Dulu
ketika saya masih SD, saya suka sekali melihat film Tarzan. Film yang bercerita
mengenai seorang anak manusia yang besar dihutan tanpa orang tua. Hidup bersama
penghuni rimba dan tumbuh besar bersama gorilla serta hewan lainnya. Tarzan
adalah sosok yang selalu menjaga hutan dari tangan-tangan yang ingin merusaknya.
Ingatan masa kecil itu begitu melekat dalam pikiran saya. Pemahaman bahwa
manusia adalah sahabat alam begitu berkesan.
Namun
ceritanya sekarang sudah berbeda. Manusia saat ini sudah tak bersahabat lagi
dengan alam. Mereka merasa sudah mampu menaklukkannya. Bagi mereka, tak ada
sesuatu yang tidak mampu dikuasai dari alam ini. Sehingga hal ini membuat
mereka bertindak semena-mena. Kesan yang muncul kemudian, manusia sebagai sosok
penguasa, cenderung arogan dan serampangan dalam memanfaatkan alam. Bahkan terkesan
menggagahi tanpa belas kasih, terus memanfaatkan tanpa melestarikan. Inilah
sebuah bentuk penindasan, bila tidak mau dikatakan sebagai pemerkosaan terhadap
alam.
Kita
bisa melihat bentuk penindasan itu pada film Avatar, karya James Cameron.
Bagaimana sebuah korporasi (perusahaan.red) dari bumi, sengaja datang ke planet
Pandora hanya untuk membuka pertambangan. Apapun akan mereka lakukan, sekalipun
harus merusak ekosistem alamnya. Termasuk melenyapkan bangsa Navi sebagai suku
adatnya. Gambaran tentang keserakahan itu, hingga kini masih terus terjadi di
beberapa daerah di Indonesia.
Sebut
saja kasus Papua misalnya. Sudah kita ketahui bersama bahwa PT Freeport sejak
tahun 1967 terus mengeruk emas tanpa menghiraukan kerusakan yang dihasilkan, termasuk
kehidupan suku aslinya, Amugme. Atau kasus perseteruan antara perusahaan
tambang pasir dan petani di Kulonprogo. Mereka rubah lahan pertanian cabai
menjadi pertambangan pasir dengan bantuan pemerintah sekitar. Mereka keruk
habis lahan pertanian tanpa menghiraukan rakyat yang menggantungkan kehidupan
dari atasnya. Baru-baru ini, kita juga dikagetkan oleh permainan PT Semen
Indonesia yang hendak mengkonversi lahan petani Kendeng, Rembang menjadi pabrik
semen. Untuk apa semua itu? Tak lain hanya untuk memenuhi hasrat rakus
segelintir orang. Pribadi yang kaya dengan nafsu menghancurkan. Manusia sudah
tidak lagi bersahabat dengan alam.
Walhasil,
alam pun menjawab dengan bahasanya sendiri. Lihat! Bencana longsor yang
terjadi, seakan sebuah jawaban yang diberikan alam atas penebangan hutan yang
menggila. Fenomena banjir sebagai balasan dari konversi lahan pertanian yang
ditanami beton-beton perumahan. Kita harus memegang sebuah pemahaman, bahwa alam bukanlah
semata-mata warisan dari nenek moyang kita yang bisa digunakan seenaknya. Alam
adalah subsidi antar generasi. Alam adalah dunia yang kita pinjam dari generasi
anak cucu kita. Jangan sampai mereka tidak bisa menikmati alam sebagaimana yang
kita nikmati saat ini. Alam yang kita huni, bukan hanya milik satu atau dua
generasi saja. Anak cucu kita juga berhak atas keindahannya.
Tanpa alam manusia takkan hidup. Kenapa kita tidak
mau bersahabat dengan alam? Bukankah dalam setiap geraknya juga ada pesan Tuhan
sang Pencipta. Iqra’...
0 komentar:
Post a Comment