Wajarlah jika Bogor dikenal dengan julukan kota hujan. Hampir empat tahun kuliah dibogor, aku hidup berdampingan dengan suasananya. Seperti malam ini, hujan turun dengan lebat. Gemuruhnya begitu ramai terdengar. Sesekali aku mendengar guntur yang diiringi dengan kilat. Inilah bogor, kota hujan seklaigus kota dengan frekuensi guntur yang tinggi. Aku merasakannya.
Aku rasa, malam ini aku sangat menikmati hujan, duduk di
depan pintu kontrakkan. Menatap derasnya hujan, bersentuhan langsung dengan
titik titik air yang dihembuskan angin. Ada rasa senang yang menyusup dalam
diriku. Saat-saat seperti ini, paling enak jika berkemul dengan selimut. Tapi,
entah kenapa malam ini, aku begitu menikmati suasana hujan. Bagiku, hujan malam
ini kembali mengingatkan akan sesuatu yang sering terabaikan. Malalui hujan
pikiranku berkelebat menjelajahi dimensi dunia yang luas dan berhenti pada
sosok sosok yang sedang bergumul dengan hujan di luar sana.
Duh, bagaimana dengan orang yang tidak punya tempat untuk
berteduh, pikirku. Jangankan untuk berselimut tebal, memiliki baju ganti karena
basa kehujanan saja susah bagi mereka. Pikiran ku pun berkelebat pada
sosok-sosok yang sering tidur dibawah jembatan, emperen toko, jembatan penyeberangan,
atau mereka yang kabur dari rumah karena suatu masalah. Begitu kerasnya hidup
yang mereka hadapi saat-saat hujan seperti ini. Kedinginan, basah, dan rasa tak
nyaman akibat percikan air hujan. Ada banyak sosok yang punya cerita tentang
hujan.
Basah kehujanan bukan hanya milik mereka yang tidak
mempunyai tempat tinggal. Tetapi, dia juga menghampiri mereka yang tidak punya
kesempatan, mereka yang kalah bergulat dengan waktu, tuntutan pekerjaan,
ataupun momentum yang belum berpihak.
Hanya karena kita tak punya kesempatan untuk memiliki
kendaraan roda empat, maka kita akan dengan cepat basah ketika hujan datang. Ada
yang kehujanan karena tuntutan pekerjaan. Lihat, betapa banyak sosok-sosok manusia
yang masih berkeliaran di tengah hujan demi mengais rezeki. Ataupun kehujanan
karena momentum yang tidak tepat. Kita bisa menyaksikan begitu banyak para
pengendara motor yang terpaksa kehujanan karena terjebak lampu merah. Ah, hujan
memang banyak menyajikan cerita.
Beruntungnya kita yang bisa berteduh nyaman di rumah ketika
hujan turun. Bergelung dalam selimut tebal untuk melawan dominasi hawa dingin
yang menyerang. Namun di tempat yang berbeda, ada sosok-sosok yang harus rela
kehujanan karena suatu urusan. Bisa jadi kita juga sering dalam posisi
demikian. Bagimana rasanya? Dingin bukan.
Jika memang kehujanan itu tidak enak, seharusnya itu
mengetuk kepekaan kita untuk memikirkan orang yang tidak punya rumah.
Merasakan dengan memposisikan diri dalam pengalaman mereka. Sehingga inilah
nantinya yang bakal mengetuk rasa kemanusiaan kita, berempati karena sama-sama
manusia. Berempati bukan karena dibuat-buat tapi murni panggilan yang datang
dari rasa manusia yang kita miliki.
Di sisi lain, hujan juga menyajikan kisah-kisah romantis.
Ketika kedinginan mengepung dari segala penjuru akibat hujan melanda, lihatlah
orang-orang berhenti berteduh bawah bayangan atap, ada ibu yang melindungi
anaknya, ada pasangan yang saling mendekat satu sama lain, Mesra dibalik payung yang
menantang gemuruh hujan. Bahkan hujan juga meninggalkan jejak yang elok, jalanan aspal terlihat lebih seksi paska hujan berhenti, segar tanpa debu.
Mencintai hujan dengan segala resikonya, ia datang
memberikan pelajaran, baik berupa menguji kepekaan, menyajikan kisah romantis
maupun datang dalam bentuk bencana nan durjana. Lihat, bagaimana cara hujan
menyapa ibu kota, Dia datang dengan air bahnya. Dia Hadir dengan seribu pesan yang menyertainya. Bahagia,
bencana, dan romantika cinta.
Nampaknya, hujan sudah mulia mereda. Sekian!
Sabtu di tengah hujan yang lebat, 14 Maret 2015
Nice..
ReplyDeletemampir ke blog lu' juga yaah. Not so good tapi kali aja ada yg suka hihii
Dan kalau berkenan bisa folbek :D
http://luluquotes.blogspot.com/?m=1
Ah mau banget aden lihat, hahah
ReplyDeletesegera meluncur lulu'...