Mendaki
bukan berarti menggagahi gunung, tapi lebih kepada cara bercumbu mesra dengan
alam. Mendaki merupakan kegiatan yang akan mengajarkan kita banyak hal. Entah
istilah dari mana dan siapa dulu yang memulai menelurkan kalimat ini, “sifat
asli seseorang akan nampak ketika naik gunung”. Tak percaya, silahkan dicoba. hehe
Ada
begitu banyak pengalaman unik yang didapat dari mendaki. Kita akan akan bertemu
dengan para pendaki yang datang dari berbagai daerah, yang terangkum dalam satu
tujuan yang sama, yakni menggapai puncak gunung.
Kau
akan menemukan wajah lain dari bangsa indonesia ketika naik gunung. Pertama
kali naik gunung, aku membayangkan diriku dengan beberapa orang saja yang
melakukan aktifitas ini. Teryata tidak, ada banyak kawan-kawan dengan asal daerah
yang bermacam-macam. Ku taksir ada sekitar lima ratusan lebih pendaki menjelang
akhir pekan.
Kehidupan
para pendaki penuh dengan kata-kata motivasi dan hangat dalam berkomunikasi. Mereka
yang turun akan memberikan semangat untuk kawna-kawan yang baru menapaki tubuh
gunung, semua itu mengalir dengan sedirinya tanpa diminta. Saling melempar
senyum menjadi hal yang lumrah. Begitupun ketika kita kehabisan air, dengan
senang hati pendaki yang lain akan berbagi.
Semuanya
kelihatan setara tanpa ada yang mendominasi antar satu sama lain. Jika kita
selama ini disibukkan dengan pertanyaan, bagaimana cara menghilangkan
kemiskinan, setidaknya kita akan diberikan gambaran penyelesaian dari aktivitas
naik gunung.
Kemiskinan
muncul karena ada kesenjangan dari mereka yang kelebihan harta dan mereka yang
kekurangan, hal ini biasanya ditandai dengan kepemilikan barang barang sekunder
dan sesuatu yg berkaitan dengan hal pemenuhan keinginan.
Nah
di gunung, tak ada yang dominan antar pendaki dalam kepemilikan. Semua sama,
yakni hanya terbatas pada hal hal yang primer, tak lebih peralatan mendaki saja.
Tenda yang seragam, perlengkapan, kompor, alat masak dan pakaian, selebihnya
bisa diatasi dengan kesederhanaan.
Orang
tidur-tiduran beralaskan rumput dengan pakaian ala manusia gunung, makan dengan
menu ala kadarnya, semua itu menjadi hal lumrah. Namun akan berbeda keadaannya,
ketika hal serupa kita temukan di perkotaan. Dan inilah yang menjadi salah satu
rasionalisasi, kenapa ada sebagian kelompok yang keukeuh memperjuangkan faham
‘Anti kemapanan’.
Namun
kesederhanaan hidup para pendaki bukan berarti bebas dari masalah. Di arena
pendakian, ada begitu banyak ranjau (poops) yang terselip dimana-mana. Sampah
tisu yang yang berceceran di sekitar semak-semak. Pasti kau bisa menebak bukan,
bekas apa tisu-tisu itu? Permasalahan MCK menjadi urgent. Bisa jadi tempat
dimana kita membangun tenda adalah tempat buang air kecil sebelumnya. :D
Satu
hal yang ada dipikiran sebagain para pendaki, ketika mereka sudah mencapai
puncak dan menikmati hamparan dari atasnya. Gagaimana caranya, agar mereka bisa
sesegera mungkin sampai ke kaki gunung dengan selamat dan kembali dalam
kehidupan normal. Sehingga dalam beberapa kasus, para pendaki seringkali
meninggalkan sampah di atas gunung. Tinggalah tubuh gunung dengan seonggok
sampah yang bertebaran dimana-mana.
Jika
selama ini kita sering mendengar film dengan judul “5 CM”, yang mengajarkan
tentang cita-cita yang berada 5 cm di depan mata kita, begitupun yang akan kita
temukan dalam arena pendakian. Bedanya 5 CM yang dimaksud bukan cita-cita seperti
yang dimaksud diatas, melainkan jejak-jejak sampah.
Sangat
tepat rasanya, jika di kalangan pendaki ada sitilah “jangan meninggalkan apapun
selain jejak kaki dan jangan mengambil apapun selain gambar”.
Sejatinya
kata-kata ini akan tetap abadi sebagai nilai yang mati, jika tak ada sosok
pendaki yang menghidupkan nilai dalam kata ini. semoga!
0 komentar:
Post a Comment