Thursday 26 December 2019

Setelah Dipuji karena Garuda, Erick Thohir Diuji Kemelut Jiwasraya

Erick Thohir, Menteri BUMN Indonesia
Rasanya belum lama, ketika publik membanjiri Erick Thohir dengan pujian atas aksi heroiknya memecat petinggi Garuda yang terjerat kasus penyelundupan. Namun saat ini, dirinya sedang dihantam oleh prahara Jiwasraya. Perusahaan plat merah itu terancam bangkrut akibat salah kelola.

Tidak tanggung-tanggung, pailitnya BUMN tersebut berpotensi merugikan negara sebesar Rp. 13,7 triliun. Uang segitu, kalo dibelikan nasi Padang, cukup untuk mentraktir seluruh penduduk Indonesia. Dua bungkus pula. Gilak!

Kini, pihak-pihak terkait pasti sedang pusing memikirkan jalan keluarnya. Dilema memang. Penanganannya harus cepat. Nasabah sudah teriak menagih premi yang sudah jatuh tempo, lengkap dengan keuntungan yang telah dijanjikan. Sementara kas perusahaan tak mencukupi. Jiwasraya butuh suntikan dana segera. Ia sedang sekarat. Jika tak ditolong, mungkin dalam waktu dekat akan almarhum.

Alih-alih memberikan pemasukan bagi negara, perusahaan satu ini malah berpotensi sebagai parasit yang bakal menghisap kas negara.

Aku jadi teringat percakapan dengan seorang kawan beberapa hari lalu. Untuk mencapai titik keuangan yang stabil, minimal di rekening kita harus ada satu milyar. Uang akan bekerja untuk kita. Tetapi untuk sampai ke angka seratus juta, semua orang harus bekerja mati-matian siang dan malam.

BACA: Hai, Nama Saya Dinar! 
Nah, di titik kemapanan itulah para nasabah Jiwasraya. Mereka kumpulan jutawan. Bahkan salah satu nasabahnya adalah Bos besar Samsung Electronic Indonesia.

Jika negara sampai menggelontorkan dana talangan untuk Jiwasraya, khususnya nasabah untuk produk JS Plan. pasti banyak masyarakat yang akan cemburu. Ya, mayoritas nasabah yang dirugikan dalam kasus gagal bayar ini adalah masyarakat berduit. Level manager dan pengusaha kelas kakap.

Bayangkan saja, harga polisnya paling kecil 100 juta. Maksimal 5 milyar. Setidaknya, pembeli polis ini adalah orang-orang yang kebutuhan sehari-harinya lebih dari cukup. Bahkan simpanan rekeningnya bertengger di nominal fantastis. Merekalah hari ini yang sedang menggugat Jiwasraya dan mengadu pada negara.

Tentu saja tak ada yang salah. Mereka hanya menuntut apa yang sudah menjadi hak mereka. Lagi pula, polis yang ditawarkan berbentuk investasi dengan jaminan keuntungan lebih dari 10 persen. Return-nya Lebih besar dari deposito dan rata-rata bunga bank.

Sebetulnya, aku tak cukup mengerti kemelut yang terjadi pada kasus gagal bayarnya Jiwasraya. Namun ilustrasi kasarnya seperti ini: Nasabah membeli polis senilai 5 milyar. Saat jatuh tempo, mereka menerima pengembalian uang pokoknya secara full, plus keuntungan yang dijanjikan 10 persen. Pertumbuhan uangnya kurang lebih Rp. 5,25 Milyar. Hanya dengan parkir dana, bisa dapat tambahan 250 juta. Pasti pula. Siapa yang tidak tergiur?

Disinilah letak kesalahan Jiwasraya. Dengan rasa percaya diri, mereka tawarkan produk investasi berkedok asuransi. Bahkan dengan jaminan keuntungan yang kelewat berani. Sampai 13 persen. Mereka ajak bank bekerjasama untuk menawarkan produk ke nasabah prioritas. Ya, setiap bank pasti punya database nasabah dengan simpanan di atas rata-rata. Tak sedikit warga asing yang tergiur.

Walhasil, ketika jatuh tempo sementara dana yang diputar tidak menghasilkan keuntungan maksimal, membuat Jiwasraya akhirnya harus terkapar karena gagal bayar.

Jiwasraya adalah contoh kecil lembaga yang berorientasi pada pertumbuhan. Jumlah penerimaan premi memang meningkat setiap tahunnya. Bahkan pemasukan dari produk JS Plan pernah membukukan lebih dari 70 persen untuk total penerimaan premi Jiwasraya. Yang dilewatkan, semuanya adalah uang panas yang musti dikembalikan dengan jaminan keuntungan.

Mau tidak mau, kondisi tersebut memaksa Jiwasraya berpikir keras mencari cara agar untung. Apapun caranya. Salah satu alternatif yang dipilih, yakni menanam investasi di pasar saham. Sayangnya, siklus pasar sangat fluktuatif. Tidak melulu menguntungkan. Ditambah lagi faktor Manajer Investasi yang bisa juga tergoda moral hazard, bermain mata menggoreng saham.

Malangnya, investasi Jiwasraya di pasar saham belum beruntung. Asset yang mereka beli tergerus oleh arus pasar yang kejam. Lenyaplah uang nasabah dalam sekejap. Yang tersisa, hanya tagihan premi yang hadir bagai malaikat pencabut nyawa.

Jiwasraya terlalu percaya diri, hingga melampaui takdir. Ia melupakan satu hal, bumi yang bulat ini tidak selalu menawarkan kepastian. Termasuk logika 'Pasti Untung'.

Selain itu, Jiwasraya terlampau jauh keluar dari pakemnya. Lingkup kerjanya sebagai lembaga proteksi, ia langkahi dengan masuk ke ranah perbankan. Ia kawinkan peran Asuransi dan investasi. Double job. Akhirnya Jiwasraya lelah kehabisan energi. Seperti pemain bola yang asik berimprovisasi sampai lupa kondisi. Sudah capek, offside pula. Aih!

Akibat ulah Jiwasraya, semua petinggi negara dibuat pusing. Menteri, Otoritas Jasa Keuangan, DPR bahkan presiden ikut turun tangan.

Bagi Erick Thohir sendiri, Jiwasraya adalah ujian pertamanya selaku menteri BUMN. Masyarakat satu republik sudah terlanjur berharap lebih padanya. Apalagi track record-nya sebagai pebisnis sudah tidak diragukan lagi. Kira-kira, bagaimana kelanjutan dramanya? Seperti apa tangan dingin om Erick menyelesaikannya?

Kita lihat saja...

Baca juga: Perang Tanding Versus Kaum Rentenir

2 comments: