Liburan kali ini agak berbeda dari
liburan sebelumnya. Karena aku tidak lagi menemui perkuliahan seusainya. Al
hamdulillah seluruh sks mata kuliah sudah ku ambil, yang tersisa hanyalah tugas
akhir dan beberapa tugas pelengkap menjelang wisuda. Banyak kawan-kawan mengatakan,
bahwa disinilah bagian yang penuh perjuangan. Aku akan melawan diriku sendiri.
melawan rasa malas, juga dituntut untuk piawai dalam mengatur waktu sebagai
amunisi dalam pertempuran ini.
Liburan kali ini banyak ku
habiskan dengan kegiatan dan hobi baru. Untuk mengawali hari, aku meluangkan
waktu untuk memperdalam hobi karikatur. Ya hanya 30 menit. Aku yakin 30 menit
yang ku investasikan ini, tidak akan kalah bersaing dengan sks kuliah yang ku ambil
selama delapan semester. O ya, sebenarnya menggambar merupakan hobi lama yang
sudah tak ku otak atik lagi.
Dulu, ketika masih berstatus
santri, tepatnya di tahun-tahun pertama, aku masih menekuni hobi ini. Sampai
suatu ketika, aku bertemu dengan hadits tentang dilarangnya menggambar sesuatu
yang menyerupai makhluk hidup. Kontan saja hobi yang beranjak tumbuh sumbur itu, ku kubur hidup-hidup. Aku membayangkan
setiap objek yang pernah ku gambar akan hidup dan menghantuiku. Belum lagi
bayangan tentang manusia yang ku gambar tak lengkap anggota tubuhnya. Ada yang
punya kepala tanpa badan, ada juga gambar yang memiliki tangan tidak sama
bentuknya. Membayangkan semua itu hidup, membuatku takut bukan kepalang. Sejak
saat itu, aku memutuskan tidak akan menggambar lagi.
Namun sekarang ceritanya sudah
berbeda, karena waktu itu aku belum tahu banyak tentang konteks pelarangan itu.
Baru ku tahu sekarang, bahwa dasar dari pelarangan pada hadits itu adalah zaman
Nabi. Zaman dimana berhala dan gambar masih menjadi sesembahan. Tentu gambar
saat itu dibuat untuk disembah. Berbeda dengan sekarang, gambar dibuat sebagai
sarana untuk menuangkan seni, selaku penanda dari keindahan.
Aku memutuskan untuk kembali
menggali hobi yang telah lama ku pendam itu. Begitulah kehidupan, apa yang kita
dapatkan hari ini tentu tidak akan serupa dengan hari esok. Benar hari ini bisa
jadi benar juga hari esok, namun bisa juga jadi salah. Coba bayangkan jika anak
sekarang ditanya berapa jumlah planet? Tentu jawaban mereka akan berbeda dengan
jawaban kita dulu, ketika Pluto masih diakui sebagai planet.
Hal ini juga berlaku dalam
pencapaian prestasi maupun materi. Bisa jadi orang lain menilai kita telah
mencapai puncak kejayaan ketika keduanya sudah berada di genggaman kita. Tapi
benarkan kita sudah mencapai puncak? Biarkan orang menilai seperti itu. Tapi
aku pribadi tidak akan berpegang pada prinsip itu. Puncak merupakan gambaran
tertinggi dari pencapaian, setelahnya kita akan menemui turunan. Bisa jadi yang
kita namakan puncak hanyalah gundukun kecil di kaki gunung. Dalam hidup ini,
akan selalu ada orang yang membuat kita untuk terus berjuang. Mengapai prestasi
terbaik adalah gerak kita sebagai manusia, karena dengannya kita disebut insan
produktif. Perbuatan yang disebut sebagai amal sholeh.
Kegiatan lain yang ku lakukan
selain menggambar adalah membaca dan menulis. Untuk kedua hal ini, tidak pantas
rasanya jika ku sebut sebagai hobi, karena ini merupakan kerja kita sebagai
manusia. Mengapa membaca? Karena membaca adalah proses memahami dan mengerti
alam semesta. Sementara menulis adalah kerja keabadian. Mereka yang menulis
akan terus hidup melampaui umur biologisnya. Aku bukanlah orang kaya. Aku juga
bukan anak seorang presiden, sehingga aku harus menulis untuk warisan anak
cucuku nanti. Begitulah modifikasi dari pesan Imam Ghozali.
Malalui membaca dan menulis, aku
menemukan guru-guru baru di dunia maya. Mereka memberiku semangat untuk terus
mengembangkan diri, untuk terus membaca, untuk terus menulis, dan mencobanya
mengirimnya ke koran. Jujur, dua hari ke depan merupakan hari penantianku. Aku
baru saja mengirim sebuah tulisan ke koran SINDO pada rubrik poros mahasiswa.
Setiap habis Dzuhur, ku buka laman sindo di internet dengan gugup, berharap
tulisan yang ku kirim mejeng disana.
Sebelum menjajal kemampuan
menulisku di koran nasional, aku sudah membulatkan tekad untuk tidak mudah
putus asa dan akan terus bereksperimen, bila perlu baerkali-kalipun akan
kujabani. Menurut joni (kebetulan namanya sama), yang sudah sering tembus di
rubrik poros mahasiswa, “ketika kita sudah memutuskan untuk mengirim tulisan ke
poros mahasiswa, berarti kita telah memasuki jagat pertarungan intelektual
antar kampus”.
Kalimat itu terus tergiang dalam
diriku dan memacu adrenalinku. Sungguh aku tertantang untuk menaklukkan rubrik
ini. Bukankah yang membuat sebuah film itu enak ditonton karena ada tantangan.
Alur cerita menjadi begitu berwarna dengan dinamika tokohnya. Benar rupanya,
setelah memutuskan bahwa poros mahasiswa adalah tantangan, aku merasakan hidup
lebih hidup.
0 komentar:
Post a Comment