Di Bogor, saya banyak berinteraksi dengan kawan-kawan IPB. Sedikit banyak, mereka turut mempengaruhi pemahaman soal pangan. Paling sering saya dengar, terkait sejarah peletakan batu pertama kampus mereka oleh bung Karno.
"Pangan
adalah persoalan hidup dan mati suatu bangsa." Itulah pesan bapak
proklamator yang santer mereka ucapkan hingga hari ini. Nasihat itu abadi dan
terus diwariskan dari waktu ke waktu.
Bukan
sekedar pesan filosofis yang biasa disampaikan oleh pejabat dalam kata
sambutan, yang susunan kalimatnya pun dibuat oleh para staffnya. Bung Karno
amat serius dengan kata-katanya. Bahkan ia tanamkan kalimat itu dalam berbagai
kebijakan.
Sebut saja
rumus makanan bergizi, yakni istilah "empat sehat lima sempurna." Ia
bangun kesadaran soal struktur pangan yang benar. Bukan semata berpatok pada
kuantitas, mahal atau kemewahan. Tapi terletak pada ketercukupan gizi yang
dikonsumsi.
Dalam
lingkup yang lebih strategis, kebijakan itu bisa kita lihat pada UU Reforma
Agraria. Mengembalikan tanah sebagai alat produksi kepada masyarakat luas.
Sehingga mereka bisa bercocok tanam secara merdeka tanpa terkungkung oleh upah
dari tuan tanah.
Warisan
monumental lainnya yang ditinggalkan Bung Karno, yakni buku resep Mustika Rasa.
Sekilas terlihat remeh dan sepele. Dimana letak spesialnya, seorang presiden,
malah meninggalkan kebijakan berupa buku resep. Ya, Bung Karno memang terkenal
sebagai sosok yang mampu menyederhanakan realitas. Ia amat piawai menyajikan
pesan-pesan yang mudah dikunyah.
Jika kita
telusuri lebih jauh, lewat buku ini, Bung Karno sedang berpesan pada kita, agar
hati-hati dengan apa yang kita makan. Sebab apa yang kita makan menentukan
seberapa daulat kita.
Pangan
adalah realitas paling dekat dengan laju peradaban manusia. Suatu bangsa yang
tak mampu memenuhi kebutuhan perutnya secara mandiri, terancam bakal berakhir
dengan kepunahan. Sebab keberlangsungannya bergantung pada entitas di luar
dirinya.
Perkara
makan adalah urusan serius. Dalam buku yang digagas oleh Bung Karno tersebut,
terkandung tekad yang kuat tentang lidah rakyat Indonesia yang tidak boleh
dijajah oleh makanan impor. Jika pengetahuan perihal resep kuliner itu melekat
dalam kepala, kita tak bakal kesulitan mencari alternatif dalam kondisi
terjepit.
Saya jadi
paham keresahan Bu Mega persoalan minyak goreng. Ia sebetulnya sedang
mengamalkan nasihat mendiang ayahnya. Buku Mustika Rasa adalah ejawantah atas
kekayaan kuliner Indonesia. Petunjuk jalan bagi rakyat Indonesia agar tidak
terjebak pada rekayasa penyeragaman cara memasak.
Pernah satu
waktu, saya ikut diskusi bersama kawan-kawan IPB. Bahasannya seputar dampak
kebijakan politik orde baru. Salah satu poin diskusinya tentang politik
penyeragaman pangan di Indonesia. Dari yang sebelumnya makan Jagung, Tiwul,
Sagu, lewat rekayasa kebijakan, dirubah menjadi beras. Alasannya untuk
mempermudah pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Rumusnya efektif dan
efesien.
Sekilas
memang kita mampu mencapai swasembada pangan dalam masa tertentu. Namun di sisi
lain, sebetulnya telah terjadi genosida terhadap keanekaragaman pangan di waktu
bersamaan. Saat itu komparasinya terkait jumlah varietas sagu yang mulai
berkurang karena kalah dominan oleh beras. Dampak jangka panjangnya, kita
menjadi ketergantungan. Terbukti, saat ini pasokan beras dalam negeri harus
dipenuhi lewat pasar global.
Padahal
jauh-jauh hari bung Karno sudah mengingatkan, kehadiran buku resep Mustika Rasa
secara tak langsung mengajak kita untuk bergerak ke konsumsi pangan yang lebih
beragam, bukan hanya beras. Berlaku juga untuk kasus lainnya. Bukan hanya
menggoreng, tapi juga mengukus, merebus dan memanggang.
Walaupun
pada kenyataannya, jujur, persolan di atas tidak lagi hanya sebatas merubah
gaya hidup sesuai anjuran Bung Karno. Tapi sudah berkembang jauh lebih rumit
dan kompleks. Negara sudah terdikte oleh kekuatan lain diluar negara. Menteri
Perdagangan pun sudah mengaku kalah oleh kartel pangan dan mafia.
0 komentar:
Post a Comment