Monday, 2 March 2015

Perkenalan Serumpun di Tanah Pasundan

  

Kalimat “dunia tak selebar daun kelor”, hampir benar adanya. Dua hari ini saya dipertemukan dengan orang-orang yang masih satu lingkaran perkenalan, dan ini terjadi di luar tanah kelahiran. Saya bertemu dengan orang serumpun di tanah pasundan.

Tabligh bulanan asuhan ustadz Arifin-lah yang menjadi magnet pertemuan ini. Bermula dari penyebaran kuesioner penelitian ke jamaah dzikir akbar, kabetulan kak Eko, kakak tingkat di pondok dulu, sedang mengerjakan tugas Tesisnya dengan menjadikan Jama’ah dzikir ini sebagai study kasus penelitian. Dia ditemani Ali Mudzakkir, senior saya juga di PPI. Jadilah, saya turut ambil bagian dalam menyebarkan kuesioner penelitian ini.

Kegiatan dimulai dari malam minggu, saat jama’ah dari daerah sudah mulai berdatangan. Baru sekali ini, saya merasakan melihat orang-seperti melihat barang mewah, apalagi jika mereka datang dengan satu rombonga besar manusia. Saya langsung ingin menyapa dan berkenalan dengan mereka, tentunya dibarengi dengan permintaan untuk mengisi angket penelitian. *Tertawa girang

Mungkin inilah pentingnya, kenapa kita harus punya alasan dalam bertindak. Saya merasakan sikap percaya diri meningkat drastis dari biasanya. Berdiri di tengah lautan manusia, menyapa, bertanya, dan melempar senyum walaupun terkesan kaku pada mulanya. Tapi saya menikmatinya. Sebuah tindakan yang mustahil saya lakukan, jika tidak mempunyai alasan, menyebar kuesioner. Poinnya, kita lebih PD ketika kita punya alasan.

Jadi, malam itu saya mulai menyapa para jamaah dan meminta tolong kepada mereka untuk mengisi kuesioner. Tak sengaja ketika saya menyebar kuesioner ke dua orang jamaah, saya menanyakan asal daerah mereka. Jawaban apa yang saya terima?

“saya dari Palembang”.

Ekspresi saya kala mendengar kalimat itu, seperti manusia tak makan dua hari dan menemukan nasi satu bakul. *hahahaha

“Palembang dimano-nyo pak”, tanya saya.

“Di Lahat mas”, ujarnya.

Sontak saya langsung membalasnya dengan logat Lahat, yang memang tidak beda jauh dengan bahasa kampung saya. Seperti bahasa melayu.

Sudah bisa ditebak, percakapanpun mengalir seru dalam tempo cukup lama. Bercakap dengan bahasa daerah, saling lempar tanya yang memberikan efek kejut dari setiap baitnya.

Saya merasa senang. Pertama, karena bertemu orang yang mewakilkan identitas kita, di tanah rantau pula. Kedua, perkara kuesioner penelitianpun jadi lebih mudah. Karena biasanya, rasa ‘sungkan’ akan terkikis oleh kedekatan primordial. *yang ini bisa diperdebatkan.

Sampai disini saya berpikir, kenapa tidak-saya mencari kesamaan dari setiap lawan bicara. Karena kesamaan, menyiratkan pengetian bahwa kita sudah mengenal lawan bicara, begitupun sebaliknya. Rasa khawatir biasanya bermula dari ketidakjelasaan situasi yang dihadapi. Sehingga saat itu saya memutuskan untuk mencari kesamaan identitas demi menumbuhkan kehangatan dalam perkenalan.

Ketika menyapa mahasiswa, saya akan memulai perbincangan dengan mengedepankan kesamaan sebagai mahasiswa, begitupun seterusnya. Mengenal dan berbicara perihal mereka. Ini yang dibahasakan oleh Maslow sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan dasar manusia, “pengakuan”.

Pertemuan tak terduga selanjutnya terjadi ketika kami sedang makan malam di warteg. Buat kak Eko, hatur tengkyu buat traktirannya. Dikau datang di waktu yang tepat, sangat membantu bagi anak kosan, ‘bulan tue’. Heheh

Ketika asik santap malam dengan Lele goreng sebagai menu utamanya, kami dibuat kaget dengan suara dan bahasa bapak yang duduk tak jauh dari tempat kami makan. Dia memakai bahasa Tanjung Atap dengan logat khasnya yang mendayu dayu,

“Tak Aaaado nak Ke bikoo”.

Kamipun cengar cengir mendengarnya.

“Wong kito galo ruponyo”, ucap kak Ali.

“Dari Palembang jugo yo mas”, tanya orang yang kami maksud.

“Iyo kak”, jawab  kak eko.

Well, saling bertanya nama, bertukar alamat, dan aktivitas lainnya sebagaimana orang yang sedang berkenalan, Mengalir lancar malam itu.

Tak diduga, ternyata lawan bicara adalah orang yang masih satu lingkaran dengan orang-orang yang saya kenal. Kenyataan ini semakin menguatkan kalimat diawal tulisan tadi, bahwa seseorang akan merasa nyaman, ketika ia sudah mulai bisa memahami kejadian yang dihadapi, dengan ‘rasa-kesamaan’ sebagai kuncinya. Sehingga penelusuran kesamaan-pun menjadi prioritas di setiap perkenalan.

“kenal sama si-anu tidak? ”, ketika kalimat tanya seperti itu, berbalas dengan jawaban “ kenal “, kita sudah bisa merasakan kehangatan dalam percakapan, karena kita sudah memiliki kesamaan, yakni sama-sama mengenal orang yang sama. Itulah yang saya rasakan saat itu. Kebetulan sang lawan bicara adalah teman Oom saya ketika masih di SMA. Kejutan-kejutan seperti inilah yang membuat hidup kita lebih berwarna. Hidup dengan segala pasang surut rasanya yang nano-nano.

Jika hidup sudah sampai pada titik jenuh akut, pertanda kita butuh sesuatu baru, suasana baru, dan aktivitas yang baru pula, sebagai terapi kejut, agar kita tersadar bahwa kita adalah makhluk dinamis. Makhluk yang membutuhkan rasa-rasa dalam mengarungi kehidupan. Dan itu tidak akan kita temukan dengan berdiam diri dalam satu waktu tanpa aktivitas apapun. Itulah mengapa kita harus menyelami semangat hijrah. Berpindah untuk mencari suasana dan mencoba hal baru. Selamat beraktivitas.

0 komentar:

Post a Comment