Thursday, 7 May 2015

Bersahabat Dengan Alam



Dulu ketika saya masih SD, saya suka sekali melihat film Tarzan. Film yang bercerita mengenai seorang anak manusia yang besar dihutan tanpa orang tua. Hidup bersama penghuni rimba dan tumbuh besar bersama gorilla serta hewan lainnya. Tarzan adalah sosok yang selalu menjaga hutan dari tangan-tangan yang ingin merusaknya. Ingatan masa kecil itu begitu melekat dalam pikiran saya. Pemahaman bahwa manusia adalah sahabat alam begitu berkesan.

Namun ceritanya sekarang sudah berbeda. Manusia saat ini sudah tak bersahabat lagi dengan alam. Mereka merasa sudah mampu menaklukkannya. Bagi mereka, tak ada sesuatu yang tidak mampu dikuasai dari alam ini. Sehingga hal ini membuat mereka bertindak semena-mena. Kesan yang muncul kemudian, manusia sebagai sosok penguasa, cenderung arogan dan serampangan dalam memanfaatkan alam. Bahkan terkesan menggagahi tanpa belas kasih, terus memanfaatkan tanpa melestarikan. Inilah sebuah bentuk penindasan, bila tidak mau dikatakan sebagai pemerkosaan terhadap alam.

Kita bisa melihat bentuk penindasan itu pada film Avatar, karya James Cameron. Bagaimana sebuah korporasi (perusahaan.red) dari bumi, sengaja datang ke planet Pandora hanya untuk membuka pertambangan. Apapun akan mereka lakukan, sekalipun harus merusak ekosistem alamnya. Termasuk melenyapkan bangsa Navi sebagai suku adatnya. Gambaran tentang keserakahan itu, hingga kini masih terus terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Sebut saja kasus Papua misalnya. Sudah kita ketahui bersama bahwa PT Freeport sejak tahun 1967 terus mengeruk emas tanpa menghiraukan kerusakan yang dihasilkan, termasuk kehidupan suku aslinya, Amugme. Atau kasus perseteruan antara perusahaan tambang pasir dan petani di Kulonprogo. Mereka rubah lahan pertanian cabai menjadi pertambangan pasir dengan bantuan pemerintah sekitar. Mereka keruk habis lahan pertanian tanpa menghiraukan rakyat yang menggantungkan kehidupan dari atasnya. Baru-baru ini, kita juga dikagetkan oleh permainan PT Semen Indonesia yang hendak mengkonversi lahan petani Kendeng, Rembang menjadi pabrik semen. Untuk apa semua itu? Tak lain hanya untuk memenuhi hasrat rakus segelintir orang. Pribadi yang kaya dengan nafsu menghancurkan. Manusia sudah tidak lagi bersahabat dengan alam. 

Walhasil, alam pun menjawab dengan bahasanya sendiri. Lihat! Bencana longsor yang terjadi, seakan sebuah jawaban yang diberikan alam atas penebangan hutan yang menggila. Fenomena banjir sebagai balasan dari konversi lahan pertanian yang ditanami beton-beton perumahan. Kita harus memegang sebuah pemahaman, bahwa alam bukanlah semata-mata warisan dari nenek moyang kita yang bisa digunakan seenaknya. Alam adalah subsidi antar generasi. Alam adalah dunia yang kita pinjam dari generasi anak cucu kita. Jangan sampai mereka tidak bisa menikmati alam sebagaimana yang kita nikmati saat ini. Alam yang kita huni, bukan hanya milik satu atau dua generasi saja. Anak cucu kita juga berhak atas keindahannya.

Tanpa alam manusia takkan hidup. Kenapa kita tidak mau bersahabat dengan alam? Bukankah dalam setiap geraknya juga ada pesan Tuhan sang Pencipta. Iqra’...

0 komentar:

Post a Comment