Friday, 19 September 2014

Falsafah Ekonomi Islam Menurut Imam al-Ghozali



Hujjatul Islam Imam Ghozali dilahirkan di Thus, kini menjadi wilayah Iran. Seja kecil telah ditinggal mati orang tuanya. Beliau kemudian diasuh dan dibesarkan oleh sahabat ayahandanya. Sejak kecil beliau sudah menaruh perhatian pada pendidikan sehingga menguasai berbagai macam disiplin keilmuan pada masa itu. beliau meneguasai fikih, seni berdebat, mantiq (logika), hikmah dan sangat mendalami filsafat. Beliau adalah murid langsung Imam al-Haromain yang menilainya : al Ghozali adalah lautan yang menenggelamkan (bahrun ‘amiq). Untuk megetahui detil diri Imam Ghozali dan perjalanan singkat hidupnya, dapat dibaca dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, karya beliau.

Dalam banyak risalahnya Imam al Ghozali menjelaskan hakekat kehidupan manusia di dunia dengan menjawab pertanyaan fundamental, yaitu apa tujuan dari penciptaan manusia dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Namun justru dalam menjawab persoalan-persoalan inilah al Ghozali nampaknya telah pula berhasil meletakkan landasan yang benar tentang falsafah ekonomi islam. Menurut beliau tujuan hidup seorang muslim adalah menggapai ridho Allah dan mencapai keselamatan di akhirat. Sedangkan salah satu sarana dan media untuk mencapai tujuan tersebut adalah harta yang halal dan kegiatan ekonomi. Disini Nampak jelas hubungan antara akidah islam dengan persoalan kegiatan ekonomi. Hakekat hubungan ini adalah hubungan antara sarana dan tujuan (al-washilah wal ghoyah)

Oleh karena segala macam aktifitas perdagangan dalam ekonomi menjadi suatu yang amat penting (dhoruri) dalam kehidupan manusia bahkan juga bagi keselamatan akidahnya sendiri. Dengan demikian aktifitas ekonomi bagi manusia bukanlah kegiatan sekunder, sambilan dan marginal sebagaimana dipahami oleh mereka yang keliru karena melihat dunia sebagai ‘kesenangan yang menipu’ (mata’ al-ghurur) dan harus dihindari. Akibat padangan yang ‘keblinger’ ini maka sektor perdagangan dan keuangan dalam kehidupan mereka diserahkan kepada bangsa lain yang nota bene non-muslim dan mereka bersedia dan rela menjadi buruh bahkan ‘budak’ di negeri sendiri.

Imam al-Ghozali mengatakan dalam kitab ihya-nya : “sesungguhnya maksud manusia adalah bertemu dengan Allah di akhirat, tiada jalan menujua Allah kecuali  dengan ilmu dan amal. Kedua hal ini tidak dapat dicapai kecuali dengan keselamatan fisik. Keselamatan fisik tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan makan dan minum sesuai dengan tuntutan kebutuhannya. Itulah sebabnya sebagian kaum salaf berpendapat bahwa makan dan minum adalah bagian penting dari agama seperti dianyatakan dalam al-Qur’an : “Makanlah (makanan) yang baik-baik dan beramalah dengan amal sholeh”. (QS. Al Mukminun : 51). Barang siapa makan untuk membantunya mencari ilmu dan beramal serta meningkatkan taqwa makan janganlah ia membiarkan dirinya tidak terkontrol seperti binatang ternak yang sedang makan di rerumputan. Karena apa yang menjadi wasilah bagi agama seyogyanya tampak juga cahaya agama padanya. Dan cahaya agama itu adalah adab-adab dan sunnah-sunnah…”

Dalam pandangan al Ghozali metode yang paling tepat untuk mencapai tujuan adalah menggunakan sarana ini (harta dan kegiatan ekonomi) secukupnya ‘saja’ (al-qodr al-kafi). Ini berarti bahwa dalam rangka melakukan aktifitas ekonomi untuk memakmurkan dunia, manusia harus membatasi wasilahnya (sarana) hanya pada batas-batas dhoruriyat saja. Tesis ini senantiasa diulang-ulang dan sangat ditekankan oleh al-Ghozali dalam banyak kesempatan di kitab-kitabnya. Penekanan ini tentu saja terjadi karena dominasi sufisme dalam diri al-Ghozali.

Imam al-Ghozali juga menguraikan dengan rinci mengenai keadaan manusia yang terjerumus ke dalam kesesatan karena keliru melihat hakekat wasilah, sehingga tujuan yang diimpikan tidak pernah tercapai oleh manusia. Banyak manusia yang silau dengan wasilah sehingga melihatnya sebagai tujuan dan mereka terperdaya dengan keindahannya dan akhirnya lupa pada tujuan yang sebenarnya, untuk apa mereka diciptakan. Beliau dengan sangat mendalam menasihati kita semua agar jangan sampai tergelincir menjadi homo economicus seperti yang menjadi dasar asumsi ilmu ekonomi konvensional. Pada saat yang sama kita diberi resep –resep dan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk senantiasa wasapada terhadap kilauan kesenangan yang menipu, dan tetap menjadi insan kamil (homo islamicus)

Sumber pustaka :
 
Basri, Ikhwan Abidin, 2007. Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik. Solo, Aqwam Media Profetika. (hal 113-116)

0 komentar:

Post a Comment