Wednesday, 7 January 2015

Menghidupkan Kembali Ibnu Sina di Abad Modern

 

Sejak abad 7 masehi sampai 10 masehi pusat perkembangan peradaban dunia ada di baghdad, Kordoba dan Kairo. Bahgdad adalah tempat kedudukan dinasti Abbasiyah (794-1258 M), Kordoba ibu kota dinasti Umayyah di Barat (Spanyol 756-1031 M), dan Kairo ibu kota Fathimiyah (909-1171 M). Ketiga kota terbsebut merupakan oase ilmu pengetahuan pada masanya, karena para kholifah dan sarajana-sarjananya adalah orang-orang yang mencintai ilmu pengetahuan. Pada zaman ini pula kemajuan di bidang lainnya seperti kebudayaan dan politik serta seni, yang untuk ukuran saat itu sangat sulit mencari tandingannya. Kemajuan politik beriringan dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga islam mampu mencapai masa keemasan, kejayaan, dan kegemilangannya. Masa keemasaan ini semakin menemukan momennya ketika berada pada masa kekuasaan bani Abbas periode pertama.

Masa kegemilangan ini ditandai dengan bermunculannya cabang-cabang ilmu pengetahuan, mucul karya-karya orisinil, lahirnya ulama dan cendikia besar yang begitu produktif dalam menghasilkan karya, perhatian pemerintah dan masyarakat sangat besar kepada ilmu pengetahuan, dan menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan yang sangat getol mengembangkan ilmu pengetahuan. Semua hal itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Al-Qur’an yang begitu menekankan pada aspek ilmu. Sejarah telah membuktikan bahwa perdaban islam telah banyak melahirkan para pakar-pakar ilmu yang sangat ahli di bidangnya. Baik itu dalam bidang filsafat, sains, politik, kesusateraan, agama, pengobatan dan lain sebagainya. Bahkan tidak hanya mapan dalam penguasaan ilmu pengetahuan, tetapi mereka juga menguasai dan faham dengan keilmuan yang mereka geluti di umur yang masih belia.
 
Ibnu Sina adalah salah satunya, dimana ia dikenal sebagai seroang filosof, saintis, fisikawan muslim, ia disebut dengan nama Avcena di negari Barat. Beliau dikenal sebagai filosof saintis Muslim yang bersifat ensiklopedi, karena keilmuan yang dia kuasai terlihat di semua bidang. Maka tak heran jika kita sering mendengar Ibnu Sina sebagai seorang ahli puisi, musik, astronom, politikuss meskipun ia lebih dikenal sebagai filosof dan dokter.

Di tengah kehidupan sekarang ini, umat islam dituntut untuk mencari inspirasi dari tokoh-tokoh yang hidup pada masa-masa keemasan islam, dan Ibnu Sinalah salah satu orang yang tepat untuk dijadikan pijakan di era modern ini. berbagai gempuran ideologi yang datang silih berganti yang menghantam dari sana-sini, mendorong lahirnya generasi muda islam yang acuh, serta malas untuk berfikir secara mendalam, msekipun ada namun jumlahnya sangat sedikit. Jika kita melihat sejarah peradaban islam maka kita akan sampai pada sebuah titik kesimpulan bahwa kita perlu membangunkan kembali jiwa-jiwa Ibnu Sina. Apalagi jika kita melihat masa kejayaan umat islam, dan kita bandingkan dengan pencapaian umat islam saat ini, kesimpulannya menjadi jelas, kita sekarang sangat terbelakang.

Zaman sekarang seakan akan ada sebuah pijakan jika kita ingin sukses maka kita harus memperdalami ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya tanpa harus memperhatikan ilmu yang lainnya. Wajarlah jika banyak orang yang pakar dalam satu bidang namun nalarnya mati di bidang lain termasuk welas asihnya. Contoh kecil saja, walaupun semakin banyak sarjana pertanian, tetapi semakin banyak juga lahan pertanian yang hilang. Sehingga menjadi persoalan ketika spesialisasi yang ada menjadikan kita tidak mengerti dengan titik temu, bahkan yang ada hanyalah adu gengsi antar bidang ilmu pengetahuan. Coba kita belajar dari sejarah Ibnu Sina, ide integrasi yang belakangan ramai diperbincangkan, sebetulnya bisa dengan mudah kita temukan dalam karya-karya Ibnu sina.

Dalam tradisi Ibnu Sina, tidak tejadi pemisahan dalam bidang keilmuan. Seorang dokter dia adalah yang mendalami persoalan fisik sekaligus batin. Sang dokter yang mengerti anatomi tubuh, juga anatomi jiwa. Dari pribadinya kita belajar menjadi manusia yang holistik yang mengerti fisik dan batin manusia. Salah satu contoh program yang berkembang saat inilah adalah ‘santri jadi dokter’.

Satu hal yang menarik dalam diri seorang Ibnu Sina, dia merupakan sosok yang merajai pembahasan filsafat, berbading terbalik dengan yang berkembang saat ini, dimana filsafat dikatakan sebagai ilmu yang negatif karena menolak kehadiran Tuhan. Sekali lagi kita harus berkaca pada pribadi Ibnu Sina, meski ia total dalam mempelajari filsafat, tetapi dia juga sosok muslim yang taat dan saleh. Ketika menemukan sebuah masalah dalam pembelajaran filsafatnya ia kemabli ke masjid untuk berdzikir. Ia tidak pernah patah arang apalagi sampai menolak kehadiran Allah. Semakin ia berfikir mendalam, semakin ia dekat dengan Allah. Ini fakta yang menunjukkan bahwa filsafat adalah bidang keilmuan yang amat penting. Ilmu yang mempelajari tentang berfikir mendalam untuk kemudian menyingkap jawaban-jawaban yang tersembunyi. 

Referensi Tulisan

Rukmana, Aan. 2013. “Ibnu Sina Sang Ensiklopedi, Pemantik Pijar Peradaban Islam”. PT. Dian Rakyat, Jakarta.
 
 

0 komentar:

Post a Comment