Monday 7 February 2022

WC yang Membuat Saya Kesemutan


"Standar toilet bagiku, ketika nyaman dipakai untuk coli. Bersih, aman dan tertutup," begitu kilah seorang kawan beberapa tahun lalu. Sekarang orangnya sudah menikah dan sudah punya anak. Ia hidup bahagia dengan keluarga kecilnya di salah satu pulau paling Timur Indonesia sana.

Lama saya renungkan, ternyata ada benarnya. Terlepas aktivitas yang dilakukan di dalamnya, toilet musti memenuhi ketercukupan syarat perlindungan privasi seseorang. Tempatnya harus tertutup rapat dan memiliki air yang cukup.

Selain itu, pintunya musti yang bisa dikunci dari dalam. Biar gak was-was. Jangan sampai di tengah BAB, tiba-tiba ada yang buka pintu karena tak tahu. Rasanya seperti pendosa yang kena grebek. Tertangkap basah. Tentu yang saya maksud adalah toilet berjamah, yg biasa dipakai sama-sama. Umumnya oleh penghuni kos-kosan atau penghuni rumah kontrakan.

Maklum, toilet juga bisa dijadikan patokan untuk melihat "kelas sosial" dalam masyarakat. Kalangan elit biasanya sudah punya kamar mandi lengkap dengan fasilitas MCK-nya. Sementara masyarakat kelas bawah masih ada yg harus rela menggunakan toilet umum. Contoh lain kos-kosan mahasiswa. Bagi yang berduit, biasanya memiliki kamar mandi di dalam. Bukan yang rame-rame.

Saya termasuk orang yang hobi berlama-lama dalam toilet. Untuk sekali buang hajat, durasinya paling minimal sebatang rokok. Bukan semata karena hendak mencari inspirasi seperti kata orang-orang, lebih dari itu, saya senang menikmati ruang kesendirian tersebut. Jika WC jongkok, hanya kesemutan di kaki saja yang mampu membangkitkan kembali kesadaran saya dari persemayaman.

Saya selalu punya kesan yang membekas untuk setiap toilet yang saya pakai. Kampus tentu yang paling spesial. Selain toiletnya bersih dan nyaman, biliknya juga ada banyak. Usut punya usut, titahnya memang datang langsung dari rektor. Ia ultimatum bentul perihal kebersihan kakus tersebut.

Tak berbeda jauh dengan toilet masjid kampus. Dibuat standar hotel. Ia bermaksud membongkar asumsi publik selama ini, fasilitas umum pasti jorok. Ia berhasil. Siapapun yg baru pertama menjajalnya pasti langsung jatuh hati. Sang rektor sadar betul, perihal kebersihan sebagian dari iman, bukan semata narasi yang hanya selesai di mulut saja. Tapi harus dibumikan.

Tak heran, dulu, saya lebih sering memilih mandi dan be'ol di kampus ketimbang di kosan. Apalagi jika musim kemarau. Airnya sering habis. Kering kerontang tak tersisa.

Toilet kampus memang penuh kenangan. Ia juga kerap jadi tempat pertukaran informasi paling strategis. Khusunya saat ujian, banyak mahasiswa yg menjadikan toilet untuk buka contekan. Hehe...

Lain lagi saat di pesantren dulu. Walaupun toiletnya seperti kapal meledak, tapi masih jadi pilihan terbaik untuk sembunyi dari pantauan ustadz. Bahkan tak jarang, ada banyak santri yang melanjutkan tidurnya di sana. Khususnya menjelang sholat subuh. Setiap bilik pasti penuh. Sebab jarang ustadz mau mengecek toilet satu persatu.

Membincang toilet, saya jadi teringat mata pelajaran Fiqh bab istinja. Saya menerimanya saat di pesantren dulu. Pengetahuan tentang bagaimana membersihkan diri setelah BAB. Diterangkan kalo zaman Nabi, masyarakatnya menggunakan batu untuk membersihkan dubur.

Saat itu, saya belum bisa mencerna dengan baik. Sebab "akal Indonesia kita", lazimnya pasti membayangkan air untuk membilas pantat paska buang hajat. Lubang fases bukanlah daging dengan permukaan mulus. Sekuat-kuatnya kita tekan pakai batu, pasti masih ada lengketan yang bersembunyi dibalik lipatan. Hehe

Tapi itulah medium paling tepat. Sebab untuk konteks Masyarakat Arab, sampai saat ini saja mereka masih belum leluasa menggunakan air. Tak hanya masyarakat Arab, untuk ukuran peradaban manusia Abad ke-7 (masyarakat global yang hidup sezaman dengan nabi), evolusi jamban memang belum sedahsyat seperti abad 21.

Masyarakat Cina kuno misalnya, mereka menggunakan permukaan keramik untuk bebersih paska buang hajat. Lain lagi bangsa Romawi jaman dulu, mereka malah memakai sabut busa yang diikatkan ke ujung kayu. Alat itulah yang mereka gosokkan ke dubur. Satu spons dipakai ramai-ramai. Bisa jadi karena alat busanya masih langka.

Kata senior saya, peradaban suatu bangsa bisa juga dilihat dari toiletnya. Sesimpel-simpelnya lubang WC yang berbentuk kail, ada jejak cendikiawan di dalamnya. Ya, kerja-kerja intelektual memang tak pernah menganak-tirikan suatu pembahasan. Termasuk untuk urusan tahi!


0 komentar:

Post a Comment