Sunday 1 March 2015

Gerilya di Tasikmalaya


Menjadi dewasa tidak selalu diukur dengan umur, tapi seberapa banyak kesimpulan hidup yang telah kita hasilkan. Bertambah usia tidak serta-merta membuat kita paham segala-galanya, begitulah yang pernah disampaikan Dee. 


Tidak berlebihan, jika saya mengatakan pengalaman adalah salah satu tolak ukur kedewasaan, tidak cukup pengalaman saja, tapi pemaknaan kita terhadap pengalaman itu sendiri dan pengaruhnya dalam perilaku di waktu selanjutnya. Terpenting adalah bagaimana cara kita merenung dan menyaring saripati pengalaman itu sebanyak mungkin, sekalipun hanya secuil pengalaman, termasuk pengalaman berproses dalam organisasi. 

Oleh karena itu, saya akan menyelami kesimpulan apa saja yang telah saya dapatkan ketika berkunjung ke kota priangan timur, Tasikmalaya beberapa bulan lalu. Pengalaman yang dilahirkan dari semangat spontanitas. Aktivasi dari seorang kader yang ingin terus berkembang. Sebagai ciri khas seorang pemuda. Memakai taktik gerilya untuk melawan rasa kalut yang muncul tak terduga.

Satu hari sebelum keberangkatan, saya baru saja pulang dari mendaki gunung Gede Pangrango bersama kawan-kawan Simpul Mati. Jadi masih terasa betul suasana pendakian. Mulai dari bayangan mengenai kawan-kawan baru, wajah lain dari Indonesia di puncak gede, tanah-tanah pendakian yang melekat di alas kaki, bahkan pegal-pegal yang bersarang di betis dan pundak, khusus yang terakhir, konon kabarnya seminggu kemudian baru hilang bekasnya.

Menjelang shubuh, saya melanjutkan istirahat sampai jam tujuh-an. Selepasnya, saya bergegas mempersiapkan perlengkapan apa saja yang akan dikemas, menyeleksi pakaian yang harus dibawa, karena kebetulan baju-baju andalan sudah kotor dalam pendakian, serta mempersiapkan surat pengantar dari cabang sebagai syarat untuk mengikuti Latihan Instruktur HMI di Tasikmalaya. Usai semuanya, saya melanjutkan istirahat. Sisa lelah yang tersisa tak mampu ku cegah. Urang hayang sare keneh euy... (saya masih mau tidur uy)

Saya berangkat dari kota Hujan, Bogor. ketika jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Bus Doa Ibu menjadi pilihan saya untuk mengarungi petualangan ini. Entah apa yang saya pikirkan saat itu sehingga memutuskan berangkat sesore itu tanpa pertimbangan sebelumnya, bahwa jarak kota yang dituju cukup memakan waktu. Yup, tujuh jam perjalanan untuk sampai ke Tasik.

Selama perjalanan banyak praduga-praduga yang berkeliaran di kepala meminta porsi lebih untuk dipikirkan. Bagaimana cara menemukan tempat penginapan, bagaimana jika bus yang dinaiki tidak sampai ke kota tujuan, angkot apa yang akan dinaiki selanjutnya, dan beragam ilusi yang kesemuanya berujung pada satu kesimpulan, rasa khawatir. Disini saya sampai pada sebuah titik, bahwa rasa takut yang kita alami merupakan hasil dari ketidaktahuan kita akan fenomena, ketidakmampuan kita dalam mendefinisikan sesuatu.

Jika sekarang adalah tantangan dan masa depan merupakan sekumpulan misteri yang belum terdefinisikan, maka modalku Cuma satu, yakni masa lalu. Saya kembali menghadirkan pengalaman-pengalaman serupa. Saya tahu jawabannya. “Just Do it”. Jalani saja..

Sama halnya seperti ujian semester, semakin tidak siap kita semakin takutlah kita. Sebaliknya, jika kita sudah banyak tahu tentang materi ujian, maka kita akan menghadapinya dengan percaya diri. Namun ketika soal ujian sudah terpampang depan muka, mau tak mau kita harus berjibaku dengannya.

Untuk membunuh waktu kosong dalam perjalan, saya membuka percakapan dengan kawan seperjalanan. Bagi saya, inilah moment menarik yang tidak terpisahkan dari setiap petualangan, mendapat kawan baru. Setiap orang sama malunya untuk membuka perbincangan dengan orang tak dikenal, jadi saya beranikan saja memecah kebekuan itu. Walhasil, satu ketidak-pastian yang kita taklukkan akan memberikan kenyamanan. Biasanya, praduga liar itu dilahirkan dari sepinya momen kebersamaan dan proses mengenal satu sama lain. 

Dari awal keberangkatan, sengaja kupersipakan makalah dalam bentuk print out. Lazimnya dalam setiap pelatihan HMI harus membuat makalah sebagai syarat mengikuti forum untuk kemudian di presentasikan. Sebagai persiapan, saya buka kembali makalah itu. Selang beberapa menit, rasa kantukpun memanggil dan mengajakku mengarungi lakon sebagai orang yang tidak berakal, saya terlelap tidur.

Saya terbangun, lebih tepatnya dibangunkan oleh kenek bus. Aku turun di pemberhentian terakhir. Tidak banyak pemandangan yang bisa kutangkap dari mata yang baru bangun dari lelap, menapakkan kaki di tasik ketika pukul menunjukkan jam dua belas malam. Seperti yang saya sampaikan, keadaan seperti inilah yang seringkali menghantui kita sebelum mencoba hal-hal baru, saya kalut. 

Di kota yang baru sekali ini saya singgahi, tangah malam pula, mantab betul. Tapi jangan bayangkan itu seseram pemakaman kuburan, karena saya turun di terminal yang masih menyisakan manusia-manusia terakhir seleksi malam yang tetap gigih mengais rezeki. 

Saya langsung menjajal makanan tasik sebagai salam perkenalan. Semangkuk bubur ayam dengan sukses memberikan kesan tersendiri dalam jumpa perdana ini. Beruntung nomer panitia pelaksana masih aktif ketika kuhubungi. Mungkin aku harus siap tidur di terminal jika tak ada jawaban malam itu. 

Tak lama kemudian sosok jajaka Tasik datang menjemput, namanya kang Furqon. Dia pengurus HMI cabang Tasikmalaya merangkap instruktur Badan Pengelola Latihan (BPL) juga. Al hamdulillah kesan pertama berkenalan dengan kota Tasikmalaya terpajang indah dalam pahatan memori saya. Walcome Tasik...

0 komentar:

Post a Comment