Tuesday 14 May 2019

Api Revolusi dari Pak Kiai

Manyimak Ulasan Pak Kiai
Ramadhan ke delapan bertemu ending-nya, aku dan kawan-kawan manyantap es buah. Segar, keberagaman melebur dalam persatuan, menghadirkan rasa yang menggoncang lidah. Eh, Ngomong-ngomong pada puasa kan? Hehe

Tadi pagi, kami berdiskusi langsung dengan kiai sepuh yang lahir sebelum Indonesia merdeka. Kalimatnya membawa kami pada masa-masa Yunani kuno. Peradaban tua yang dianggap sebagai peletak pertama demokrasi dunia. Kami diajak melihat dinamika masyarakatnya dalam menyusun kebijakan, terutama upaya untuk mengikis ketimpangan.

Setelah puas menyaksikan pergolakan Yunani, kami berjalan menuju Romawi kuno yang tak kalah mencengangkan. Ya, dunia selalu memperlihatkan pertentangan kelas. Bagian masyarakat yang terpinggirkan bergerak melawan kaum elit yang sudah mapan. Didukung oleh segilintir elit yang tercerahkan, terjadilah perombakan struktur sosial-ekonomi besar besaran.

Sayangnya, tak banyak kaum elit dengan rela menyerahkan zona nyaman yang turun temurun mereka dapatkan. Akhirnya mereka bekerja sama menghimpun gerakan. Persekongkongkolan kaum bangsawan, hartawan dan veteran militer lahir menjadi simponi keserakahan yang terdengar begitu menakutkan.

Kami hanyut dalam tutur kata pak Kiai. Air mukanya serius. Usia yang hampir mendekati seabad, tak sedikitpun mengurangi energi dalam kalimat yang dia sampaikan. Hanya tubuhnya saja yang tak bisa berbohong. Lipatan kulit yang membungkus tubuhnya secara jujur menyampaikan realitas tersebut. Ya, tak ada satupun manusia yang mampu menundukkan keabadian. Termasuk pak Kiai, aku dan kau juga.

Lalu kami berlari cepat menembus kehidupan Rusia di tahun 1848. Hampir mayoritas negara di belahan benua Eropa melakukan revolusi besar-besaran. Menuntut pergantian sistem secara radikal. Namun karena tak didasari oleh kesadaran yang satu, api revolusi dengan mudah dipadamkan. Elit kembali melanjutkan penghisapan.

Akhirnya kami sampai di era perjuangan bangsa Indonesia. Berkali-kali kita kalah dalam forum negosiasi, tak sedikitpun membuat kita tunduk. Seru namun pilu. Lagi-lagi, karena keterbatasan ruang bercerita, akupun tak bisa menyampaikan semuanya.

0 komentar:

Post a Comment