Sunday, 21 July 2019

Siapa Kita di Alam Semesta?

Sumber ilustrasi: brilio.net
Tak ada satupun manusia yang tidak memiliki rasa takut. Kita hanya belajar mengendalikannya. Salah satu penyebab ketakutan adalah misteri. Segala hal yang belum bisa dijangkau definisi. Kenapa masa depan kerap diidentikkan dengan misteri, karena keberadaannya belum pasti.

Kenapa dunia supranatural dianggap misteri, karena penglihatan manusia terhadapnya masih gelap. Sulit diterawang dengan akal pikiran. Misterilah kemudian yang banyak melahirkan ketakutan. Bahkan kerap dijadikan standar untuk menguji keberanian. Karena masih banyak rahasia alam yang belum terungkap.

Kenapa kemodernan selalu diukur dengan rasionalitas, karena masyarakat yang primitif sangat dekat dengan mistik, padanan kata untuk misteri. Kehidupan masyarakatnya (baheula) masih terselubung dalam kekelaman. Lalu datanglah manusia yang membawa lentera ilmu pengetahuan. Kehadiran mereka menerangi realitas alam yang belum bisa dinalar sebelumnya.

Lantas, apakah manusia mampu menundukkan alam seutuhnya? Tidak. Berubahnya struktur kehidupan memaksa alam mencari titik keseimbangan. Manusia modern terlalu percaya diri menganggap dirinya mampu mengendalikan semesta. Kita lupa satu hal, pengetahuan kita atas dunia yang kita huni, baru sebatas jangkauan panca indera saja.

Meminjam bahasa Ancient One, guru Stephen dalam film dr Strange, semesta yang kita diami hanyalah satu dari semesta yang tak terbatas. Siapakah kita di dalam semesta yang luas ini? Jangan-jangan kita hanyalah ciptaan tanpa kesengajaan ketika Tuhan membuat semesta. Layaknya kutu yang melekat pada kelinci sang pesulap. Kita bukan bagian utama dalam pertunjukkan seperti kekhawatiran yang disampaikan oleh Jostein Gaarder.

Mempelajari semesta yang tak terbatas juga membuka kemungkinan masalah yang tak terbatas. Memahami misteri yang sangat luas, justru membawa kita pada misteri yang lebih luas. Manusia hanyalah setitik pasir di tengah Gurun Sahara. Begitu kecil dengan secuil otak kerdil yang amat mungil.

Jangankan menundukkan semesta, bergulat dengan sebait kata cinta saja, kita kerap terlunta-lunta, mengacaukan fakta, lalu membunuh logika. Lantas, siapa kita?

Baca juga: Bumi Manusia, Ajakan Refleksi Berjamaah


0 komentar:

Post a Comment