Menjadi dewasa tidak selalu diukur dengan umur, tapi seberapa
banyak kesimpulan hidup yang telah kita hasilkan. Bertambah usia tidak
serta-merta membuat kita paham segala-galanya, begitulah yang pernah
disampaikan Dee.
Tidak berlebihan, jika saya mengatakan pengalaman adalah salah satu
tolak ukur kedewasaan, tidak cukup pengalaman saja, tapi pemaknaan kita
terhadap pengalaman itu sendiri dan pengaruhnya dalam perilaku di waktu
selanjutnya. Terpenting adalah bagaimana cara kita merenung dan menyaring
saripati pengalaman itu sebanyak mungkin, sekalipun hanya secuil pengalaman,
termasuk pengalaman berproses dalam organisasi.
Oleh karena itu, saya akan menyelami kesimpulan apa saja yang telah
saya dapatkan ketika berkunjung ke kota priangan timur, Tasikmalaya beberapa
bulan lalu. Pengalaman yang dilahirkan dari semangat spontanitas. Aktivasi dari
seorang kader yang ingin terus berkembang. Sebagai ciri khas seorang pemuda.
Memakai taktik gerilya untuk melawan rasa kalut yang muncul tak terduga.
Satu hari sebelum keberangkatan, saya baru saja pulang dari mendaki
gunung Gede Pangrango bersama kawan-kawan Simpul Mati. Jadi masih terasa betul
suasana pendakian. Mulai dari bayangan mengenai kawan-kawan baru, wajah lain
dari Indonesia di puncak gede, tanah-tanah pendakian yang melekat di alas kaki,
bahkan pegal-pegal yang bersarang di betis dan pundak, khusus yang terakhir,
konon kabarnya seminggu kemudian baru hilang bekasnya.
Menjelang shubuh, saya melanjutkan istirahat sampai jam tujuh-an.
Selepasnya, saya bergegas mempersiapkan perlengkapan apa saja yang akan dikemas,
menyeleksi pakaian yang harus dibawa, karena kebetulan baju-baju andalan sudah
kotor dalam pendakian, serta mempersiapkan surat pengantar dari cabang sebagai
syarat untuk mengikuti Latihan Instruktur HMI di Tasikmalaya. Usai semuanya,
saya melanjutkan istirahat. Sisa lelah yang tersisa tak mampu ku cegah. Urang hayang
sare keneh euy... (saya masih mau tidur uy)
Saya berangkat dari kota Hujan, Bogor. ketika jam sudah menunjukkan
pukul lima sore. Bus Doa Ibu menjadi pilihan saya untuk mengarungi petualangan
ini. Entah apa yang saya pikirkan saat itu sehingga memutuskan berangkat sesore
itu tanpa pertimbangan sebelumnya, bahwa jarak kota yang dituju cukup memakan
waktu. Yup, tujuh jam perjalanan untuk sampai ke Tasik.
Selama perjalanan banyak praduga-praduga yang berkeliaran di kepala
meminta porsi lebih untuk dipikirkan. Bagaimana cara menemukan tempat
penginapan, bagaimana jika bus yang dinaiki tidak sampai ke kota tujuan, angkot
apa yang akan dinaiki selanjutnya, dan beragam ilusi yang kesemuanya berujung pada
satu kesimpulan, rasa khawatir. Disini saya sampai pada sebuah titik, bahwa
rasa takut yang kita alami merupakan hasil dari ketidaktahuan kita akan
fenomena, ketidakmampuan kita dalam mendefinisikan sesuatu.
Jika sekarang adalah tantangan dan masa depan merupakan sekumpulan
misteri yang belum terdefinisikan, maka modalku Cuma satu, yakni masa lalu.
Saya kembali menghadirkan pengalaman-pengalaman serupa. Saya tahu jawabannya.
“Just Do it”. Jalani saja..
Sama halnya seperti ujian semester, semakin tidak siap kita semakin
takutlah kita. Sebaliknya, jika kita sudah banyak tahu tentang materi ujian,
maka kita akan menghadapinya dengan percaya diri. Namun ketika soal ujian sudah
terpampang depan muka, mau tak mau kita harus berjibaku dengannya.
Untuk membunuh waktu kosong dalam perjalan, saya membuka percakapan
dengan kawan seperjalanan. Bagi saya, inilah moment menarik yang tidak
terpisahkan dari setiap petualangan, mendapat kawan baru. Setiap orang sama
malunya untuk membuka perbincangan dengan orang tak dikenal, jadi saya
beranikan saja memecah kebekuan itu. Walhasil, satu ketidak-pastian yang kita
taklukkan akan memberikan kenyamanan. Biasanya, praduga liar itu dilahirkan dari
sepinya momen kebersamaan dan proses mengenal satu sama lain.
Dari awal keberangkatan, sengaja kupersipakan makalah dalam bentuk
print out. Lazimnya dalam setiap pelatihan HMI harus membuat makalah sebagai
syarat mengikuti forum untuk kemudian di presentasikan. Sebagai persiapan, saya
buka kembali makalah itu. Selang beberapa menit, rasa kantukpun memanggil dan
mengajakku mengarungi lakon sebagai orang yang tidak berakal, saya terlelap
tidur.
Saya terbangun, lebih tepatnya dibangunkan oleh kenek bus. Aku
turun di pemberhentian terakhir. Tidak banyak pemandangan yang bisa kutangkap
dari mata yang baru bangun dari lelap, menapakkan kaki di tasik ketika pukul
menunjukkan jam dua belas malam. Seperti yang saya sampaikan, keadaan seperti
inilah yang seringkali menghantui kita sebelum mencoba hal-hal baru, saya
kalut.
Di kota yang baru sekali ini saya singgahi, tangah malam pula,
mantab betul. Tapi jangan bayangkan itu seseram pemakaman kuburan, karena saya
turun di terminal yang masih menyisakan manusia-manusia terakhir seleksi malam
yang tetap gigih mengais rezeki.
Saya langsung menjajal makanan tasik sebagai salam perkenalan.
Semangkuk bubur ayam dengan sukses memberikan kesan tersendiri dalam jumpa
perdana ini. Beruntung nomer panitia pelaksana masih aktif ketika kuhubungi.
Mungkin aku harus siap tidur di terminal jika tak ada jawaban malam itu.
Tak lama kemudian sosok jajaka Tasik datang menjemput, namanya kang
Furqon. Dia pengurus HMI cabang Tasikmalaya merangkap instruktur Badan
Pengelola Latihan (BPL) juga. Al hamdulillah kesan pertama berkenalan dengan
kota Tasikmalaya terpajang indah dalam pahatan memori saya. Walcome Tasik...
0 komentar:
Post a Comment