Monday, 30 May 2016

Menuntaskan Skripsi di Bulan Cantik!


Berpuasa di tanah rantau, sebenarnya bukan hal baru bagi saya. Waktu di pesantren dulu, saya sudah terbiasa tidak pulang kampung. Bukan karena saya tidak mau, tapi hanya alasan dengan kehendak yang Maha Absolut saja yang bisa membuat saya diizinkan untuk berpuasa di rumah. Begitulah pesantren.

Namun suasananya sekarang berbeda. Jika dulu di pesantren, untuk berpuasa – saya tak perlu takut bangun kesiangan, tak perlu repot untuk hanya menyiapkan makan sahur dan menu berbuka, karena semuanya berjalan dengan sistem yang rapi. Tapi tidak lagi – ketika saya sudah menyandang status mahasiswa, di tanah rantau pula.

Saya berasal dari sebuah desa terpencil yang ada di Sumatera Selatan, namanya Kuang Dalam. Berkat semangat menempuh pendidikan yang tinggi, (versi aslinya, karena saya tidak sempat daftar ke kampus negeri)  akhirnya, saya terpental jauh ke pulau Jawa. Ya, saya ditakdirkan untuk merajut cerita di sebuah kampus swasta ternama di Bogor, STEI Tazkia. *sebentar lagi jadi Institute 

Tidak terasa hampir empat tahun sudah saya menjadi bagian dari Bogor. Kota hujan, sekaligus kota dengan frekuensi petir tertinggi di dunia. Dan ini kali ke-dua saya puasa jauh dari keluarga. Jika tahun kemarin saya tak puasa di kampung halaman karena ada mata kuliah magang, maka alasan yang membuat saya kembali puasa di tanah rantau tahun ini, hampir sama. Saya sedang mengerjakan tugas akhir. 

Alasan yang masih satu akar bukan? Sama – sama tugas kuliah. Saya belum bisa move-on ternyata. Hadeuuh..

Sebagai mahasiswa rantau, saya dituntut untuk mandiri dalam segala hal. Mandiri yang saya maksud adalah mengerjakan segala sesuatu dengan tangan sendiri. Masak sendiri, nyuci sendiri, tidur sendiri, dan bangun sendiri. 

Nah, aktivitas terakhir inilah, yang paling susah menurut saya. Bukan bermaksud mendramatisir, puasa tahun lalu – hanya empat kali saja saya marasakan santap sahur selama ramadhan, sisanya dijamak taqdim dengan menu berbuka. Saya selalu bangun kesiangan. Menurut saya, momen bangun kesiangan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam pribadi mahasiswa. Hehe

Bicara bulan Ramadhan, ada satu fenomena yang amat mencolok, yang bisa membuat kita “ngeh” bahwa kita sedang berada di bulan ramadhan. 

Biasanya, menjelang sore ada banyak lapak-lapak kuliner yang berseliweran di pinggir jalan. Menunya variatif. Mulai dari kolak, es dawet, cendol, es blewah hingga makanan khas daerah. Tinggal dipilih mau menu apa, semuanya ada. Daaaannn... You know lah, pemandangan inilah yang mempengaruhi tingkat konsumsi orang kita menjelang bulan puasa. 

Belanja makanan dan minuman bisa meningkat berkali-kali lipat dibanding hari lain. Karena jajanan saat Ramadhan memang menggoda. Betul? 

Menu berbukanya jangan ditanya. Jamuan kelas mewah. Semua makanan dihidangkan. 

Saya rasa biaya yang habis untuk membeli menu berbuka, bisa tiga kali lipat melebihi belanja makan sehari-hari. Aneh bukan? 

Harusnya biaya belanja di bulan Ramadhan menurun dong, karena ada satu jatah makan yang kita saving dalam sehari. Mustinya, kita bisa lebih hemat 33% dari hari biasa. Tapi kok yang terjadi sebaliknya, uang belanja malah membengkak di bulan puasa. Budaya konsumtif semakin menggila.

Oke, kalimat di atas hanyalah “argumen penghibur” bagi saya. Satu sisi saya merasa bersukur, karena tidak larut dalam budaya konsumtif. Namun di sisi lain saya  juga tidak bisa memungkiri bahwa dari lubuk hati yang terdalam, saya juga ingin mencicipi semua menu khas Ramadhan tadi. hehe

Tapi sebagai mahasiswa rantau, saya hanya bisa menelan ludah membayangkan itu semua. Maklum, uang bulanan juga harus dibagi rata untuk skripsi. Demi berhemat, akhirnya melakoni sosok proletar pun tak bisa ditawar.

Sekali lagi saya ingin membela diri. Bukan karena saya tidak mampu membeli, tapi jika saya berbuka dengan semua menu di atas – uang skripsi saya jadi taruhannya. Kau tau sendiri bagaimana hebohnya aktivitas mengerjakan skripsi ini boy... 

Berburu data kesana-kemari sementara yang dicari pun belum tentu dapat. Tingkat mobilisasi antara perpustakaan, kosan dan kediaman dosen, mau tak mau meningkat tajam. Secara tak langsung juga akan berimbas pada mengikisnya uang bulanan. Sementara itu deadline semakin dekat, amunisi sudah sekarat. Ahh... kau rasakan sajalah bila waktunya telah tiba. hee

Jika beruntung, uang sisa skripsi inilah modal mudik lebaran ke kampuang halaman. Tentunya, jika perkara skripsi sudah selesai. Karena saya sudah bertekad pada diri sendiri, “Pantang pulang sebelum sidang.”

Lalu apa yang saya lakukan? Apakah saya benar-benar menderita?

Maaf bung! Ceritanya tidak seburuk yang dibayangkan. Faktanya, saya adalah mahasiswa manajemen, dan sudah terbiasa berdinamika dengan keadaan. Jika saya hanyut dengan pola konsumsi puasa orang kebanyakan, uang saku saya akan habis dalam sekejap. Saya harus memanfaatkan ilmu manajemen yang saya pelajari agar tak kekurangan gizi di tanah rantau. 

Kabar baiknya, kosan saya berdekatan dengan  hunian “termahal” di Bogor, Sentul City. 

Hampir setiap masjid di sekitar perumahan menyediakan ta’jil gratis, dari makanan ringan sampai yang berat. Inilah ruang bagi saya untuk mengamalkan ilmu manajemen di atas. Saya berpikir keras, mencari cara agar saya bisa hadir tepat waktu di masjid saat berbuka, namun di satu sisi, penelitian skripsi saya tak terbengkalai.

Rumusnya sederhana, saya harus membuat penelitian yang respondennya berada tidak jauh dari tempat saya tinggal. Dengan demikian, saya bisa menghemat biaya hidup lebih banyak. Right! Inilah metode yang saya pakai. Saya meneliti pengaruh label halal dan label harga terhadap keputusan pembelian dengan studi kasus konsumen dua minimarket yang ada di dekat kosan. Untungnya diterima, walaupun ada sedikit pergulatan argumen sebelum persetujuan tersebut. *ngeurri

Setidaknya, ada lima tempat yang sudah kami tandai sebagai persinggahan kami, yakni Masjid Andalusia, Masjid Az-Zikra, Masjid Baitul Qudus, Masjid Munawwaroh dan Masjid Jabal Nur. 


Setiap hari, saya dan kawan-kawan mahasiswa yang lain selalu hijrah dari satu masjid ke masjid yang lain. Yap, kami lah para pengembara kuliner itu. Hijrah memang banyak membawa dampak positif. Saya merasakan itu. Lelah karena seharian berkutat dengan perburuan responden, terbalas tuntas ketika berbuka.

Walhasil, ketika bulan Ramadhan, saya benar benar-benar berpuasa. Puasa dalam arti mengurangi jatah konsumsi. Sebab, ada satu kali jatah makan bahkan lebih, yang saya investasikan dalam skripsi saya. Investasi yang bersumber dari jatah sahur yang tidak disantap karena kesiangan, jatah berbuka yang diganti ta’jil gratis dari masjid perumahan. 

Referensi perbuatan baik yang menggugah dan bermanfaat, “Menyediakan konsumsi untuk mahasiswa di perantauan.” *Tandai baik-baik. Pengalaman yang patut dijadikan pengamalan.

Akhirnya, setelah menginjak minggu ke-tiga Ramadhan, Alhamdulillah! Penelitian saya tuntas sampai bab akhir. Hari itu juga langsung disetujui untuk diajukan dalam sidang skripsi. Seminggu kemudian, tepatnya tanggal 26 Ramadhan, saya berhasil menuntaskan sidang skripsi. Tentu, dengan revisi di sana-sini. Tapi, saya puas!

Esoknya, saya langsung mudik ke kampung halaman. Langkah kaki serasa tanpa beban, hati senang bukan kepalang. Ditambah rasa rindu yang sudah meluap kemana-mana, membayangkan sanak keluarga dan handai taulan yang sudah berkumpul di seberang sana.

Mudik memang aktivitas yang  paling menumbuhkan antusiasme tinggi bagi penduduk Indonesia. Kegiatan yang selalu dinanti setiap tahunnya. Jika tempat pulang bagi seorang perantau adalah kampung halaman, maka tempat pulang bagi setiap orang adalah kampung akhirat. Jika waktunya telah tiba, semoga kita juga merasa senang pulang ke kampung akhirat melebihi rasa senang mudik ke kampung halaman. Amien.

0 komentar:

Post a Comment