Kurang lebih dua bulan yang lalu, kami sekeluarga besar cipambuan de
boys melakukan perjalanan yang cukup melelahkan. itu kesimpulan yang kudapat
setelah melihat referensi pengalaman dengan mengdearai motor yang pernah kualami
selama ini, sehingga aku sampai pada sebuah titik bahwa apa yang kami lakukan
ini menjadi pencapaian baru dalam kamus pribadiku. Kurang lebih setengah hari kami
menghabiskan waktu dengan menyusuri aspal Kota Bogor hingga menembus perbatasan
jawa barat hingga jawa tengah, berlanjut ke Cilacap terus ke Banjarnegara dan
berakhir di bumi pemalang, tempat dimana Angung kawan yang tinggal di bawah
satu atap selama 3 tahun silam, melepas keperjakaannya. Yup, kurang lebih 15
jam perjalanan sob...
Si kawan ini merupakan salah seorang anggota cipambuan de boys (sok
imut beud namanya) yang memutuskan menikah ketika menginjak tahun ke-4
perkuliahan. Sehingga kami selaku penghuni padepokan cipambuan sekaligus yang
menjadi suporter berat agung selama 3 tahun agar si doi menikah muda,
memutuskan untuk berangkat menyaksikan adegan sakralnya ini. Yak... tak
tanggung-tanggung kami berangkat menuju TKP menggunakan kendaraan roda 6
disertai 3 sopir dengan kapasitas muatan 6 orang. Lebih tepatnya, kami menuju
pemalang City dengan menggunakan 3 motor dan 3 pasang ciuciut (cicit dari
cicitnya cicit) nabi Adam yang mengendalikannya. Hayo coba tebak siapa saja
perjaka yang ambil bagian dalam perjalanan ini? Okelah biar kuberitahu saja agar ceritanya lebih hidup. Stay tune
gais...
Motor pertama yakni Haldi dan Rian yang menjadi sang pembuka jalan.
Kemampuan mereka meliuk liuk diantara mobil menjadi tontonan yang menarik di
tengah perjalanan. Motor kedua yakni pasangan Alvin dan Alau. Pasangan dengan
julukan “Duo A”. Pribadi gokil dan garing menjadi satu dan berkolaborasi dengan
sukses di atas kuda vario nya Agung. Dan terakhir adalah pasangan duet Die-Je,
Diemas dan Jhon. Pasangan yang memainkan peran sebagai sang penandai bagi alvin
dan alau, karena kebetulan si kawan ini, posisinya selalu tertinggal dan
terbelakang terus. Honda memang lebih unggul (fiksi hehe)
Mulanya melihat jarak perjalanan yang begitu jauh, berat rasanya
untuk menapaki perjalanan ini apalagi harus menggunakan motor. Dari perjaka
diatas Cuma Haldie yang kelihatan paling semangat. Karena kebetulan si kawan
ini sudah punya referensi pengalaman yang lebh ‘waw’ sebelumnya. Cobat tebak,
dia pernah membelah aspal dari bumi priangan sampai Indonesia bagian Timur
pek... jadi wajarlah jika dia yang paling semangat bila tidak dikatan paling
PEDE dalam perjalanan menyeruak jalur Pantura ini, hehe. Menjelang hari H keberangkatan,
tanpa persiapan layaknya orang yang tidak mau berangkat. Aku memutuskan untuk
ikut ambil bagian dalam mengukir pengalaman menuju pemalang ini.
Takdirkupun sudah tertulis di Lauhil Mahfudz dan telah di ketok palu pertanda siap dieksekusi. Fiks... aku dan Dimas sudah duduk manis diatas kuda besinya Alvin ‘si jago merah’. Kendaraan dengan plat provinsi lombok yang sudah dua tahun menjadi kuda besi liar, karena kebetulan si Alvin belon bayar upeti pemeliharaan ke pemerintah. Dan tanpa kami sadari bahwa Tuhan telah merencanakan sebuah pembelajaran yang indah dari kuda liar yang sedang kami tunggangi ini. nanti kuceritakan sob...
Iring iringan 3 motor dengan variasi VSV, vario supra fit dan vario
menjadi fenomean alam yang kami sumbangkan hari itu. Perjalanan terus berlanjut
sampai pada suatu titik, si kuda besi yang kami kendarai minta diberi minum dan
memaksa kami untuk berhenti di sebuah POM Bensin di desa Citeuerup. Kebetulan
daya tampung kuda kami memang lebih kecil dibanding dua kuda yang dikendarai
Haldi dan Alvin, Jadilah kami yang memegang kekang perjalanan ini.Ketika kami
putuskan untuk berhenti, yang lainpun harus berhenti. Mungkin inilah yang
dinamakan dengan istilah ‘tidak senasib tapi sepenanggungan’. Hehe
Setelah sejam perjalanan akhirnya kami sampai di kota Bekasi, kota
yang dikenal dengan julukan kota industri. Mobil tronton dengan kapasitas
angkut yang melebihi 2000 ton (yg ini datanya ngasal) menjadi partner kami
dalam menyusuri aspal Bekasi. Kami bagaikan rumah kecil yang berada di
sela-sela gedung pencakar langit, Bedanya kalau ini gedungnya punya roda dan
bisa jalan serta siap melibas siapapun yang menghalanginya. Perjalanan masih
terus berlanjut, sampai pada satu jalan lurus dengan aspal yang bergelembung
akibat hentakan mobil fuso, Tiba-tiba aku takut dan berharap agar selalu diberi
kesehatan dan keselamatan (takut mati ni ye) ketika berada jalan ini. Orang
bilang jalan yang sednag kami lalui ini adalah jalur tengkorak. Mungkin karena
bentuknya yang lucu-lucu kaya’ tengkorak ya. Hahaha kidding sob...
Banyak kesimpulan tentang kehidupan yang lahir dari perjalanan ini
sob.... bayangkan jika aku tak ambil
jatah dalam perjalanan ini, mungkin seumur hidup aku tidak akan tahu bahwa
Pantura itu adalah sebuah singkatan dari Jalur Pantai Utara. Heheh sepele sih,
tapi sukses bikin gue terlihat kuper. contoh kecil lu bakal ngerti tentang
pentingnya sebuah kebersamaan. Walaupun terasa mengikat namun justru dari
sanalah biasanya obat penawar kejenuhan yang datangnya tiba-tiba.
Oke kita lanjut... ketika memasuki kota Cirebon kami sudah disambut
oleh barisan mobil yang berjejer dengan rapi, merayap dengan pelan di sepanjang
jalan raya, sesekali diiringi dengan suara klakson pertanda frustasi si mamang
sopir. Dan inilah alasan kenapa mengendarai motor lebih asyik dibanding mobil.
Kau bisa menyelinap disela-sela mobil sob, bahkan dalam beberapa kemungkinan
kau juga bisa merunduk dibawah mobil tersebut (jangan tiru adegan yang ini jika
bukan pro) itulah tepatnya yang kami lakukan. Zig-zag diantara parade mobil
aneka rupa, saking asiknya. Tiba-tiba, CETTAKKK... sesuatu yang tak diinginpun
terjadi. Salah satu dari kuda besi yang kami kendarai menyenggol badan truk.
Beruntung Cuma spion saja yang sempat tempel pipi dengan tubuh truk. Walhasil,
spionpun terpisah dari kuda besi yang kami kendarai karena tak mampu menahan
kekarnya tubuh truk. Alhamdulillah cuma kehebohan kecil yang bisa segera kami
atasi. Usai memasang spion kamipun melanjutkan perjalanan.
Tiba di kota Indramayu, kami mulai disuguhi dengan pantai di bahu
kiri jalan. Ada juga kapal-kapal nelayan yang menepi di pinggiran dermaga serta
bau amis yang masuk ke hidung tanpa ketuk permisi. Aku ingat, ini adalah bau
serupa yang pernah kucium ketika ke pelabuhan muara engke pulau seribu. Senang
bertemu kembali kawan... Yup, tidak bisa disangkal, bahwa inilah salah satu
realitas ang tidak terpisahkan ketika kita berbicara tentang Indonesia. Negara
yang mempunyai sebutan sebagai negara maritim, negara yang lautannya lebih luas
dari daratannya. Fakta yang seharunya lebih membuat kita akrab dengan protein
ikan dari pada protein yang terkandung dalam ayam. But it’s not cucook in the
reality. Orang bijak berkata, dibalik bau amis ikan-ikan pelabuhan, tersembunyi
tetasan keringat hasil jerih payah sang nelayan. Makanya asin sob hahahahaha.
(yang ini bohong)
Dalam perjalanan ini kami tak pernah menyangka jika akan bertemu
sapa dengan polisi. Betul sekali, hari keberangakatan kami ini kebetulan
bertepatan dengan masa-masa gencarnya operasi zebra. Tidak tanggung-tanggung,
ada tiga titik lokasi perjumpaan kami dengan si kawan satu ini. Saaat-saat
perjumpaan pertama, cenat cenut di dada melihat pak polisi yang berjaga di
depan memaksaku untuk bertukar posisi dengan Dimas, karena Dimas memang belum
punya SIM saat itu. Ketika Pak Polisi melihat plat motor yang kami kendarai dan
melihat SIM serta menanyai dari mana asal kami dan hendak kemana. Fakta yang ia
dapatkan sukses membuat ia mengkerutkan dahi. Karena yang dia dapati adalah Plat
motor dengan identitas Lombok, SIM dengan domisili Palembang, asal Bogor, dan
hendak ke Pemalang. Sebuah fakta yang membuat polisi semakin bersemangat untuk
memberikan pertanyaan lanjutan.
Belum lagi ketika ia mengetahui bahwa motor yang dipakai merupakan
motor liar yang belum dibayar pajak selama dua tahun. Perdebatan dan adu
argumenpun tak bisa terelakkan. Dimas
yang basicnya memang anak club motor dan sudah mendapatkan simulasi menghadapi
hal serupa sebelumnya, langsung mengeluarkan jurus-jurusnya, mulai dari pasal
tilang menilang, logika dan dipercantik dengan retorika yang menggigit. Akhirnya
pak polisi pun menyerah dan mempersilahkan kami melanjutkan perjalanan
(Ceritanya gak gini kalo polisinya yang nulis, karena sejarah selalu dituliskan
oleh orang yang bisa nulis. :D)
perasaan lega bercampur gembira karena tak jadi mengeluarkan dana panas
untuk tebusan ‘Tilang’ meluap kemana-mana sob... kami kira itu yang terakhir,
ternyata tidak. Di kota yang berbeda, kami disambut lagi dengan sapaan polisi
berompi kuning beserta konco-koncone. Beruntung si pak polisi berbaik hati dan
mempersilahkan kami melanjutkan perjalanan. Mungkin ia sudah lelah. Selanjutnya,
lagi dan lagi untuk ketiga kalinya kami disambut dengan rombongan polisi. Tapi
syukurlah, di perjumpaan ketiga ini kami tak sempat diberhentikan, karena
kebetulan saat itu sedang banyak antrean pengendara motor yang siap tilang.
Hehe
Ketika memasuki provinsi Jawa Tengah, hari sudah mulai gelap.
Sehingga kami memutuskan untuk sholat maghrib di Cilacap serta istirahat
sejenak sembari mengendurkan bola betis, yang sudah naik kepangkal paha (kramm
pek..) setelah itu perjalanan dilanjutkan. Menembus suasana malam kota
Banjarnegara, di persimpangan jalan kami melihat Plank nama yang bertuliskan
Pemalang, melihat itu membuat kami senang bukan kepalang, tapi itu tak
berlangsung lama, karena dibawah Kata Pemalang terdapat tulisan “50 KM”
(lupa-lupa ingat persisnya) hal ini diperkuat dengan penjelasan mamang becak
tempat kami bertanya bahwa perjalanan yang kami tempuh masih tiga jam lagi
untuk sampai ke Pemalang. Over dommsekhh...
Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Setelah puas dengan
jalan yang datar, akhirnya kami menemukan pola baru yang menyapa roda-roda kuda
besi yang kami tunggangi, jalan tanjakan disertai komposisi pohon pinus di
kiri-kanan jalan menjadi kawan seperjalanan. Jalanan yang kami susuri terus
menanjak dan anehnya tidak ada tikungan tajam sepeti jalan di puncak Bogor.
Menanjak dan terus menanjak hingga hawa yang kami hirup, persis seperti yang ada
di Puncak Bogor. Jadi wajar jika si Agung selalu memakai kipas di kontrakkan.
Dia sedang menyesuasikan diri sob, karena suasana di kampung halamannya amat
dingin.. Singkat cerita, akhirnya kami sampai di kediaman Agung, tempat yang
telah menjadi saksi atas ritual sakral pelepasan keperjakaan si kawan satu ini.
hehe. Usai ramah tamah dengan keluarga tuan rumah, dilanjutkan dengan jamuan
makan malam bersama, kami lanjutkan dengan tidur berjamaah melepas lelah.
Selang beberapa jam kemudian, tepatnya tengah malam, kami dapat kunjungan yang
tak diduga. Ada dua sosok Cipambuan de boys yang menyusul. Mereka adalah Jibril
dan Iman (BTW, ini emang nama mereka beneran ya..)
SEE YOU NEXT...
0 komentar:
Post a Comment