berdialog dengan diri sendiri tanpa diminta, merangsang bangunan imajinasi tanpa tepi. Ia berhasil memantik emosi pembacanya untuk turut merasakan apa yang dia tulis. Ia mahir meracik pengalaman personal menjadi pesan berdimensi sosial. Bertutur namun tak menggurui. Tulisannya atraktif dan romantis. Aku benar-benar suka gayanya.

Bukan bermaksud berlebihan, membaca kumpulan pengalamannya saat di Amerika, membuatku tersentak. Ya, dia pernah memperoleh beasiswa kuliah ke Amerika dengan modal tulisan. Penuturannya tentang negara Adidaya itu berhasil menyingkap kepandiranku. Melunturkan kultus modern terhadap mereka. Membongkar ulang bangunan informasi yang mengendap di kepalaku tentang kemapanan negara Paman Sam itu.

Lagi-lagi, ia berhasil mengabstraksi realitas yang jarang orang ketahui tentang Amerika. Semua pengalaman selama di sana, ia kompilasi dalam bukunya berjudul Kopi Sumatera di Amerika. Dangke banyak buku dan sharingnya kak Yus. Sumpah, keren!


0 komentar:

Post a Comment