Sudah
jamak kita ketahui bersama bahwa dunia politik saat ini, tak lebih dari taman
kanak-kanak. Membuat keributan sana-sini seakan minta diperhatikan. Banyak
konflik yang dimunculkan tak lebih hanya sandiwara yang diperankan oleh aktor
kawakan nan miskin penghargaan. Walhasil, drama politik tanah air menjadi tontotan
yang tak kalah dramatisnya dengan sinetron yang tayang tiap hari di televisi.
Sekilas bisa kita simpulkan bahwa kegiatan politik hari ini, tak lepas dari tawan-menawan antar kepentingan, sandera politik satu sama lain, siapa melakukan apa, maka akibatnya seperti apa, dan dia mendapatkan apa. Keputusan diambil berdasarkan patron-klien politik. Waktu dan energi habis terbuang menggalang kekuatan. Lobi sana-sini untuk mencari kemenangan. Sosok yang diberi amanah memangku jabatan negara, malah lebih manut ke bos partai politiknya.
Jangan
bayangkan kebijakan yang akar katanya ‘bijak’, dalam artian tidak merugikan
pihak manapun, akan lahir dari drama politik demikian, yang ada, negeri ini
makin kacau-balau. Bahkan ada kesan, politisi jujur, kian hari mustahil untuk
ditemukan. Karena semuanya sudah terperangkap dalam lingkaran setan.
Mencarinya, serumit menemukan jarum di tumpukan jerami.
Sebagaimana
pernah disampaikan Komaruddin Hidayat dalam kolom opini Sindo (13/03/2015),
mereka yang hidup di kalangan politik sekarang, tak ubahnya seperti ikan lele.
Hidup di air yang kotor dan mendapat asupan dari makanan yang kotor pula. Tentu
analogi ini tidak benar seratus persen. Namun mengingkarinya sebagai fakta juga
kurang tepat. Mudah sekali menemukan indikatornya, dimana perebutan kekuasaan
menjadi fokus utama, apapun dilakukan, yang penting menang, kasus korupsi kian
meningkat, atau agenda golongan yang didulang atas nama rakyat, semua itu
menjadi penyangkalnya.
Jika
kita melihat bahasa ucapan para politisi, maka kita akan dibuat terpesona.
Retorika yang menggugah dengan sulaman janji yang membuat terpana. Namun sekali
lagi, kita harus sadar bahwa bahasa tidak identik dengan vokal saja. Ada bahasa
isyarat dan juga bahasa perbuatan. bagi politisi yang mempunyai integritas,
mempunyai kesesuaian antara bahasa ucapan dan perbuatan memang bisa dipegang.
Namun bagi politisi bermuka dua, ucapan dan perbutannya bagai dua kutub yang
berlawanan.
Berkaca pada realitas politik yang terjadi
diatas, sudah sepatutnya bagi para politikus untuk meninggalkan gaya lama.
Solusinya yakni berhijrah! Bukan hijrah dalam arti pindah dari satu negera ke
negera lain, tetapi hijrah paradigma. Mengkorvesi pemikiran lama dengan
pemikiran yang baru. Jika dahulu berpolitik demi nyonya dan tuan parpol, maka
sudah saatnya beralih dengan dasar agenda kerakyatan. Jika dulu sibuk sikut
sana-sini demi memuluskan ego pribadi, maka sekarang harus berjuang mati-matian,
murni atas kepentingan negara. Menjadi politisi bukan karena hendak korupsi
apalagi karena jabatan, tapi bentuk panggilan hati nurani. Politisi adalah calon-calon
pemimpin negara. Menjadi pemimpin berarti sudah siap menderita, karena
begitulah catatan sejarah pemimpin dunia. Lekas hijrah lah!
0 komentar:
Post a Comment