Dulu saat SD, saya termasuk orang yang sering kena dampak kehadiran Kereta Babaranjang. Panjangnya minta ampun. Pernah satu waktu, keretanya macet. Sementara jam sekolah sudah mepet. Tak ada pilihan lain, saya terpaksa merunduk di bawah badan kereta. Tindakan nekat.
Baru saya tahu, ternyata komoditas yang dibawa adalah
batubara. Padahal namanya sudah melekat dalam nama Babaranjang itu sendiri,
kereta batu bara rangkain panjang.
Maklum, otak SD-ku saat itu memang belum terangsang untuk
mengenal realitas asing. Apalagi proses industrinya tidak terikat langsung
dengan lingkunganku. Hanya numpang lewat. Berbeda dengan PT Semen, misalnya.
Saban waktu, atap rumah kamipun kerap kena debu hasil peledakannya. Jadi, bagi
saya, Semen lebih terdengar familiar ketimbang Batubara.
Ya, batubara andalah emas hitam yang menjadi sumber listrik
utama di Indonesia. Konon batubara yang diangkut Babaranjang inilah yang
menerangi seperempat pulau Jawa, Bali dan Madura. Lokasi pembakarannya ada di
PLTU Suralaya, Banten.
Sejak pertama kali beroperasi, KA Babaranjang hanya
melayani pengangkutan batubara dari PT Bukit Asam. Sebab sama-sama perusahaan
berplat merah. Namun di tahun 2016, jasa angkut batubara ini sudah terbuka
untuk swasta. Kurang lebih ada tujuh perusahaan yang bekerjasama.
Polemik yang kerap muncul adalah penggunaan BBM subsidi
pada kereta barang. Pasang surut perdebatannya terkait layak tidakkah KA
logistik tersebut disuntik uang negara. Mengingat batubara adalah industri
besar. Namun di sisi lain, jika tak disubsidi, proses angkut batubara ini
rentan merusak jalan-jalan masyarakat akibat tonase-nya overload.
Saat ini, kita dihebohkan dengan kelangkaan BBM subsidi di
berbagai tempat. Antrian panjang mengular di tiap SPBU-SPBU. Salah satu
penyebabnya karena penyaluran yang tidak tepat sasaran.
Dua Minggu lalu, kita dikejutkan dengan praktik oknum yang
mengoplos solar subsidi dengan minyak mentah. Hasil olahannya mereka jual ke
industri tambang batubara Muara Enim.
Sedihnya, praktik ini sudah menjamur di hampir setiap
lokasi yang ada tambang dan sudah berlangsung bertahun-tahun. Khususnya di
Sumsel. Wajar saja kuota BBM subsidi sering bocor. Untuk 3 bulan ini saja,
Pertamina terpaksa mengucurkan kuota melampaui patokan yang ditetapkan
pemerintah.
Berdasarkan catatan BPH Migas, pada Januari 2022 realisasi
solar subsidi mencapai 1,34 juta KL, melebihi kouta yang ditetapkan sebanyak
1,23 juta KL. Lalu pada Februari 2022 realisasinya mencapai 1,21 juta KL dari
kouta yang ditetapkan sebesar 1,14 juta KL.
Serta sepanjang periode 1-27 Maret 2022, realisasinya
mencapai 1,20 juta KL dari kouta yang ditetapkan sebanyak 1,11 juta KL.
Sehingga secara total hingga 27 Maret 2022, realisasi penyaluran solar subsidi
sudah menyentuh 3,76 juta KL.
Perkara subsidi ini memang bukan persoalan sepele. Duit
negara lumayan banyak yang tersedot ke BBM. Namun sayang, proses penyalurannya
kerap diselewengkan. Padahal dalam seliter solar yang dibeli, pemerintah musti
membayar ke Pertamina sebesar Rp. 7800. Selisihnya dengan BBM tanpa subsidi
mencapai 5000-an rupiah.
Beban yang ditanggung pemerintah ini perlu diketahui
masyarakat. Kita perlu terlibat aktif dalam pengawasan, karena hal ini
menyangkut uang negara dan uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan.
Subsidi harus tepat sasaran.
0 komentar:
Post a Comment