Sumber ilustrasi: tribunnews.com |
Dalam pentas peradaban manusia, kita kerap mendengar kisah asmara antara Qays dan Laila. Sepasang anak manusia yang mendesakralisasi makna cinta pada zamannya. Walau pada akhirnya, mereka kalah jua oleh titah harta dan sanak keluarga. Harus tertikam rindu sekalipun sudah mendekam dalam makam yang bisu. Kisah yang pada akhirnya hanya menarik untuk didengarkan, tidak untuk ditiru.
Selain keduanya, rangkaian cerita antara Jack dan Rose juga kerap menyedot perhatian orang orang yang sedang kasmaran. Drama asmara dengan ilustrasi paling romantis pada zamannya. Jalinan cinta dengan latar cerita kapal pesiar yang tenggelam di samudra. Sountrack filmnya sukses menuntun imajinasi sepasang kekasih yang saling jatuh hati.
Dalam lingkup Nunsatara, banyak hikayat asmara dengan kisah berat sebelah. Dibalik pertautan antara Rama dan Shinta, ada cinta Rahwana yang berakhir dengan nestapa. Boleh jadi secara fisik, ia sosok gagah perkasa. Namun dihadapan seorang Shinta, ketangkasannya takluk hanya dengan kata kata. Sebuah penolakan yang memaksanya terjebak dalam pertaruhan hidup dan mati melawan Rama.
Kisah cinta selalu menyajikan emosi nan gurih untuk dikecap. Serupa prasmanan dalam sebuah jamuan, ia hadir lewat ragam variasi. Sedih. Perih. Jerih. Gigih. Bersih dan kasih. Layaknya sebuah pilihan, selalu melahirkan sisi dilematis.
Cinta adalah sifat universal yang tidak mengenal teritorial. Signalnya mampu dinalar olah manusia di ujung dunia. Setiap manusia punya radar sensitif terhadapnya. Bahasa paling sederhana yang dimengerti oleh semua. Sayangnya, dunia tempat kita berdiam bukanlah surga yang selalu menjanjikan bahagia. Ada yang berakhir dengan ceria. Namun tak sedikit yang berujung pada nestapa.
Maaf sodara, senja kali ini membuatku terpaksa mengulas rasa. Aku sedang jatuh cinta. Akut!
Baca juga; Cinta yang Materi
0 komentar:
Post a Comment