Monday 9 March 2015

Melepas Jenuh ke Gunung Batu




Sebenarnya saya bukan tipikal orang yang hobi jalan-jalan. Namun sejak tinggal satu atap dengan kawan kawan yang hobi melancong kesana kemari, mau tak mau saya akhirnya ketularan juga walau hanya sedikit. Jibril, Alvin, dan Haldi adalah tiga sosok yang menjadi dedengkot dari setiap petualangan ini. Rasa ingin menjelajah itu selalu mencuat setiap kali melihat foto-foto perjalanan Haldi yang pernah terpental sampai ke Singapore, nge- backpaker ceritanya...

Kesempatan melancong pun datang. Yang menjadi dedengkot sekaligus provokator kali ini adalah sosok yang tak asing lagi, Haldi. Lokasinya kali ini adalah Gunung Batu, Jonggol Bogor.

 
Pagi sebelum keberangkatan, tak biasanya kami sekontrakkan bangun lebih awal. Bergegas mencuci muka dan dilanjutkan dengan sholat subuh berjamaah. *Gak jamaah deng, hehe. Setelah puas mengumpulkan nyawa dan menghirup oksigen kontrakkan di pagi buta. Kawan-kawan satu perjalanan mulai berdatangan. Total sembilan orang, yakni Qohar, Iqbal, Haldi, Alvin, Jibril, Adetri, Agih, Ahmad, dan Saya sendiri.

Dengan persiapan ala kadarnya, bahkan untuk sekedar meneguk air pun tidak, kami berangkat. 

Pagi hari, Sentul sebagai jalan pelaluan kami, seperti biasa; sama sekali tak kelihatan seperti kota berpenghuni. Cuma tata ruang taman-tamannya saja, yang memberitahukan bahwa disana ada koloni yang tinggal di dalamnya. Udara pagi perumahan elit yang belum banyak terjamah polusi, merasuk bebas ke dalam ronggga dada, puas rasanya. Iring-iringan lima motor membelah jalanan sentul di pagi nan cerah, terlihat sinar merah matahari mulai menyala.

Niat untuk mengejar momen sunrise di puncak gunung, nampaknya tak kan kesampaian. Melihat jarak yang ditempuh masih cukup jauh. Ya, sudahlah, nikmati saja apa yang ada di perjalanan. Ada untungnya juga hari sudah terang. Bentangan alam perbukitan terhampar indah memanjakan mata. Walaupun jalanan bebatuan memaksa kami agar tetap fokus mengendarai motor.

Jalan yang berkelok-kelok dengan hamparan sawah disisi kiri dan tebing bebatuan di sisi lain, tak henti-hentinya membuat kami berdecak kagum. ambooiii... cantik bingooo pek.

Selanjutnya, kami melewati perkampungan. Hiruk pikuk kehidupan yang khas pedesaan, sudah menggeliat seperti biasa. Ibu yang menyapu di halaman rumah, anak-anak yang pergi ke sekolah, pak petani yang mulai pergi ke sawah, kejar-kejaran ayam jantan dan betina yang kuyakin mereka ingin kawin paksa. Pemandangan yang tak asing lagi, pikirku. Akrab. Saya sering melihatnya. Perkampungan yang asri.



Di tengah perjalanan, sesekali kami bertanya ke penduduk sekitar ketika menemukan persimpangan. Maklum, Saya pikir kami rombongan mahasiswa Tazkia perdana yang akan menginjakkan kaki di Gunung Batu. Kami kah yang dinamakan sang penandai itu? Entahlah.



Keluar dari perkampungan, saya kembali mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan jalan. Barangkali ada pemandangan baru yang akan saya temui. Hei Ada “Pemandangan Unik” !!! Terdapat masjid yang berdiri miring. Saya kurang tahu apa sebabnya, mungkin menyesuaikan susunan tanahnya atau pondasi yang sudah keropos dibawahnya. Melihatnya, saya jadi terbayang dengan menara Pisa di Italia. Mudah-mudahan masjid itu segera direnovasi, atau mungkinkah itu bentuk aslinya *sampai di kalimat ini saya bingung memposisikan diri, antara kagum, miris atau senang. 

Ah sudahlah, tak patut saya berspekulasi. Biarkan realitas berbicara dengan bahasanya sendiri.

Sekitar pukul 7 pagi-an, kami sudah sampai di lokasi. Saya dan kawan-kawan langsung memarkirkan motor di tempat yang telah disediakan. Kulihat ada ‘Akang’ penjaga yang tengah duduk di pos pintu masuk. Melalui obrolan singkat perihal objek wisata. Ternyata, wisata Pendakian Gunung Batu ini baru dibuka awal tahun kemarin, 2015. Tiket masuknya sepaket dengan biaya parkir, cuma sepuluh rebu.

“kang, jalan ke puncaknya mendaki gak”, tanya Jibril.

“Tidak mas”, jawab si akang dengan datarnya. 

“tapi memanjat”, lanjutnya.

Sontak kami terbahak. Securam itukah? Pasti jalannya terjal, atau mungkin hanya tebing biasa. Halah. Mana tau kalo belum dicoba.

Akang penjaga pos yang satu itu ternyata punya jiwa humoris juga. Setelah menatap puncak dari tempat parkir, kami memutuskan untuk segera mendaki. Fiks, pendakian pun dimulai.

Di permulaan jalur pendakian, medannya masih normal. Di sisi kiri jalan, kami melihat barisan pohon durian. Ada sebagian pohon yang sedang seru-serunya menampakkan buahnya. Sepanjang perjalanan, kami juga menemukan banyak tahi kerbau. Sesekali kami juga tak sengaja menginjaknya. eekkkhhh... 


Perlahan tapi pasti, medan mulai menanjak. Keringat mulai merembes menembus baju. Kalau saja kami tahu lebih awal jalannya akan mendaki seperti ini, tentulah kami akan mempersiapkannya dengan benar. Minimal membawa sebotol air minum. Menyesal? Tentu tidak. sudah kepalang tangung. Yup, begitulah sesal. Ia selalu memberikan riak dalam drama kehidupan. Jiaaaah.

Jalur curam pun datang, kami membenarkan apa yang dikatakan akang tadi. Perihal Memanjat bukan mendaki, benar adanya. Kami memanjat dengan bertumpu pada tonjolan batu yang menjulur dan cekungan tanah yang sengaja dibuat. Walaupun track jenis ini tidak mendominasi, tapi cukup membuat hentakan nafas lebih cepat dari biasanya. Berat binggo.



Ada kepuasan tersendiri ketika kita mampu menaklukkan puncak. Karena setelahnya, kita akan paham bahwa menaklukkan satu puncak bukan berarti mencapai segala-galanya. Sebaliknya, jiwa pengembara akan tersulut dengan pemahaman baru, bahwa masih ada banyak puncak di luar sana yang belum dijajal. 

Jalanan curam, medan yang mengancam, sandungan kerikil yang menghujam, persendian yang kadang keram, ataupun rasa lelah yang kadang menikam, hanyalah bagian terkecil dari proses pendakian. Kelak, ketika sudah sampai di puncak, semua rasa itu akan lekas terbalas tuntas, merangkas sampai ke ruas-ruas dahaga puas yang paling dalam. Impas dah.

Oke, yang diatas cuma opini.



Akhirnya, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam, kami sampai di puncak. Puas terasa. Berteriak kencang pertanda bahagia, karena berhasil menaklukkan lelah. Dari puncak kami menatap hamparan alam yang berbeda. Menikmati pemandangan dengan kaca mata burung. Luas, indah, megah, semuanya terlihat unik dan menarik. Gambaran sungai dan jalan, sama memikatnya. Berkelok-kelok bagai sirkuit tempat formula berkompetisi. Di sisin lain terlihat barisan perbukitan, semakin jauh semakin kelihatan biru, dan berakhir menyatu dengan birunya warna langit. Alap nian! Takkan saya lupakan.

Cerita selanjutnya sudah bisa ditebak, saatnya mengabadikan momen-momen di puncak. Rasanya, tak rela membiarkan sedetik pun waktu berlalu tanpa jepretan kamera, begitulah motto Alvin yang sempat ku terka. Kebetulan si kawan ini memang jagonya kalau soal potret-memotret. Mengambil, menangkap, dan membidik setiap sudut dengan angel yang mantab oii... Wajarlah jika dia mendapat sematan fotogafer handal sangat. Hal ini semakin memperkuat teori bahwa, jam terbang jalan-jalan seseorang, berbanding lurus dengan skill fotografinya. Cucook!



Kesimpulan saya, Gunung Batu... Rancak Banaa!! Tapi, yang berkesan selain pemandangan yang alap, serangga yang ada di puncaknya, dan tracknya yang bersahabat *hehe adalah... kawan-kawan seperjalanan dan senasib. Sama-sama membunuh jenuh di sela-sela skripsi. Rehat sejenak sebelum kembali bergulat dengan rutinitas mahasiswa tingkat akhir. Mudah-mudahan cepat kelar-lah buat kalian semua. Sekian!

0 komentar:

Post a Comment