Sunday 24 November 2013

Perkenalan Singkat Dengan Tan Malaka

Daftar tokoh yang kukagumi bertambah satu orang lagi. Proses perkenalan imajiner ini, diawali dari buku. Yah… Baru saja kuselesaikan buku tentang perjalanan seorang pahlawan bangsa, yang sengaja dilupakan oleh sejarah, dalam hal ini Orde Baru. Tan Malaka, dialah orangnya. Perkenalanku dengan tokoh yang satu ini sudah cukup lama, tepatnya ketika pulang liburan ‘aliyah dikala nyantri. Kala itu ada sebuah buku yang tregeletak di kamar, yang kutahui itu adalah salah satu buku bacaan sak[1] ku. Dalam buku tersebut aku tahu bahwa Tan Malaka merupakan salah satu pahlawan Indonesia. Hanya sebatas itulah yang ku ingat. Maklum saat itu minatku tidak terlalu kuat untuk mengetahui yang model begituan. Aku masih disibukkan dengan novel-novel fiksi karya Habiburrahman dkk.



Dan perjumpaan selanjutnya, terjadi ketika aku bergabung ke perhimpunan. Banyak dari teman-teman yang menyarankan membaca salah satu karya beliau yakni, Madilog. Heranku pu mulai tergelitik. Ada apakah gerangan dengan tokoh yang satu ini? Apa kelebihannya sehingga begitu banyak teman-teman dalam perhimpunan yang menyebut-nyebut namanya. Bahkan tak jarang pola pikir dan perkataannya sering dikutip oleh teman-teman perhimpunan. “Dari dalam kubur suaraku akan terdengar lebih keras dibanding di atas bumi” itulah salah satu kalimat yang fenomenal di kalangan perhimpunan. Akhirnya penasarkupun tak bisa bisa dibendung lagi. Madilogpun mulai kulahap dan akupun mulai terpesona dengan tarian-tarian pemikiran dan pergerakannya. Aku terkagum-kagum dengan kegemarannya dalam membaca  dan begitu cintanya dia terhadap buku-buku. Dalam buku tresebut digambarkan bagaimana perjuangannya membaca buku dalaam lubang-lubang sempit agar terhindar dari pantauan tentara. Aku takjub dengan  caranya memahami buku. Dia punya senjata yang bernama ‘jembatan keledai’. Pegetahuan yang ia dapat dari buku ia bentuk dengan pola singkatan sedemikian rupa, sehingga mudah diingat dan bisa dijelaskan secara runut. Sungguh begitu menakjubkan… Namun buku tersebut sampai sekarang belum ku tuntantaskan sampai selesai karena ada bebrapa bagian yang belum bisa kufahami… Tak apalah…


Dan kemarin perjumpaan kami yang ketiga kalipun kembali terjadi. Ketika mampir ke kamar DKM Andalusia, tak sengaja mataku tertuju pada rak buku ilo’. Disana kulihat ada sederat buku yang begitu banyak dan dari sekian banyak buku itu ada beberapa buku yang memikat hatiku lalu kemudian memaksa tanganku untuk mangambil buku Api Islam, Tan Malaka, Soekarno dan beberapa buku lainnya yang aku lupa judulnyanya. Setelah memilah dan memilih, aku tertarik pada buku Tan Malaka & Api Islam. Bukan tanpa alas an aku memilih kedua buku tersebut. kenapa Tan Malaka, Merajut Msyarakat dan pendidikan Indonesia yang sosialistis? Karena masih ada  rasa penasaran yang belum terungkap di masa silam. Dan kenapa pilihan selanjutnya jatuh pada buku Api Islam? Karena aku ingin mempelajari pola hidup dan perjuangan para pendahulu dalam perhimpunan dimana aku dan teman-teman Tazkia beraktualisasi sekarang.


Hari minggu pagi, aku sudah menenggelamkan diri dan berburu hikmah di dalam samudra kehidupanTan Malaka. Seriously…banyak peristiwa-peristiwa masa silam yang berhamburan di dalam buku tersebut yang langsung melengkapi puzzle  sejarah yang masih sepotong-sepotong dalam pikiranku. Dari buku tersebut aku baru tahu ternyata ketika Indonesia mendeklarasikan sebagai Negara Merdeka 17 Agustus 1945, saat itu Indonesia masih merupakan Republika Indonesia Serikat (RIS) yang memiliki beberapa Negara bagian Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Sumatera Selatan serta beberapa wilayah otonom lainnya. Artinya Negara kita saat itu tidak beda jauh dengan Amerika Serikat, yakni terdiri dari beberapa Negara bagian[2].


Paska berdirinya RIS, tuntutan masyarakat untuk membuat suatu Negara kesatuan begitu kuat. Maka melalui perjanjian tiga Negara bagian, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur, akhirnya RIS pada 17 agustus 1950 dibubarkan. RIS kemudian berganti menjadi Republik Indonesia (UUD RI) 1950 yang menganut system cabinet parlementar atau demokrasi. Pada kurun waktu 1950 sampai 1959 ini juga disebut sebagai era percobaan demokrasi.[3]


Begitulah perkenalan singkatku dengan sang Maestro, Tan Malaka. Penyamar ulung yang ditakuti Belanda dan pemerintah saat itu. Akhir kata. Buah Durian banyak duri, cukup sekian sampai nanti…


[1] Sak: panggilan untuk kakak tertua
[2] Syaifudin. 2012. Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan yang Sosialistis. Jogjakarta: Ar-ruzz Media
[3] Uraian mengenai transisi politik Indonesia dapat dilihat dalam Afan Gaffar, Polotik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)

0 komentar:

Post a Comment