Berpuasa di tanah rantau, sebenarnya bukan hal baru bagi saya. Waktu
di pesantren dulu, saya sudah terbiasa tidak pulang kampung. Bukan karena saya
tidak mau, tapi hanya alasan dengan kehendak yang Maha Absolut saja yang bisa
membuat saya diizinkan untuk berpuasa di rumah. Begitulah pesantren.
Namun suasananya sekarang berbeda. Jika dulu di pesantren, untuk
berpuasa – saya tak perlu takut bangun kesiangan, tak perlu repot untuk hanya
menyiapkan makan sahur dan menu berbuka, karena semuanya berjalan dengan sistem yang rapi.
Tapi tidak lagi – ketika saya sudah menyandang status mahasiswa, di tanah
rantau pula.
Saya berasal dari sebuah desa terpencil yang ada di Sumatera
Selatan, namanya Kuang Dalam. Berkat semangat menempuh pendidikan yang tinggi,
(versi aslinya, karena saya tidak sempat daftar ke kampus negeri) akhirnya, saya terpental jauh ke pulau Jawa.
Ya, saya ditakdirkan untuk merajut cerita di sebuah kampus swasta ternama di
Bogor, STEI Tazkia. *sebentar lagi jadi Institute
Tidak terasa hampir empat tahun sudah saya menjadi bagian dari Bogor.
Kota hujan, sekaligus kota dengan frekuensi petir tertinggi di dunia. Dan ini
kali ke-dua saya puasa jauh dari keluarga. Jika tahun kemarin saya tak puasa di
kampung halaman karena ada mata kuliah magang, maka alasan yang membuat saya
kembali puasa di tanah rantau tahun ini, hampir sama. Saya sedang mengerjakan
tugas akhir.
Alasan yang masih satu akar bukan? Sama – sama tugas kuliah. Saya
belum bisa move-on ternyata. Hadeuuh..
Sebagai mahasiswa rantau, saya dituntut untuk mandiri dalam segala
hal. Mandiri yang saya maksud adalah mengerjakan segala sesuatu dengan tangan
sendiri. Masak sendiri, nyuci sendiri, tidur sendiri, dan bangun sendiri.
Nah, aktivitas terakhir inilah, yang paling susah menurut saya.
Bukan bermaksud mendramatisir, puasa tahun lalu – hanya empat kali saja saya
marasakan santap sahur selama ramadhan, sisanya dijamak taqdim dengan
menu berbuka. Saya selalu bangun kesiangan. Menurut saya, momen bangun
kesiangan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam pribadi mahasiswa. Hehe
Bicara bulan Ramadhan, ada satu fenomena yang amat mencolok, yang
bisa membuat kita “ngeh” bahwa kita sedang berada di bulan ramadhan.
Biasanya, menjelang sore ada banyak lapak-lapak kuliner yang
berseliweran di pinggir jalan. Menunya variatif. Mulai dari kolak, es dawet,
cendol, es blewah hingga makanan khas daerah. Tinggal dipilih mau menu apa,
semuanya ada. Daaaannn... You know lah, pemandangan inilah yang mempengaruhi
tingkat konsumsi orang kita menjelang bulan puasa.
Belanja makanan dan minuman bisa meningkat berkali-kali lipat
dibanding hari lain. Karena jajanan saat Ramadhan memang menggoda. Betul?
Menu berbukanya jangan ditanya. Jamuan kelas mewah. Semua makanan dihidangkan.
Saya rasa biaya yang habis untuk membeli menu berbuka, bisa tiga
kali lipat melebihi belanja makan sehari-hari. Aneh bukan?
Harusnya biaya belanja di bulan Ramadhan menurun dong, karena ada
satu jatah makan yang kita saving dalam sehari. Mustinya, kita bisa
lebih hemat 33% dari hari biasa. Tapi kok yang terjadi sebaliknya, uang belanja
malah membengkak di bulan puasa. Budaya konsumtif semakin menggila.
Oke, kalimat di atas hanyalah “argumen penghibur” bagi saya. Satu
sisi saya merasa bersukur, karena tidak larut dalam budaya konsumtif. Namun di
sisi lain saya juga tidak bisa
memungkiri bahwa dari lubuk hati yang terdalam, saya juga ingin mencicipi semua
menu khas Ramadhan tadi. hehe
Tapi sebagai mahasiswa rantau, saya hanya bisa menelan ludah membayangkan
itu semua. Maklum, uang bulanan juga harus dibagi rata untuk skripsi. Demi
berhemat, akhirnya melakoni sosok proletar pun tak bisa ditawar.
Sekali lagi saya ingin membela diri. Bukan karena saya tidak mampu
membeli, tapi jika saya berbuka dengan semua menu di atas – uang skripsi saya jadi
taruhannya. Kau tau sendiri bagaimana hebohnya aktivitas mengerjakan skripsi
ini boy...
Berburu data kesana-kemari sementara yang dicari pun belum tentu
dapat. Tingkat mobilisasi antara perpustakaan, kosan dan kediaman dosen, mau
tak mau meningkat tajam. Secara tak langsung juga akan berimbas pada
mengikisnya uang bulanan. Sementara itu deadline semakin dekat, amunisi sudah
sekarat. Ahh... kau rasakan sajalah bila waktunya telah tiba. hee
Jika beruntung, uang sisa skripsi inilah modal mudik lebaran ke
kampuang halaman. Tentunya, jika perkara skripsi sudah selesai. Karena saya
sudah bertekad pada diri sendiri, “Pantang pulang sebelum sidang.”
Lalu apa yang saya lakukan? Apakah saya benar-benar menderita?
Maaf bung! Ceritanya tidak seburuk yang dibayangkan. Faktanya, saya
adalah mahasiswa manajemen, dan sudah terbiasa berdinamika dengan keadaan. Jika
saya hanyut dengan pola konsumsi puasa orang kebanyakan, uang saku saya akan
habis dalam sekejap. Saya harus memanfaatkan ilmu manajemen yang saya pelajari agar
tak kekurangan gizi di tanah rantau.
Kabar baiknya, kosan saya berdekatan dengan hunian “termahal” di Bogor, Sentul City.
Hampir setiap masjid di sekitar perumahan menyediakan ta’jil
gratis, dari makanan ringan sampai yang berat. Inilah ruang bagi saya untuk
mengamalkan ilmu manajemen di atas. Saya berpikir keras, mencari cara agar saya
bisa hadir tepat waktu di masjid saat berbuka, namun di satu sisi, penelitian
skripsi saya tak terbengkalai.
Rumusnya sederhana, saya harus membuat penelitian yang respondennya
berada tidak jauh dari tempat saya tinggal. Dengan demikian, saya bisa
menghemat biaya hidup lebih banyak. Right! Inilah metode yang saya pakai. Saya meneliti
pengaruh label halal dan label harga terhadap keputusan pembelian dengan studi
kasus konsumen dua minimarket yang ada di dekat kosan. Untungnya diterima,
walaupun ada sedikit pergulatan argumen sebelum persetujuan tersebut. *ngeurri
Setidaknya, ada lima tempat yang sudah kami tandai sebagai
persinggahan kami, yakni Masjid Andalusia, Masjid Az-Zikra, Masjid Baitul
Qudus, Masjid Munawwaroh dan Masjid Jabal Nur.
Setiap hari, saya dan kawan-kawan mahasiswa yang lain selalu hijrah
dari satu masjid ke masjid yang lain. Yap, kami lah para pengembara kuliner
itu. Hijrah memang banyak membawa dampak positif. Saya merasakan itu. Lelah
karena seharian berkutat dengan perburuan responden, terbalas tuntas ketika
berbuka.
Walhasil, ketika bulan Ramadhan, saya benar benar-benar berpuasa. Puasa
dalam arti mengurangi jatah konsumsi. Sebab, ada satu kali jatah makan bahkan
lebih, yang saya investasikan dalam skripsi saya. Investasi yang bersumber dari
jatah sahur yang tidak disantap karena kesiangan, jatah berbuka yang diganti
ta’jil gratis dari masjid perumahan.
Referensi perbuatan baik yang menggugah dan bermanfaat, “Menyediakan
konsumsi untuk mahasiswa di perantauan.” *Tandai baik-baik. Pengalaman yang
patut dijadikan pengamalan.
Akhirnya, setelah menginjak minggu ke-tiga Ramadhan, Alhamdulillah!
Penelitian saya tuntas sampai bab akhir. Hari itu juga langsung disetujui untuk
diajukan dalam sidang skripsi. Seminggu kemudian, tepatnya tanggal 26 Ramadhan,
saya berhasil menuntaskan sidang skripsi. Tentu, dengan revisi di sana-sini. Tapi,
saya puas!
Esoknya, saya langsung mudik ke kampung halaman. Langkah kaki serasa
tanpa beban, hati senang bukan kepalang. Ditambah rasa rindu yang sudah meluap
kemana-mana, membayangkan sanak keluarga dan handai taulan yang sudah berkumpul
di seberang sana.
0 komentar:
Post a Comment