Monday 13 January 2020

Nikmatnya Sruput "Kopi Sumatera di Amerika"

Buku Kopi Sumatera di Amerika
Aku mungkin sudah mengidap insomnia akut. Setahun terakhir, aku hampir tak pernah terlelap dibawah jam 12 malam. Selalu saja pukul 3 atau menjelang pagi. Sama seperti akhir pekan kali ini, aku masih terjaga dengan segelas kopi liong. Mencoba menelusuri kembali aktvitas seminggu kemarin. Aku belum cukup produktif.

Masih banyak agenda yang sengaja kutunda-tunda karena malas. Salah satunya mereview buku Kopi Sumatera di Amerika.

Baiklah, aku menulis resensi buku ini tepat saat maraknya hiruk pikuk pemberitaan mengenai Iran dan Amerika. Kedua negara ini sudah saling berkirim rudal, akibat arogansi presiden negara Paman Sam itu. Om Trump diam-diam melunak saat menyaksikan serangan balik Iran yang tidak main-main. Walaupun sudah terlanjur ada korban yang berjatuhan.

Kopi yang kuseduh subuh tadi, sudah terasa dingin. Namun tetap setia sebagai penjaga kesadaranku pagi ini.

Sebagai pembuka, aku mengaminkan ucapan Pepih Nugraha, sosok yang membidani kelahiran kompasiana.com. Yusran Darmawan adalah mata, telinga dan hati anak bangsa Indonesia di Amerika. Lewat pengalamannya, para pembaca diajak melihat bongkahan realitas negara adidaya yang jarang dijamah oleh banyak orang.

Yusran merupakan salah satu anak bangsa yang berkesempatan mencicipi beasiswa ke luar negeri karena hobi menulisnya. Susunan aksara yang dia susun bertahun-tahun, berhasil memberinya jalan menuju Amerika. Akses yang dia bangun tanpa diniatkan untuk melamar takdir sebelumnya. Ia hanya menuangkan hasratnya terhadap aksara. Mengalir bagai air.

Tanpa dia sadar, kebiasaan melukis kata yang ia tekuni, telah mampu melunakkan hati para penguji. Namanya masuk dalam daftar 50 penerima beasiswa Ford Foundation. Dua tahun full, ia merasakan atmosfir pembelajaran di negara adidaya. Pengalaman dan pemahamannya itulah yang ia tuangkan dalam buku Kopi Sumatera di Amerika.

Dari halaman awal sampai lembar pamungkas, aku serasa melihat Amerika dari dekat. Penulis begitu piawai melibatkan indra para pembaca. Kata-katanya menghidupkan imajinasi. Pilihan diksinya amat mudah dicerna. Seperti bubur ayam. Bisa langsung ditelan. Selain itu, caranya bertutur seperti menyeret pembaca menjadi pemeran utama dalam tokoh "Aku".

Bagian satu, saat penulis menceritakan detik-detik pemeriksaan di loket imigrasi. Betul-betul menegangkan. Aku seperti nonton film, konfliknya sudah dari pembuka. Bayangkan, sehari sebelum keberangkatan, penulis kehilangan tasnya yang berisi dokumen-dokumen penting. Ada surat penjamin beasiswa, surat tanda diterima (LoA), jaminan asuransi selama di Amerika dll.

Padahal bisa jadi, berkas itu adalah penentu hidup-mati cita-citanya yang baru saja hendak berbunga. Dag-dig-dug.

Aku yang membaca saja tegang, apalagi penulis yang mengalami langsung. Pernah satu waktu, aku tak sengaja menjatuhkan STNK motor. Saking gundahnya, sampai kebawa mimpi. Kehilangan yang membuat penderitaan beranak pinak. Lenyapnya STNK motor adalah awal menjalani hari-hari yang menegangkan di jalan raya. Selain potensi ditilangnya besar, aku juga bisa dituduh pelaku curanmor.

Nah, penulis (Yusran) berada di posisi yang lebih genting dari sekedar kehilangan STNK. Berkas beasiswanya raib entah kemana. Beruntung, alam bergerak dengan skenario yang sulit ditebak. Pihak imigrasi hanya meminta visa dan tidak banyak tanya. Di bagian ini aku belajar, tentang cara mengendalikan ketakutan dari penulis. Stay cool & keep calm dalam kondisi apapun.

Baca juga: Berguru Pada Yusran Darmawan, Blogger Tampan Asal Button
Aku penasaran saat penulis mengatakan kemampuan bahasa Inggris-nya pas-pasan. Bahkan hancur ketika memutuskan melamar Beasiswa ke Amerika. Padahal kita semua tahu, Bahasa Inggris adalah bahasa dunia. Ia prasyarat untuk mengetuk kampus negara lain. Pikirku, sejelek-jeleknya kemampuan B. Inggris penulis (Yusran), setidaknya pasti di atas rata-rata mahasiswa Indonesia kebanyakan.

Ingatanku langsung menemukannya dalam ruang ruang perdebatan antara dirinya dan dosen di kelas antropologi pascasarja UI. Referensinya kebanyakan buku babon dengan penulis luar negeri. Belum lagi pergulatannya dengan buku bacaan bertahun-tahun silam. Mustahil menegasikan persentuhannya dengan B. Inggris. Ah, aku paham. Mungkin begitulah cara penulis membangkitkan motivasi.

Namun ada pesan penulis yang lebih membekas di benakku. Terkait orisinalitas pemikiran. Kemampuan bahasa Inggris cas cis cus bukan jaminan. Jago ngomong belum menjamin perkataannya berbobot. Dalam hal ini, bahasa hanyalah sebagai medium untuk menyampaikan makna. Gagasan bernas takkan kehilangan substansi sekalipun disampaikan dengan bahasa terbata-bata. Ada muatan pemikiran dan kejernihan pemahaman di dalamnya.

Dan kau tau, di Amerika ternyata tidak ada tugas skripsi untuk mahasiswa S1. Sedangkan bagi mahasiswa pasca, tesis juga tidak bersifat final. Ia opsional. Aih, dengan pola pendidikan seperti itu saja Amerika mampu melahirkan orang orang cerdas seperti Stephen Hawking, Bill Gates dll. Kenapa di Indonesia harus ada skripshit?

Bagian Dua, aku banyak mendapati entitas Indonesia yang merayap di beberapa kehidupan Amerika. Perihal cerita penulis tentang kuda lumping di kuliah Doktor, sepanjang berkuliah belum pernah kudapati tugas membuat karya seni. Ada, duluuuu sekali saat SD. Tugas membuat asbak dari tanah liat.

Sepengamatanku, makin tinggi jenjang pendidikan di Indonesia maka semakin lebih dekat dengan verbal dan aksara. Mahasiswa sastra sekalipun yang notabene lebih dekat pada sisi olah rasa dan olah jiwa, tugas kuliahnya juga membuat skripsi. Karya tulis ilmiah.

Di halaman-halaman selanjutnya, aku menelan ironi berkali-kali. Membayangkan kopi Sumatera di jual bebas di kedai kopi pinggir jalan Amerika. Saat produk perkebunan hasil jerih keringat bangsa Indonesia melanglang buana di sentero dunia, ironinya petani kita masih berjuang merangkak di lantai dasar hirarki kesejahteraan.

Ada juga produk sepatu yang dibuat di tanah air dilabel dengan brand global, lalu dijual dengan tarif dollar. Sementara buruhnya hanya mendapat gajih sekian rupiah. Itupun habis hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Diperas guna mereproduksi energi agar kuat kerja di hari selanjutnya. Aih!

Alih-alih bangkit melawan dominasi elit kapital, bangsa kita malah hanyut dalam pusaran hegemoni global. Tenggelam dalam bendungan konsumtif. Terikat oleh pasung inferioritas. Jangankan untuk merdeka, mensejajarkan diri saja kita tak kuasa.

Bagian tiga, penulis menyingkap tabir kepekatan negara adidaya. Amerika yang kita kenal sebagai penguasa dunia, rupanya tak luput jua oleh paradoks.

Bayangkan, negari Paman Sam yang digambarkan sebagai negara dengan kumpulan jutawan dunia itu, nyatanya tak mampu melahirkan kesejahteraan untuk semua warganya. Keberadaan pengemis di sudut perkotaan adalah bobrok yang jarang mereka tampilkan.

Bagi kita yang belum pernah menjejakkan kaki di sana, tentu hanya bisa menyimpan imajinasi kemajuan Amerika lewat film-film Hollywood yang saban waktu kita tonton. Teknologi yang canggih. Kota yang teratur. Penduduk yang terdidik. Sekali lagi, lewat buku ini penulis menyeret pembaca untuk melihat Amerika dari dekat.

Ada satu hal yang membuatku terkesan. Penulis membawaku pada ruang kontemplasi dalam melihat pertanian. Negara maju sekalipun, yang didominasi oleh sistem industri, tetap tidak melupakan pertanian. Bahkan petani menempati posisi sejajar sengan profesi lainnya. Mereka sama penting dengan para arsitek, dokter dll. Realitas kehidupan petani tak berjarak dengan lingkungan. Sekalipun dengan dunia akademik.

Kenyataan tersebut seakan menggedor perspektif bangsa Indonesia dalam memandang petani. Ada satu pemahaman sesat dan terlanjur berkarat terkait cara kita memaknai pertanian. Kampungan dan tertinggal. Entah kenapa, secara tak sadar imajinasi kolektif kita, selalu mengeyampingkan petani dibanding profesi lainnya. Kalah keren.

Bagian empat, penulis menuntun kita untuk menyaksikan warna-warni Amerika. Yang paling berkesan, saat dia mengulas geliat perpustakaan di sana. Sangat jomplang bila dibandingkan dengan kondisi perpustakaan tanah air. Aku sendiri belum pernah berkunjung ke perpustakaan daerah. Karena memang gaungnnya tidak ada.

Berbeda sekali dengan cara warga Amerika memaknai perpustakaan, tidak hanya sebatas tempat membaca, tapi juga ruang berbagi dan bermain untuk anak kecil. Ramai oleh para pemburu ilmu pengetahuan. Yang jelas, penjelasan penulis terkait perpustakaan pasti menerbitkan benih-benih penasaran dalam benak pembaca. Mudah-mudahan suatu saat nanti, kita juga punya kesempatan untuk menyaksikannya langsung.

Aku jadi teringat ucapannya di lain waktu, perihal gedung-gedung pemerintahan yang selalu lebih megah dibanding perpustakaan. Baik itu di kampus maupun pemerintahan, ruang kerja petingginya selalu lebih mewah dibanding ruang lainnya. Termasuk bila dibanding perpustakaan. Lihatlah pendopo bupati, atau gedung rektorat. Dan sandingkan dengan ruang perpustakaan. Jomplang!

Wajar, itu sisa-sisa peninggalan dari budaya kerajaan. Singgasana penguasa harus lebih mewah dibanding pembantu-pembantunya. Warisan feodal.

Bagian lima, sama seperti pembaca yang lain. Aku terpikat dengan kisah Teka-Teki Cinta di The Ridges. Saat dunia sudah begitu renta, di sudut Amerika sana, masih ada kisah cinta yang tak kalah mengharukan dibanding epos Rahwana dan Shinta atau Qois dan Laila. Epik!

Ada juga satu kisah, kupikir cocok bila kujadikan sebagai referensi untuk melamar pujaan hati. Yah, meminang seorang kekasih dengan setumpuk buku sastra. Aih progresifnyo...

Bukunya bagus dan menyegarkan. Tidak hanya mengajak pembaca untuk menelanjangi realitas ke-Indonesiaan. Tapi juga menawarkan sudut pandang berbeda dalam melihat Amerika. Overall, rating bukunya 4,5/5.

Baca juga: Melacak Keterbelakangan Teknologi Indonesia



0 komentar:

Post a Comment