Saturday 11 January 2020

Jalan Panjang Menjadi Profesor, Berminat?

Usai Orasi Guru Besar IPB

Hari ini keluarga besar HMI Cabang Bogor bersuka cita. Salah satu alumni kebanggaanya, Arif Satria dikukuhkan sebagai Guru Besar IPB. Setidaknya, di lima group whatsapp yang kuikuti, berseliweran fotonya bersama kolega yang turut menghadiri hari bersejarah tersebut. 

Banyak juga kawan-senior HMI lintas generasi yang meng-upload momen kebersamaannya di fecebook dan instagram. Di beberapa dokumentasi, kulihat juga karangan papan bunga berupa ucapan selamat membanjiri sepanjang jalan menuju ruang pengukuhan.

Dalam tiap proses pengangkatan Guru Besar, ada satu momen yang paling berkesan menurutku. Saat seseorang yang didaulat sebagai Profesor menyebutkan satu persatu orang-orang yang memberikan sumbangsih besar dalam perjalanan akademiknya. Mulai dari orangtua, mentor, sahabat dan rekan sejawat yang turut mengisi fragmen sejarah tersebut. 

Aku terkesan saat Prof. Arif Satria menyebut beberapa nama yang kukenal serta me-mention asrama Felicia sebagai kepingan ingatan yang turut menyusun jalan panjangnya sebagai Profesor.

Ya, momen orasi guru besar adalah titik pijak paling bersejarah bagi seorang dosen. Ia gelar tertinggi di bidang akademik. Jabatan fungsional paling atas bagi mereka yang meniti karir sebagai akademisi di kampus. Tak berlebihan kiranya, jika pencapaian sebagai guru besar kubayangkan serupa tranformasi Vegito Blue dalam serial Dragon Ball. Ia pencapaian paling puncak dalam hirarki akademisi. Tidak ada lagi jabatan fungisonal paling mutakhir paskanya, selain pensiun.

Mereka yang bertitel Profesor dianggap sebagai pakar dan punya legalitas untuk melahirkan teori. Prestisius dengan segudang wewenang. Apa yang mereka ucapkan, punya kandungan tuah yang lebih ampuh ketimbang orang biasa. Bagi penghuni kampus, gelar “Guru Besar” adalah kemewahan yang tidak setiap orang sanggup menyandangnya. Baik karena proses mendapatkannya yang tidak mudah. Juga tanggungjawab saat menyandangnya yang tidak bisa dianggap sepele.

Kemana-mana mereka bakal dianggap ahli dalam bidang tertentu. Salah sedikit saja, gelar tersebut malah berpotensi menggulung karir mereka sendiri. Mungkin ini juga penyebab makin tinggi gelar makin irit ngomongnya.

Googling saja kata kunci ‘profesor’ di media massa, tak jarang gelar tersebut malah jadi objek framing bagi banyak wartawan. Masih lekat dalam benak kita, kasus Profesor yang berdebat dengan polisi saat ditilang. Atau polemik yang mempertentangkan Rocky Gerung sebagai dosen berjuluk profesor dengan Rhenald Kasali yang betul-betul menjabat sebagai Profesor.

Prosesi pengukuhan Prof. Arif Satria, secara tak langsung membuatku terpancing untuk mengetahui bagaimana tahapan meraih gelar Guru Besar. Aku penasaran step by step untuk menjadi Profesor. Setelah berselancar di internet, Aku berkesimpulan bahwa Jabatan Guru Besar/Profesor adalah jalan panjang dari aktivitas seorang akademisi kampus. Ia anak dari proses Tri Darma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian.

Dimulai dari Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, baru selanjutnya Guru Besar (Pakar). Ke-empatnya merupakan jabatan dalam dunia akademik. Untuk mengawali karir sebagai Asisten Ahli, setidaknya paling minimal harus memiliki gelar master (S2). Sementara Lektor dan Lektor Kepala bisa bergelar Master atau Doktor dengan kombinasi pencapaian Kum (Nilai Kredit) yang sudah ditentukan. Sementara pangkat Guru Besar mengharuskan penyandangnya bergelar Doktor terlebih dahulu dengan pencapaian Kum minimal 850.

Saat seseorang telah menempuh program master, maka dia sudah mengantongi kum sejumlah 150. Sedangkan bagi mereka yang sudah tuntas sekolah Doktor, mereka start dari kum 200 untuk menjadi profesor. Dengan kata lain, tamatan master masih memerlukan kredit poin sebesar 700 lagi. Sedangkan lulusan S3 masih membutuhkan kum sebanyak 650 lagi agar bisa naik pangkat menjadi Guru Besar.

Setelah mendengar penuturan dari beberapa kawan Dosen, tidak mudah meniti karir sebagai akademisi di kampus. Selain gajihnya kecil, tuntutannya banyak. Jika dibanding gajih fresh graduate yang kerja di perusahaan negara, pendapatan dosen PNS masih jauh dibawah mereka. Sekalipun sama-sama mengabdi untuk negara. Apalagi jika dhitung lewat kalkulasi biaya kuliah yang sudah dikeluarkan. Balik modalnya lama. 

Makanya satu-satunya pilihan adalah mengejar kenaikan pangkat akademik. Atau banyak juga dosen yang lebih memilih projekan ketimbang ngajar di kampus. Status pengajar pada sebuah institusi hanya dijadikan batu lompatan. Ada juga type dosen yang siap sikut-sikutan berebut jabatan strategis di beberapa kampus, mulai dari kursi Rektor, Dekan dan jabatan struktural lainnya. Tunjangan dan sampingannya, ehmm... Lumayan.

Untuk bertahan dan berkembang sebagai akademisi, setelah kuperhatikan ada dua kompetensi yang kudu melekat dalam diri. Menulis dan meneliti. Tiap kenaikan pangkat ditandai dengan publikasi jurnal ilmiah, baik skala nasional maupun internasional. Sampai sini, aku baru paham, kenapa banyak dosen yang seringkali men-Dzikirkan Scopus dan Thomson. Keduanya adalah situs publikasi internasional yang bisa mendongkrak kum para dosen. 1 jurnal yang terindeks Scopus diganjar dengan kum senilai 40. Bayangkan, 10 saja jurnal akademik mejeng di sana, gelar kita sudah setengah Profesor cuy!

Tapi untuk tembus publikasi internasional, penelitiannya ‘setengah mampus’ kata kawanku. Terutama soal penulisan yang musti pakai Bahasa Inggris. Musti fasheh sesuai grammar. Kendala besar bagiku yang sering kepeleset menyebut I love you menjadi Assyyuu..


4 comments:

  1. terimakasih mas atensinya. Kalo mantab gak bergerak dong heheh

    ReplyDelete
  2. Siip, Terima kasih tulisannya enak dibaca, dan inspiratif.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siap. Terimakasih sudah meluangkan waktu mampir ke sini, salam kenal...

      Delete