Monday 4 April 2022

Bung Karno, Bu Mega & Urusan Perut


Di Bogor, saya banyak berinteraksi dengan kawan-kawan IPB. Sedikit banyak, mereka turut mempengaruhi pemahaman soal pangan. Paling sering saya dengar, terkait sejarah peletakan batu pertama kampus mereka oleh bung Karno.

"Pangan adalah persoalan hidup dan mati suatu bangsa." Itulah pesan bapak proklamator yang santer mereka ucapkan hingga hari ini. Nasihat itu abadi dan terus diwariskan dari waktu ke waktu.

Bukan sekedar pesan filosofis yang biasa disampaikan oleh pejabat dalam kata sambutan, yang susunan kalimatnya pun dibuat oleh para staffnya. Bung Karno amat serius dengan kata-katanya. Bahkan ia tanamkan kalimat itu dalam berbagai kebijakan.

Sebut saja rumus makanan bergizi, yakni istilah "empat sehat lima sempurna." Ia bangun kesadaran soal struktur pangan yang benar. Bukan semata berpatok pada kuantitas, mahal atau kemewahan. Tapi terletak pada ketercukupan gizi yang dikonsumsi.

Dalam lingkup yang lebih strategis, kebijakan itu bisa kita lihat pada UU Reforma Agraria. Mengembalikan tanah sebagai alat produksi kepada masyarakat luas. Sehingga mereka bisa bercocok tanam secara merdeka tanpa terkungkung oleh upah dari tuan tanah.

Warisan monumental lainnya yang ditinggalkan Bung Karno, yakni buku resep Mustika Rasa. Sekilas terlihat remeh dan sepele. Dimana letak spesialnya, seorang presiden, malah meninggalkan kebijakan berupa buku resep. Ya, Bung Karno memang terkenal sebagai sosok yang mampu menyederhanakan realitas. Ia amat piawai menyajikan pesan-pesan yang mudah dikunyah.

Jika kita telusuri lebih jauh, lewat buku ini, Bung Karno sedang berpesan pada kita, agar hati-hati dengan apa yang kita makan. Sebab apa yang kita makan menentukan seberapa daulat kita.

Pangan adalah realitas paling dekat dengan laju peradaban manusia. Suatu bangsa yang tak mampu memenuhi kebutuhan perutnya secara mandiri, terancam bakal berakhir dengan kepunahan. Sebab keberlangsungannya bergantung pada entitas di luar dirinya.

Perkara makan adalah urusan serius. Dalam buku yang digagas oleh Bung Karno tersebut, terkandung tekad yang kuat tentang lidah rakyat Indonesia yang tidak boleh dijajah oleh makanan impor. Jika pengetahuan perihal resep kuliner itu melekat dalam kepala, kita tak bakal kesulitan mencari alternatif dalam kondisi terjepit.

Saya jadi paham keresahan Bu Mega persoalan minyak goreng. Ia sebetulnya sedang mengamalkan nasihat mendiang ayahnya. Buku Mustika Rasa adalah ejawantah atas kekayaan kuliner Indonesia. Petunjuk jalan bagi rakyat Indonesia agar tidak terjebak pada rekayasa penyeragaman cara memasak.

Pernah satu waktu, saya ikut diskusi bersama kawan-kawan IPB. Bahasannya seputar dampak kebijakan politik orde baru. Salah satu poin diskusinya tentang politik penyeragaman pangan di Indonesia. Dari yang sebelumnya makan Jagung, Tiwul, Sagu, lewat rekayasa kebijakan, dirubah menjadi beras. Alasannya untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Rumusnya efektif dan efesien.

Sekilas memang kita mampu mencapai swasembada pangan dalam masa tertentu. Namun di sisi lain, sebetulnya telah terjadi genosida terhadap keanekaragaman pangan di waktu bersamaan. Saat itu komparasinya terkait jumlah varietas sagu yang mulai berkurang karena kalah dominan oleh beras. Dampak jangka panjangnya, kita menjadi ketergantungan. Terbukti, saat ini pasokan beras dalam negeri harus dipenuhi lewat pasar global.

Padahal jauh-jauh hari bung Karno sudah mengingatkan, kehadiran buku resep Mustika Rasa secara tak langsung mengajak kita untuk bergerak ke konsumsi pangan yang lebih beragam, bukan hanya beras. Berlaku juga untuk kasus lainnya. Bukan hanya menggoreng, tapi juga mengukus, merebus dan memanggang.

Walaupun pada kenyataannya, jujur, persolan di atas tidak lagi hanya sebatas merubah gaya hidup sesuai anjuran Bung Karno. Tapi sudah berkembang jauh lebih rumit dan kompleks. Negara sudah terdikte oleh kekuatan lain diluar negara. Menteri Perdagangan pun sudah mengaku kalah oleh kartel pangan dan mafia.


0 komentar:

Post a Comment