"Standar toilet bagiku, ketika nyaman dipakai untuk coli. Bersih, aman dan tertutup," begitu kilah seorang kawan beberapa tahun lalu. Sekarang orangnya sudah menikah dan sudah punya anak. Ia hidup bahagia dengan keluarga kecilnya di salah satu pulau paling Timur Indonesia sana.
Lama saya renungkan, ternyata ada benarnya. Terlepas
aktivitas yang dilakukan di dalamnya, toilet musti memenuhi ketercukupan syarat
perlindungan privasi seseorang. Tempatnya harus tertutup rapat dan memiliki air
yang cukup.
Selain itu, pintunya musti yang bisa dikunci dari dalam.
Biar gak was-was. Jangan sampai di tengah BAB, tiba-tiba ada yang buka pintu
karena tak tahu. Rasanya seperti pendosa yang kena grebek. Tertangkap basah.
Tentu yang saya maksud adalah toilet berjamah, yg biasa dipakai sama-sama.
Umumnya oleh penghuni kos-kosan atau penghuni rumah kontrakan.
Maklum, toilet juga bisa dijadikan patokan untuk melihat
"kelas sosial" dalam masyarakat. Kalangan elit biasanya sudah punya
kamar mandi lengkap dengan fasilitas MCK-nya. Sementara masyarakat kelas bawah
masih ada yg harus rela menggunakan toilet umum. Contoh lain kos-kosan
mahasiswa. Bagi yang berduit, biasanya memiliki kamar mandi di dalam. Bukan
yang rame-rame.
Saya termasuk orang yang hobi berlama-lama dalam toilet.
Untuk sekali buang hajat, durasinya paling minimal sebatang rokok. Bukan semata
karena hendak mencari inspirasi seperti kata orang-orang, lebih dari itu, saya
senang menikmati ruang kesendirian tersebut. Jika WC jongkok, hanya kesemutan
di kaki saja yang mampu membangkitkan kembali kesadaran saya dari persemayaman.
Saya selalu punya kesan yang membekas untuk setiap toilet
yang saya pakai. Kampus tentu yang paling spesial. Selain toiletnya bersih dan
nyaman, biliknya juga ada banyak. Usut punya usut, titahnya memang datang
langsung dari rektor. Ia ultimatum bentul perihal kebersihan kakus tersebut.
Tak berbeda jauh dengan toilet masjid kampus. Dibuat
standar hotel. Ia bermaksud membongkar asumsi publik selama ini, fasilitas umum
pasti jorok. Ia berhasil. Siapapun yg baru pertama menjajalnya pasti langsung
jatuh hati. Sang rektor sadar betul, perihal kebersihan sebagian dari iman,
bukan semata narasi yang hanya selesai di mulut saja. Tapi harus dibumikan.
Tak heran, dulu, saya lebih sering memilih mandi dan be'ol
di kampus ketimbang di kosan. Apalagi jika musim kemarau. Airnya sering habis.
Kering kerontang tak tersisa.
Toilet kampus memang penuh kenangan. Ia juga kerap jadi
tempat pertukaran informasi paling strategis. Khusunya saat ujian, banyak
mahasiswa yg menjadikan toilet untuk buka contekan. Hehe...
Lain lagi saat di pesantren dulu. Walaupun toiletnya
seperti kapal meledak, tapi masih jadi pilihan terbaik untuk sembunyi dari
pantauan ustadz. Bahkan tak jarang, ada banyak santri yang melanjutkan tidurnya
di sana. Khususnya menjelang sholat subuh. Setiap bilik pasti penuh. Sebab
jarang ustadz mau mengecek toilet satu persatu.
Membincang toilet, saya jadi teringat mata pelajaran Fiqh
bab istinja. Saya menerimanya saat di pesantren dulu. Pengetahuan tentang
bagaimana membersihkan diri setelah BAB. Diterangkan kalo zaman Nabi,
masyarakatnya menggunakan batu untuk membersihkan dubur.
Saat itu, saya belum bisa mencerna dengan baik. Sebab
"akal Indonesia kita", lazimnya pasti membayangkan air untuk membilas
pantat paska buang hajat. Lubang fases bukanlah daging dengan permukaan mulus.
Sekuat-kuatnya kita tekan pakai batu, pasti masih ada lengketan yang
bersembunyi dibalik lipatan. Hehe
Tapi itulah medium paling tepat. Sebab untuk konteks
Masyarakat Arab, sampai saat ini saja mereka masih belum leluasa menggunakan
air. Tak hanya masyarakat Arab, untuk ukuran peradaban manusia Abad ke-7
(masyarakat global yang hidup sezaman dengan nabi), evolusi jamban memang belum
sedahsyat seperti abad 21.
Masyarakat Cina kuno misalnya, mereka menggunakan permukaan
keramik untuk bebersih paska buang hajat. Lain lagi bangsa Romawi jaman dulu,
mereka malah memakai sabut busa yang diikatkan ke ujung kayu. Alat itulah yang
mereka gosokkan ke dubur. Satu spons dipakai ramai-ramai. Bisa jadi karena alat
busanya masih langka.
Kata senior saya, peradaban suatu bangsa bisa juga dilihat
dari toiletnya. Sesimpel-simpelnya lubang WC yang berbentuk kail, ada jejak
cendikiawan di dalamnya. Ya, kerja-kerja intelektual memang tak pernah
menganak-tirikan suatu pembahasan. Termasuk untuk urusan tahi!
0 komentar:
Post a Comment