Sejak masuk dunia
kampus, perbendaharaan masalah saya makin variatif. Dulu saat SMA, mana peduli
saya dengan berita-berita tentang sengketa lahan. Atau konflik antara
masyarakat dan perusahaan yang disebabkan perebutan tanah. Karena memang tidak
bersinggungan dan tidak terkena dampak secara langsung.
Fase mahasiswa
barulah radar pengetahuanku menyentuh hal-hal yang belum pernah saya bayangkan.
Saya mulai bertanya, kenapa suatu masyarakat, sudah bertahun-tahun menempati
suatu daerah, bisa terusir oleh mantra ajaib bernama kuasa negara.
UUD 1945 pasal 33
ayat 3, jika dijalankan oleh pemerintah bermental korup, bisa menjelma sebagai
produk hukum yang mengerikan. Ia serupa legitimasi bagi pemerintah untuk
mengobral konsesi pada pengusaha sesuka hati.
Dalilnya menggenjot
Investasi untuk mengoptimalkan pendapatan negara. Niatnya demi kemakmuran
rakyat. Walau faktanya, apa yang disebut dengan pendapatan sangat jarang
menetes hingga ke bawah. Khususnya bagi masyarakat di sekitar lokasi.
Untuk itu, UU
Keterbukaan Informasi Publik adalah senjata. Ia serupa pisau analisa yang bisa
digunakan untuk membedah realitas. Peraturan ini semacam lentera yang mampu
menyingkap kepandiran publik. Informasi adalah hak bagi setiap orang, kapan pun
dan dimana pun.
Pemerintah sendiri
wajib memberikan akses informasi. Namun dalam praktiknya, masih banyak misteri
yang perlu disingkap secara mandiri. Atau kitalah yang terkadang tidak punya
inisiatif untuk mencari. Saya kerap terjebak pada kondisi kedua, malas mencari.
Saat mengikuti
seminar yang diadakan Ditjen Minerba, saya baru tahu, ternyata semua informasi
perihal pemetaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sudah bisa diakses secara
terbuka. Nama situsnya Minerba One Map Indonesia (MOMI). Lewat situs ini,
siapapun bisa melihat perusahaan tambang yang sudah punya izin menjalankan
usahanya.
Iseng-iseng saya
cek kabupaten saya, Ogan Ilir. Tak banyak. Hanya ada beberapa perusahaan saja.
Semua bergerak hanya pada dua komoditas, yakni batubara dan pasir urug. Artinya
di luar dua komoditas ini berstatus tambang ilegal.
Ya, aturan baru
pemerintah hanya mengizinkan satu izin untuk satu komoditas. Saat ini, semua
penerbitan izin pertambangan sudah ditarik ke pemerintah pusat.
Andai kata ada
perusahaan dengan izin pertambangan pasir sungai, maka ia tak boleh mengekstrak
komoditas selain itu. Sebelum beroperasi, mereka juga dituntut untuk
menyampaikan laporan Analisis Dampak Lingkungan.
Sementara usaha
dengan resiko sedang, mereka musti menyampaikan dokumen Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL). Laporan ini musti
disampaikan setiap 6 bulan sekali. Sehingga update perputaran proses produksi
bisa terus dipantau oleh pemerintah.
Sebetulnya, jika
proses pelaksanaan AMDAL dan UKL-UPL ini berjalan dengan baik, kita bisa
menangkal kerusakan lingkungan yang disebabkan usaha pertambangan. Sebab fungsi
keduanya justru untuk mencegah terjadinya eksploitasi.
Jika tak lolos
AMDAL, itu artinya kerusakan lingkungan tidak bisa dikendalikan. Sebab
fungsinya adalah untuk menghalangi semaksimal mungkin kerusakan lingkungan. Ia
penyaring. Itulah kenapa proses kajiannya harus ada di depan, sebelum keputusan
perizinan diterbitkan oleh pemerintah terkait.
Proses perizinan
inilah yang jadi tameng pelindung hak-hak masyarakat. Sistemnya berlapis. Untuk
bisa beroperasi, sebuah perusahaan musti berurusan dengan banyak pihak. Mulai
dari pemerintah desa sampai pejabat pusat. Tentu saja semua perkara itu jadi
mudah jika telah "ditabrak" dengan uang.
Katakanlah syarat
persetujuan penduduk setempat, itu bisa diselesaikan dengan mendekati
elite-elite desa dan tokoh adat untuk memanipulasi proses AMDAL.
Saya jadi teringat
dengan seorang kawan. Ia bekerja di konsultan AMDAL. Satu waktu, saat sedang
menyampaikan hasil penyusunan AMDAL ke Dinas-Dinas terkait, ia didemo oleh
masyarakat setempat. Mereka telat tahu, jika tandatangan yang mereka bubuhkan
adalah persetujuan atas konsesi tambang yang bakal menindih lahan perkebunan
mereka.
Saya jadi sadar,
pengetahuan adalah kekuatan. Kita bisa menggagalkan hal-hal yang tidak
diinginkan dengan kecerdasan. Sebelum sebuah konsesi disahkan sebagai petaka
buruk di masa depan, ada banyak ruang-ruang pertarungan antara ketamakan dan
kecerdasan.
Tentu saja wasitnya adalah para pemangku kebijakan. Jika mereka diisi oleh orang-orang bijaksana, kita tahu siapa pemenangnya. Dan jika tampuk kekuasaan tersebut diduduki oleh pejabat rakus nan korup, maka kita juga hafal seperti apa endingnya.
0 komentar:
Post a Comment