Wednesday 6 April 2022

"Raja-Raja Kecil" Yang Tak Lagi Bertaji


"Susah jaman sekarang, Jon. Daerah tidak semenarik dulu... Izin tambang dah diambil pusat. Lahan 'garapan kita' jadi hilang. Gak ada lagi mainan, bro..." ucap seorang kawan. Dia orang kepercayaan salah satu bupati di daerah penghasil batubara. Ring setengah penguasa.

Praktis, sejak diberlakukannya peralihan perizinan tambang, dari daerah ke pusat, banyak kepala daerah yang kecele. Sebab sektor perizinan memang menjadi lahan basah selama ini. Ada banyak celah untuk mengeruk pundi-pundi uang dari proses pengelolaan kekayaan alam tersebut.

Sebelum pemberlakuan UU Minerba tahun 2020, Bupati adalah raja-raja kecil di daerahnya. Bahkan kekuasaannya bisa melampaui pejabat pusat. Mereka punya wewenang untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa kontrol. Selagi kendalanya hanya sebatas teknis-administrarif, semuanya bisa di atasi sekali kedip.

Jika mereka mampu mengkonsolidasikan pemerintahan dengan baik, mereka bisa menerima cuan melimpah dalam waktu singkat. Hanya bermodal selembar surat sakti dan tanda tangan.

"Kita bisa mainkan tarif setiap IUP yang terbit. Rentangnya antara Rp. 500 Juta - 1 Milyar. Atau kalau mau aman, kita minta porsi saham di perusahaan. Masukkan nama saja sebagai salah satu direksinya," ungkap sang kawan. Selama ini ia memang kerap ditunjuk oleh bupati sebagai operator lapangan. Juru nego sekaligus tukang angkut-angkut cuan panas.

Selain dua cara di atas, jasa imbal balik yang kerap dipakai Kepala Daerah, yakni meminta setoran dari setiap ton penjualan komoditas perusahaan. 50:50, 40:60, sesuai deal-dealan. Jika kompromi kepentingan ini tidak menemukan kesepakatan, proses izinpun terancam dihambat.

Kewenangan kepala daerah mengeluarkan IUP tak lepas dari kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Jika ditelusuri lebih jauh, prosesnya diawali dengan berakhirnya kekuasaan orde baru. Reformasi menandai pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Sentralisasi ke desentralisasi.

Sejak itu, perizinan tambang bagai cendawan di musim hujan. Dalam rentang sepuluh tahun, penerbitan IUP meningkat 10 kali lipat. Jika sebelumnya domain perizinan hanya dimonopoli pusat lewat kroni Orba-nya, tidak sejak pemberlakuan otonomi daerah.

Para bupati sudah memiliki titah ampuh untuk mengelola daerahnya. Mereka mampu melahirkan izin sebanyak-banyaknya. Bahkan mereka bisa mencabut izin yang sudah eksis. Jual-beli izin inilah yang menyebabkan kekayaan mereka meningkat berkali lipat.

Tak heran, 2020 ke bawah, kerap kita dengar pejabat daerah yang ditangkap gara-gara suap izin pertambangan. Ada juga yang tertangkap karena mencabut paksa IUP perusahaan tertentu, dan menerbitkan IUP perusahaan lain sebagai gantinya. Bisa jadi karena yang lama setorannya tidak lancar. Sehingga terjadi pergantian pemain.

Contoh kasus lain, saking beraninya, ada seorang bupati menerbitkan izin di atas hutan lindung atau hutan konservasi. Mereka langkahi wewenang pusat. Tak ada pamit ataupun surat. KLHK, lewaaaatt...

Ada banyak kasus, dimana lahan konsesi hampir mendominasi luasan wilayah satu kabupaten. Merangsek hingga ke pemukiman penduduk tanpa sepengetahuan mereka. Tindakan ini menyebabkan tumpah tindih status pemanfaatan wilayah. Berujung pada penggusuran secara halus hunian warga.

Ada banyak operandi korupsi yang lazim dijalankan. Sederhananya, izin bisa diobral secara serampangan demi mengejar keuntungan tanpa peduli lokasi yang ditunjuk tersebut milik siapa, dan kawasan apa. Penambang tanpa izin turut dipelihara. Cuan dari mereka tidak terpantau oleh negara. Tidak ada pajak yang disetorkan. Kerja-kerja dalam senyap. Pencurian devisa dilakukan secara sistematis, masif dan terstruktur.

Proses perizinan sengaja dibiarkan tertutup. Tak banyak informasi terkait rantai pengelolaan kekayaan alam tersebut. Tujuannya agar publik tak banyak ikut campur. Kongkalingkong pejabat, pengusaha, pihak keamanan, dan elit setempat bergerak dengan kompak dalam satu harmoni.

Diketuknya UU Minerba adalah petaka bagi pejabat daerah. Terdengar bagai petir yang merobek telinga. Lebih-lebih bagi mereka yang baru saja terpilih lewat Pilkada 2020 silam. Tidak balik modal. Lahan "basahnya" sudah berpindah tangan.

Peralihan kuasa perizinan tersebut jadi babak baru dalam pengelolaan sumber daya alam negara. Masih hangat pemberitaan awal tahun lalu, Presiden mencabut 2.078 izin tambang yang dianggap 'nakal'. Ribut-ributnya masih terdengar sampai sekarang. Entah pertanda baik atau sebaliknya.

"Hanya pergantian pemain saja. Nanti juga bakal dikocok ulang itu barang. Upaya kanalisasi perizinan satu pintu oleh pusat. Intinya pemerintah ingin mengembalikan monopoli perizinan yang selama ini jadi domain daerah. ORBA Reborn," cetus kawanku. Saya hanya tertawa datar.

Bagi saya, sudah betul perizinan itu ada di daerah. Alasan awal kenapa perizinan tidak di pusat, sebab daerah lah yang tahu persis kondisi dan kebutuhannya. Mendekatkan kebijakan kepada publik. Termasuk soal perlindungan lingkungan.

Yang perlu dibenahi adalah proses pengawasan. Dorong pemerintah daerah untuk lebih akuntabel. Beri publik akses penuh terhadap rantai pengelolaan SDA, dari perizinan hingga produksi agar turut terlibat aktif mengawasi.

Terpenting dari semua itu, kuncinya terletak pada penegakkan hukum dan kebijaksanaan pemerintah. The Man Behind The Gun. Tergantung pada si pemegang pistol. Jika dia adalah seorang Oligarki bermental predator, semuanya bakal dilumat tak bersisa.




0 komentar:

Post a Comment