Friday 14 August 2015

Hai, Nama Saya Dinar!


Hai, perkenalkan nama saya Dinar. Kalian tahu siapa saya? Oke, memang masih terdengar asing bagi masyarakat luas, tapi jika kau seorang penggiat keuangan syariah, you must know, who am i? Sebab saya lah mata uang yang digadang-gadang sebagai mata uang masa depan, mata uang yang akan menopang laju pertumbuhan ekonomi syariah.

Sekali lagi pangil saya “Dinar”,  nama saya ini bukan berasal dari bahasa Arab loh! Nama saya diadopsi dari bahasa Romawi Timur, yakni denarius. Keren bukan?

Saya kira untuk urusan nama sudah jelas. Lalu bagaimana dengan riwayat hidup?

Jauh sebelum kedatangan islam, dunia sudah melakukan transaksi perdagangan, baik dalam skala internasional maupun domestik. Saat itu bangsa Arab yang memang dikenal sebagai bangsa pedagang, sering sekali melakukan transaksi dengan orang-orang dari Romawi Byzantium, Persia dan bangsa lainnya.

Bagaimana nasib saya? Ya, saya lah yang membantu mereka dalam melakukan transaksi. Lewat tangan-tangan pedagang ini saya dibawa ke Jazirah Arab. Saya menggantikan budaya barter sekaligus kulit unta yang berperan sebagai alat transaksi sebelumnya. Saya adalah sarana pemersatu yang mempertemukan kepentingan antar bangsa saat itu. Bangga nian jika saya mengingatnya. Kenapa mengingat? Karena sekarang keadaannya sudah berubah. Saya sudah mulai ditinggalkan karena dianggap kurang efisien. Nanti saya ceritakan kronologinya.

Berlanjut pada zaman Nabi Muha mmad, al-hamdulillah saya masih diterima sebagai alat pembayaran dan pertukaran. Senang bukan kepalang. Bisa jadi inilah pengamalan dari klausal fikih, “menerima sesuatu yang lama karena ada kebaikan di dalamnya, dan menerima hal-hal baru yang lebih baik.” Sampai kalimat di atas tentu anda dapat menyimpulkan, bahwa saya sebenarnya bukanlah mata uang yang diwajibkan dalam islam. Saya hanyalah bentuk kompromi dengan tradisi yang dinilai baik saat itu.[1]
 
Akan tetapi jika mau jujur, saya adalah mata uang yang tidak tergerus nilainya sepanjang zaman. Maaf, bukan hendak sombong, ini fakta. Tentu perkataan diatas bukanlah kalimat yang kering makna. Saya akan buktikan.

 
Dulu ketika saya berada di zaman Rosul, nilai saya sama dengan harga satu kambing. Tidak banyak berubah sampai sekarang. Karena nilai saya tahun 2015 setara dengan nilai Rp 2.016.609.[2] Dengan uang senilai 2 juta, anda sudah mampu membeli kambing dengan kualitas yang bagus. Dan saya jamin, anda juga akan menemukan hal serupa di masa mendatang. Berani taruhan? Eits, itu perbuatan terlarang dalam Islam. Judi euy.

Oh iya, berat saya setara dengan 4,25 gram emas 22  karat dengan diameter 23 milimeter.[3] Inilah ukuran standar dalam keluarga kami. Namun tidak ada jaminan bahwa ukuran saya ini sama beratnya ketika saya berada pada zaman rosulullah dulu. Karena pada saat pemerintahan zaman nabi, saya masih dicetak oleh bangsa Persia. Baru ketika pemerintahan  Abdul Malik bin Marwan, kurang lebih 50 tahun setelah wafat nabi, saya lahir dan dicetak oleh pemerintahan islam. 

Apakah anda juga mengenal dirham? Dia adalah temanku, walaupun nilai tukarnya lebih kecil dibanding saya, tapi kami selalu disandingkan bila berbicara sejarah uang dalam islam.

Keberadaan kami berdua, juga pernah mendominasi pasar-pasar di sebagian besar Nusantara. Ya, bumi Indonesia yang anda tempati sekarang. Kami digunakan ketika Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326) berkuasa di Kerajaan Samudera Pasai. Bedanya saat itu, ukuran saya tiap koinnya hanya memiliki berat 0,60 gram dan berdiameter 10 milimeter.[4] Dibagian depan tubuh saya, tertera nama Muhammad Malik Al-Zahir sementara di bagian belakang saya, tertera ungkapan ‘al-Sultan al-’Adl‘. Karenanya, saya sudah punya hubungan erat dengan sejarah Indonesia. Jadi, jangan merasa asing lagi jika mendengar nama saya, okey.

Lalu kenapa sekarang posisi saya tergantikan oleh mata uang rupiah? Ceritanya panjang sob...


 Sederhananya, mata uang kertas (rupiah dkk) memang benar menggantikan saya, tentunya atas sepengetahuan saya (back up). Hal ini dilakukan karena saya dirasa kurang efektif bila digunakan dalam transaksi kecil, membeli permen contohnya. Hayooo... bingung kan cari kembaliannya? 

Akibatnya, orang-orang dengan terpaksa menerima uang kertas sebagai representasi saya (Emas/dinar). Di samping itu, hal ini juga dijamin langsung oleh pemerintah bahwa kertas tersebut dapat ditukar dengan emas senilai dengan nominal yang terdapat pada uang. Uang kertas ini juga bisa ditukar oleh si pemegang uang, kapan pun mereka mau. 

Tapi karena fitrah manusia, sosok yang tak luput dari salah dan dosa. Mereka terlena. Perlahan-lahan uang yang dikeluarkan oleh negara justru melampui populasi saya. Imbasnya, saya tak mampu lagi mengimbangi pertumbuhan uang semu tersebut. Walhasil, saya digeser total oleh mata uang kertas. Dominasi saya kalah banyak. Saya tidak berlaku lagi sebagai alat tukar. Saya tersisihkan. Hiks...

Saya hanya melihat dari jauh bagaimana uang kertas membuat ulah dan keributan di sana-sini. Salah satu ulah yang paling sering ia munculkan adalah “inflasi”.  Karena terus menerus dicetak, uang kertas semakin mudah didapat. Nilai nominal dan nilai tukarnya sudah tidak sepadan lagi. 

Jika sebelumnya uang dengan nilai nominal Rp. 5000 bisa ditukar dengan seporsi bubur ayam, namun belum tentu hal serupa bisa dilakukan esok hari, karena bisa jadi harga produksi sudah meningkat berkali-kali lipat. 

Nilai pada mata uang kertas memang tak pernah berubah, namun nilai tukarnya dapat berubah setiap saat. Itulah uang kertas, ia sejatinya tidak memiliki daya tukar, karena memang secara intrinsik, dia tidak memiliki nilai ekonomi sebagaimana saya. Hanya saja, ada sebuah hukum yang dipaksakan melekat atasnya. Dia dianggap punya nilai tukar. Inilah perbedaan mencolok dengan saya. 

Saya selain bisa digunakan sebagai alat tukar, saya juga bisa menyimpan nilai sekaligus alat pengukur nilai. Bagaimana? Dari penuturan saya di atas, apakah anda berminat memperjuangkan saya kembali menggantikan uang kertas? Tapi, pertumbuhan saya di Indonesia memang lambat. Kabarnya, memang ada sosok yang tidak ingin saya memiliki keterkaitan dengan mata uang kertas. Sebut saja namanya IMF (International Monetary Fund). Saya melihat gelagat ketidak senangan itu dari indikasi negara-negara yang menjadi anggota IMF. Tak satupun dari negara anggota IMF menjalin hubungan dengan saya. Bisa jadi ini memang sengaja di design.Ada indikasi untuk mempersulit akses terhadap saya. 

Beruntungnya, Bank Syariah di Indonesia sekarang sudah mulai menciptakan produk-produk yang masih satu akar dengan saya. Seperti BRI Syariah dengan produk Kepemilikan Logam Mulia-nya, BNI Syariah dengan produk pembiayaan emas yang diberi nama Pembiayaan iB Emas Hasanah dan baru baru ini BSM juga meluncurkan produk Cicil Emas. Ya, walaupun saya tidak menjadi pemeran utamanya, tapi saya senang, karena kami (saya dan emas batangan) masih berasal dari rumpun yang sama “emas”.

Sekalipun saya memang belum masuk pada Bank Syariah secara resmi, kabar gembiranya! Saya sudah hadir di Indonesia melalui jalur semi perbankan. Sebuah perusahaan Logam Mulia- PT. Aneka Tambang Tbk, telah memproduksi saya. Jadi, jangan kaget bila dikemudian hari kita akan berjumpa. Karena saya yakin, ada banyak orang yang semangat untuk kembali menggunakan saya. Semoga perjumpaan kita tidak lama lagi. Wallahu a’lamu bishowab.



[1] Majalah MySharing. 2012.  Polemik Dinar Emas. Edisi 70, tahun VII, Oktober 2012.

[2] www.geraidinar.com

[3] Hidayatulloh, Arif. 2013. Dinar Dirham dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia.    http://ariefhidayatulloh.blogspot.com/2013/12/dinar-dirham-dan-sejarah.html


[4] Agustianto. 2011. Keunggulan dan Keberkahan Dinar. https://www.google.com/search?q=keunggulan+dan+keberkahan+dinar+agustianto&ie=utf-8&oe=utf-8.


5 comments:

  1. Memang ekonomi syariah penuh berkah dan sesuai syariat

    ReplyDelete
  2. al hamdulillah ya mbak :D hehe
    tulisan mbak enak banget ngebacanya

    ReplyDelete
  3. Salam, artikelnya bagus, semoga menang, BTW thx udha mention majalah Sharing (Sekarang jadi MySharing)...:D

    ReplyDelete
    Replies
    1. siaaap.. mimin nu kasep :D terimakasih atas kunjunganya

      Delete