Saturday 21 February 2015

Mengeja Indonesia di Puncak Gede

 

Mendaki bukan berarti menggagahi gunung, tapi lebih kepada cara bercumbu mesra dengan alam. Mendaki merupakan kegiatan yang akan mengajarkan kita banyak hal. Entah istilah dari mana dan siapa dulu yang memulai menelurkan kalimat ini, “sifat asli seseorang akan nampak ketika naik gunung”. Tak percaya, silahkan dicoba. hehe
 
Ada begitu banyak pengalaman unik yang didapat dari mendaki. Kita akan akan bertemu dengan para pendaki yang datang dari berbagai daerah, yang terangkum dalam satu tujuan yang sama, yakni menggapai puncak gunung.

Kau akan menemukan wajah lain dari bangsa indonesia ketika naik gunung. Pertama kali naik gunung, aku membayangkan diriku dengan beberapa orang saja yang melakukan aktifitas ini. Teryata tidak, ada banyak kawan-kawan dengan asal daerah yang bermacam-macam. Ku taksir ada sekitar lima ratusan lebih pendaki menjelang akhir pekan. 

Kehidupan para pendaki penuh dengan kata-kata motivasi dan hangat dalam berkomunikasi. Mereka yang turun akan memberikan semangat untuk kawna-kawan yang baru menapaki tubuh gunung, semua itu mengalir dengan sedirinya tanpa diminta. Saling melempar senyum menjadi hal yang lumrah. Begitupun ketika kita kehabisan air, dengan senang hati pendaki yang lain akan berbagi.

Semuanya kelihatan setara tanpa ada yang mendominasi antar satu sama lain. Jika kita selama ini disibukkan dengan pertanyaan, bagaimana cara menghilangkan kemiskinan, setidaknya kita akan diberikan gambaran penyelesaian dari aktivitas naik gunung. 

Kemiskinan muncul karena ada kesenjangan dari mereka yang kelebihan harta dan mereka yang kekurangan, hal ini biasanya ditandai dengan kepemilikan barang barang sekunder dan sesuatu yg berkaitan dengan hal pemenuhan keinginan. 

Nah di gunung, tak ada yang dominan antar pendaki dalam kepemilikan. Semua sama, yakni hanya terbatas pada hal hal yang primer, tak lebih peralatan mendaki saja. Tenda yang seragam, perlengkapan, kompor, alat masak dan pakaian, selebihnya bisa diatasi dengan kesederhanaan. 

Orang tidur-tiduran beralaskan rumput dengan pakaian ala manusia gunung, makan dengan menu ala kadarnya, semua itu menjadi hal lumrah. Namun akan berbeda keadaannya, ketika hal serupa kita temukan di perkotaan. Dan inilah yang menjadi salah satu rasionalisasi, kenapa ada sebagian kelompok yang keukeuh memperjuangkan faham ‘Anti kemapanan’. 

Namun kesederhanaan hidup para pendaki bukan berarti bebas dari masalah. Di arena pendakian, ada begitu banyak ranjau (poops) yang terselip dimana-mana. Sampah tisu yang yang berceceran di sekitar semak-semak. Pasti kau bisa menebak bukan, bekas apa tisu-tisu itu? Permasalahan MCK menjadi urgent. Bisa jadi tempat dimana kita membangun tenda adalah tempat buang air kecil sebelumnya. :D

Satu hal yang ada dipikiran sebagain para pendaki, ketika mereka sudah mencapai puncak dan menikmati hamparan dari atasnya. Gagaimana caranya, agar mereka bisa sesegera mungkin sampai ke kaki gunung dengan selamat dan kembali dalam kehidupan normal. Sehingga dalam beberapa kasus, para pendaki seringkali meninggalkan sampah di atas gunung. Tinggalah tubuh gunung dengan seonggok sampah yang bertebaran dimana-mana. 

Jika selama ini kita sering mendengar film dengan judul “5 CM”, yang mengajarkan tentang cita-cita yang berada 5 cm di depan mata kita, begitupun yang akan kita temukan dalam arena pendakian. Bedanya 5 CM yang dimaksud bukan cita-cita seperti yang dimaksud diatas, melainkan jejak-jejak sampah. 

Sangat tepat rasanya, jika di kalangan pendaki ada sitilah “jangan meninggalkan apapun selain jejak kaki dan jangan mengambil apapun selain gambar”. 

Sejatinya kata-kata ini akan tetap abadi sebagai nilai yang mati, jika tak ada sosok pendaki yang menghidupkan nilai dalam kata ini. semoga!

0 komentar:

Post a Comment