Wednesday, 6 November 2013

Memahami Wajah pendidikan saat ini

          Tujuan setiap manusia tentulah mendatangkan manfaat bagi manusia yang lain atau yang kita kenal dengan ‘Anfa uhum Linnas. Untuk menggapai tujuan tersebut tentu harus ada proses penggalian potensi  yang harus kita lalui yakni belajar. Namun sayang beribu sayang proses belajar yang kita kenal, disederhanakan oleh sebagian besar masyarakat menjadi proses belajar dari SD hingga sarjana. Maka tak heran setiap individu sekarang hanya berpacu untuk mendapatkan gelar sarjana semata.

Tanpa kita sadari proses belajar telah tereduksi menjadi begitu kerdil. Belajar hanya dalam ruangan persegi empat dan kita dipaksa untuk mempelajari berbagai macam ilmu usang yang begitu banyaknya. Sehingga wajar jika kita melihat sebagain besar dari kita kurang bisa mengentaskan permasalahan karena kita memang tidak dididik untuk menjadi seperti itu. Kita dididik menjadi individu yang bisa menyesusiakan dengan lingkungan bukan menjadi individu yang bisa menjawab realitas. Jika ppendidikan yang model seperti ini terus kita lestarikan maka tujuan mencerdaskan bangsa hanya akan menggantung dilangit, utopis dan tidak pernah tercapai.

Pendidikan kita sudah mengadopsi Mcdonalisasi. Dibuat sedemikian rupa agar cepat saji. Kuliah harus selesai dalam waktu 4 tahun. Padahal apalah manfaat wisuda terlalu cepat jika kita masih kosong dari ilmu pengerahuan. Kita harus melakukan proses penyadaran agar tidak terlarut dalam system seperti ini. Salah satunya yakni dengan menggalakan pendidikan kritis, yang akan membawa pada suasana interaktif. Sehingga teori teori yang kita pelajari sesuai dengan konteks kekinian. Dengan proses pedidikan kritis antara guru dan murid akan mengalami proses pembelajaran. Kita tidak hanya dituntut untuk belajar tetapi teori yang kita pelajari tersebut bisa menjadi pisau analisis terhadap realitas yang ada, bukan hanya sekedar untuk menjawab ujian semata.

Proses tersebut bisa kita mulai dari perbaikan pada system yang menghasilkan guru. Bagaimana agar supaya orang yang menjadi guru bisa menjadi sebagai fasilitator, motivator dan administrator. Langkah terakhir, penghapusan Ujian Nasional. Selama UN cenderung menjadi momok yang menakutkan bagi setiap anak bangsa yang mengalaminya. Bahkan banyak dari mereka yang rela mengorbankan pelajaran lain demi lulus di pelajaran yang di ujian nasional. Kita harus merubah agar UN tersebut bukan menjadi standar kelulusan bagi seorang pelajar, namun menjadi ajang evaluasi kedepannya agar kita mengetahui bagian mana yang harus diperbaiki sehingga pendidikan lebih maksimal.

Ketika pendidikan dan ilmu pengetahaun telah menjadi produk bagi sang pejual jasa yakni guru, dan pelajar dan siswa telah menjelma sebagai konsumen.  Pendidikan telah menjadi barang dagangan yang mewah sehingga yang mampu mengakses hanyalah mereka yang mempunyai kekayaan yang melimpah. Akhirnya kita harus membayar mahal terhadap pendidikan, padahal belum tentu kualitas yang kita dapatkan menjadikan kita faham akan nilai nilai kemanusian yang ingin kita gapai di awal. Apakah kita telah mengalami pergesaran dari proses belajar yang sesungguhnya? Atau mungkin kita sudah terasingkan dari proses belajar mengajar tersebut. Tak ada yang salah jika pendidikan itu dinominalkan dalam biaya yang cukup mahal. Namun harus beimbang dengan fasilitas dan kapasitas yang diberikan. Tapi satu hal kita harus siap mendapat julukan kapitalis pendidikan. Apa yang akan terjadi jika pendidikan kita komersilkan? Lalu bagaimana pula hak pendidikan bagi kaum yang tertindas?

Pendidikan merupakan fasilitas budaya untuk membentuk manusia. Dengan adanya pendidikan diharapkan kita bisa menjadi lebih dewasa dan bisa menjadi lebih manusiawi. Karena tujuan pendidikan adalah menciptkan insane akademis yang mencerdaskan dan berkepribadian kemanusian. Maka tak seharusnya jika pendidikan di kapitalisasi dan di politisasi.

Pendidikan yang telah mengalami penyempitan makna. Dimana pedidikan ibarat sebuah celengan, Guru sebagai penabung dan murid sebagai tempat celengan. Guru menceritakan pengetahuan berdasarkan tekstual yang terkadang telah usang dan terpisahkan dari realitas social. Sehingga ilmu inilah nantinya yang akan dihafal secara mekanis oleh para murid agar bisa menjawab soal ujian. Akhirnya murid hanya beaktivitas menerima, mencatat dan menghafal ilmu pengetahuan tanpa adanya hubungan timbal balik dan tidak ada ruangan untuk saling mengkritisi. Antara guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang pada celah inilah terselip penindasan yang telah dilegalkan oleh lembaga pendidikan dan dinaturalisasi seakan akan itulah yang benar.

Kurikulum merupakan pembaca realitas social. Bagaimana supaya kurikulum tersbut menjadi alat baca bagi  kita dalam meneropong lingkungan sekitar. Sehingga ketika kita telah selasai menempuh bangku pendidikan kita bisa memakai dan mengunakannya dalam menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi. Maka menjadi sebuah keharusan untuk mengubah cara kita dalam mendidika dari narrative menjadi interactive.

0 komentar:

Post a Comment