Hujjatul Islam Imam Ghozali dilahirkan di Thus, kini menjadi wilayah Iran. Seja
kecil telah ditinggal mati orang tuanya. Beliau kemudian diasuh dan dibesarkan
oleh sahabat ayahandanya. Sejak kecil beliau sudah menaruh perhatian pada
pendidikan sehingga menguasai berbagai macam disiplin keilmuan pada masa itu.
beliau meneguasai fikih, seni berdebat, mantiq (logika), hikmah dan sangat
mendalami filsafat. Beliau adalah murid langsung Imam al-Haromain yang menilainya
: al Ghozali adalah lautan yang menenggelamkan (bahrun ‘amiq). Untuk
megetahui detil diri Imam Ghozali dan perjalanan singkat hidupnya, dapat dibaca
dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, karya beliau.
Dalam banyak risalahnya Imam al Ghozali menjelaskan hakekat
kehidupan manusia di dunia dengan menjawab pertanyaan fundamental, yaitu apa
tujuan dari penciptaan manusia dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Namun
justru dalam menjawab persoalan-persoalan inilah al Ghozali nampaknya telah
pula berhasil meletakkan landasan yang benar tentang falsafah ekonomi islam.
Menurut beliau tujuan hidup seorang muslim adalah menggapai ridho Allah dan
mencapai keselamatan di akhirat. Sedangkan salah satu sarana dan media untuk
mencapai tujuan tersebut adalah harta yang halal dan kegiatan ekonomi. Disini
Nampak jelas hubungan antara akidah islam dengan persoalan kegiatan ekonomi.
Hakekat hubungan ini adalah hubungan antara sarana dan tujuan (al-washilah wal
ghoyah)
Oleh karena segala macam aktifitas perdagangan dalam ekonomi menjadi
suatu yang amat penting (dhoruri) dalam kehidupan manusia bahkan juga bagi
keselamatan akidahnya sendiri. Dengan demikian aktifitas ekonomi bagi manusia
bukanlah kegiatan sekunder, sambilan dan marginal sebagaimana dipahami oleh
mereka yang keliru karena melihat dunia sebagai ‘kesenangan yang menipu’ (mata’
al-ghurur) dan harus dihindari. Akibat padangan yang ‘keblinger’ ini maka
sektor perdagangan dan keuangan dalam kehidupan mereka diserahkan kepada bangsa
lain yang nota bene non-muslim dan mereka bersedia dan rela menjadi
buruh bahkan ‘budak’ di negeri sendiri.
Imam al-Ghozali mengatakan dalam kitab ihya-nya : “sesungguhnya
maksud manusia adalah bertemu dengan Allah di akhirat, tiada jalan menujua
Allah kecuali dengan ilmu dan amal.
Kedua hal ini tidak dapat dicapai kecuali dengan keselamatan fisik. Keselamatan
fisik tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan makan dan minum sesuai dengan
tuntutan kebutuhannya. Itulah sebabnya sebagian kaum salaf berpendapat bahwa
makan dan minum adalah bagian penting dari agama seperti dianyatakan dalam
al-Qur’an : “Makanlah (makanan) yang baik-baik dan beramalah dengan amal
sholeh”. (QS. Al Mukminun : 51). Barang siapa makan untuk membantunya mencari
ilmu dan beramal serta meningkatkan taqwa makan janganlah ia membiarkan dirinya
tidak terkontrol seperti binatang ternak yang sedang makan di rerumputan.
Karena apa yang menjadi wasilah bagi agama seyogyanya tampak juga cahaya agama
padanya. Dan cahaya agama itu adalah adab-adab dan sunnah-sunnah…”
Dalam pandangan al Ghozali metode yang paling tepat untuk mencapai
tujuan adalah menggunakan sarana ini (harta dan kegiatan ekonomi) secukupnya
‘saja’ (al-qodr al-kafi). Ini berarti bahwa dalam rangka melakukan aktifitas
ekonomi untuk memakmurkan dunia, manusia harus membatasi wasilahnya (sarana)
hanya pada batas-batas dhoruriyat saja. Tesis ini senantiasa
diulang-ulang dan sangat ditekankan oleh al-Ghozali dalam banyak kesempatan di
kitab-kitabnya. Penekanan ini tentu saja terjadi karena dominasi sufisme dalam
diri al-Ghozali.
Imam al-Ghozali juga menguraikan dengan rinci mengenai keadaan
manusia yang terjerumus ke dalam kesesatan karena keliru melihat hakekat wasilah,
sehingga tujuan yang diimpikan tidak pernah tercapai oleh manusia. Banyak
manusia yang silau dengan wasilah sehingga melihatnya sebagai tujuan dan
mereka terperdaya dengan keindahannya dan akhirnya lupa pada tujuan yang
sebenarnya, untuk apa mereka diciptakan. Beliau dengan sangat mendalam menasihati
kita semua agar jangan sampai tergelincir menjadi homo economicus seperti yang
menjadi dasar asumsi ilmu ekonomi konvensional. Pada saat yang sama kita diberi
resep –resep dan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk senantiasa wasapada
terhadap kilauan kesenangan yang menipu, dan tetap menjadi insan kamil (homo islamicus)
Sumber pustaka :
Basri, Ikhwan Abidin, 2007. Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik. Solo, Aqwam Media Profetika. (hal 113-116)
0 komentar:
Post a Comment