Tuesday 5 April 2022

Kemelut Tambang di Sekitar Kita


Sejak masuk dunia kampus, perbendaharaan masalah saya makin variatif. Dulu saat SMA, mana peduli saya dengan berita-berita tentang sengketa lahan. Atau konflik antara masyarakat dan perusahaan yang disebabkan perebutan tanah. Karena memang tidak bersinggungan dan tidak terkena dampak secara langsung.

Fase mahasiswa barulah radar pengetahuanku menyentuh hal-hal yang belum pernah saya bayangkan. Saya mulai bertanya, kenapa suatu masyarakat, sudah bertahun-tahun menempati suatu daerah, bisa terusir oleh mantra ajaib bernama kuasa negara.

UUD 1945 pasal 33 ayat 3, jika dijalankan oleh pemerintah bermental korup, bisa menjelma sebagai produk hukum yang mengerikan. Ia serupa legitimasi bagi pemerintah untuk mengobral konsesi pada pengusaha sesuka hati.

Dalilnya menggenjot Investasi untuk mengoptimalkan pendapatan negara. Niatnya demi kemakmuran rakyat. Walau faktanya, apa yang disebut dengan pendapatan sangat jarang menetes hingga ke bawah. Khususnya bagi masyarakat di sekitar lokasi.

Untuk itu, UU Keterbukaan Informasi Publik adalah senjata. Ia serupa pisau analisa yang bisa digunakan untuk membedah realitas. Peraturan ini semacam lentera yang mampu menyingkap kepandiran publik. Informasi adalah hak bagi setiap orang, kapan pun dan dimana pun.

Pemerintah sendiri wajib memberikan akses informasi. Namun dalam praktiknya, masih banyak misteri yang perlu disingkap secara mandiri. Atau kitalah yang terkadang tidak punya inisiatif untuk mencari. Saya kerap terjebak pada kondisi kedua, malas mencari.

Saat mengikuti seminar yang diadakan Ditjen Minerba, saya baru tahu, ternyata semua informasi perihal pemetaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sudah bisa diakses secara terbuka. Nama situsnya Minerba One Map Indonesia (MOMI). Lewat situs ini, siapapun bisa melihat perusahaan tambang yang sudah punya izin menjalankan usahanya.

Iseng-iseng saya cek kabupaten saya, Ogan Ilir. Tak banyak. Hanya ada beberapa perusahaan saja. Semua bergerak hanya pada dua komoditas, yakni batubara dan pasir urug. Artinya di luar dua komoditas ini berstatus tambang ilegal.

Ya, aturan baru pemerintah hanya mengizinkan satu izin untuk satu komoditas. Saat ini, semua penerbitan izin pertambangan sudah ditarik ke pemerintah pusat.

Andai kata ada perusahaan dengan izin pertambangan pasir sungai, maka ia tak boleh mengekstrak komoditas selain itu. Sebelum beroperasi, mereka juga dituntut untuk menyampaikan laporan Analisis Dampak Lingkungan.

Sementara usaha dengan resiko sedang, mereka musti menyampaikan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL). Laporan ini musti disampaikan setiap 6 bulan sekali. Sehingga update perputaran proses produksi bisa terus dipantau oleh pemerintah.

Sebetulnya, jika proses pelaksanaan AMDAL dan UKL-UPL ini berjalan dengan baik, kita bisa menangkal kerusakan lingkungan yang disebabkan usaha pertambangan. Sebab fungsi keduanya justru untuk mencegah terjadinya eksploitasi. 

Jika tak lolos AMDAL, itu artinya kerusakan lingkungan tidak bisa dikendalikan. Sebab fungsinya adalah untuk menghalangi semaksimal mungkin kerusakan lingkungan. Ia penyaring. Itulah kenapa proses kajiannya harus ada di depan, sebelum keputusan perizinan diterbitkan oleh pemerintah terkait.

Proses perizinan inilah yang jadi tameng pelindung hak-hak masyarakat. Sistemnya berlapis. Untuk bisa beroperasi, sebuah perusahaan musti berurusan dengan banyak pihak. Mulai dari pemerintah desa sampai pejabat pusat. Tentu saja semua perkara itu jadi mudah jika telah "ditabrak" dengan uang. 

Katakanlah syarat persetujuan penduduk setempat, itu bisa diselesaikan dengan mendekati elite-elite desa dan tokoh adat untuk memanipulasi proses AMDAL.

Saya jadi teringat dengan seorang kawan. Ia bekerja di konsultan AMDAL. Satu waktu, saat sedang menyampaikan hasil penyusunan AMDAL ke Dinas-Dinas terkait, ia didemo oleh masyarakat setempat. Mereka telat tahu, jika tandatangan yang mereka bubuhkan adalah persetujuan atas konsesi tambang yang bakal menindih lahan perkebunan mereka.

Saya jadi sadar, pengetahuan adalah kekuatan. Kita bisa menggagalkan hal-hal yang tidak diinginkan dengan kecerdasan. Sebelum sebuah konsesi disahkan sebagai petaka buruk di masa depan, ada banyak ruang-ruang pertarungan antara ketamakan dan kecerdasan.

Tentu saja wasitnya adalah para pemangku kebijakan. Jika mereka diisi oleh orang-orang bijaksana, kita tahu siapa pemenangnya. Dan jika tampuk kekuasaan tersebut diduduki oleh pejabat rakus nan korup, maka kita juga hafal seperti apa endingnya.



0 komentar:

Post a Comment