Monday, 9 February 2015

Hobi Terpendam & Tantangan Koran Sindo

 

Liburan kali ini agak berbeda dari liburan sebelumnya. Karena aku tidak lagi menemui perkuliahan seusainya. Al hamdulillah seluruh sks mata kuliah sudah ku ambil, yang tersisa hanyalah tugas akhir dan beberapa tugas pelengkap menjelang wisuda. Banyak kawan-kawan mengatakan, bahwa disinilah bagian yang penuh perjuangan. Aku akan melawan diriku sendiri. melawan rasa malas, juga dituntut untuk piawai dalam mengatur waktu sebagai amunisi dalam pertempuran ini.

Liburan kali ini banyak ku habiskan dengan kegiatan dan hobi baru. Untuk mengawali hari, aku meluangkan waktu untuk memperdalam hobi karikatur. Ya hanya 30 menit. Aku yakin 30 menit yang ku investasikan ini, tidak akan kalah bersaing dengan sks kuliah yang ku ambil selama delapan semester. O ya, sebenarnya menggambar merupakan hobi lama yang sudah tak ku otak atik lagi. 

Dulu, ketika masih berstatus santri, tepatnya di tahun-tahun pertama, aku masih menekuni hobi ini. Sampai suatu ketika, aku bertemu dengan hadits tentang dilarangnya menggambar sesuatu yang menyerupai makhluk hidup. Kontan saja hobi yang beranjak tumbuh  sumbur itu, ku kubur hidup-hidup. Aku membayangkan setiap objek yang pernah ku gambar akan hidup dan menghantuiku. Belum lagi bayangan tentang manusia yang ku gambar tak lengkap anggota tubuhnya. Ada yang punya kepala tanpa badan, ada juga gambar yang memiliki tangan tidak sama bentuknya. Membayangkan semua itu hidup, membuatku takut bukan kepalang. Sejak saat itu, aku memutuskan tidak akan menggambar lagi.

Namun sekarang ceritanya sudah berbeda, karena waktu itu aku belum tahu banyak tentang konteks pelarangan itu. Baru ku tahu sekarang, bahwa dasar dari pelarangan pada hadits itu adalah zaman Nabi. Zaman dimana berhala dan gambar masih menjadi sesembahan. Tentu gambar saat itu dibuat untuk disembah. Berbeda dengan sekarang, gambar dibuat sebagai sarana untuk menuangkan seni, selaku penanda dari keindahan.

Aku memutuskan untuk kembali menggali hobi yang telah lama ku pendam itu. Begitulah kehidupan, apa yang kita dapatkan hari ini tentu tidak akan serupa dengan hari esok. Benar hari ini bisa jadi benar juga hari esok, namun bisa juga jadi salah. Coba bayangkan jika anak sekarang ditanya berapa jumlah planet? Tentu jawaban mereka akan berbeda dengan jawaban kita dulu, ketika Pluto masih diakui sebagai planet.

Hal ini juga berlaku dalam pencapaian prestasi maupun materi. Bisa jadi orang lain menilai kita telah mencapai puncak kejayaan ketika keduanya sudah berada di genggaman kita. Tapi benarkan kita sudah mencapai puncak? Biarkan orang menilai seperti itu. Tapi aku pribadi tidak akan berpegang pada prinsip itu. Puncak merupakan gambaran tertinggi dari pencapaian, setelahnya kita akan menemui turunan. Bisa jadi yang kita namakan puncak hanyalah gundukun kecil di kaki gunung. Dalam hidup ini, akan selalu ada orang yang membuat kita untuk terus berjuang. Mengapai prestasi terbaik adalah gerak kita sebagai manusia, karena dengannya kita disebut insan produktif. Perbuatan yang disebut sebagai amal sholeh.

Kegiatan lain yang ku lakukan selain menggambar adalah membaca dan menulis. Untuk kedua hal ini, tidak pantas rasanya jika ku sebut sebagai hobi, karena ini merupakan kerja kita sebagai manusia. Mengapa membaca? Karena membaca adalah proses memahami dan mengerti alam semesta. Sementara menulis adalah kerja keabadian. Mereka yang menulis akan terus hidup melampaui umur biologisnya. Aku bukanlah orang kaya. Aku juga bukan anak seorang presiden, sehingga aku harus menulis untuk warisan anak cucuku nanti. Begitulah modifikasi dari pesan Imam Ghozali.

Malalui membaca dan menulis, aku menemukan guru-guru baru di dunia maya. Mereka memberiku semangat untuk terus mengembangkan diri, untuk terus membaca, untuk terus menulis, dan mencobanya mengirimnya ke koran. Jujur, dua hari ke depan merupakan hari penantianku. Aku baru saja mengirim sebuah tulisan ke koran SINDO pada rubrik poros mahasiswa. Setiap habis Dzuhur, ku buka laman sindo di internet dengan gugup, berharap tulisan yang ku kirim mejeng disana.

Sebelum menjajal kemampuan menulisku di koran nasional, aku sudah membulatkan tekad untuk tidak mudah putus asa dan akan terus bereksperimen, bila perlu baerkali-kalipun akan kujabani. Menurut joni (kebetulan namanya sama), yang sudah sering tembus di rubrik poros mahasiswa, “ketika kita sudah memutuskan untuk mengirim tulisan ke poros mahasiswa, berarti kita telah memasuki jagat pertarungan intelektual antar kampus”.

Kalimat itu terus tergiang dalam diriku dan memacu adrenalinku. Sungguh aku tertantang untuk menaklukkan rubrik ini. Bukankah yang membuat sebuah film itu enak ditonton karena ada tantangan. Alur cerita menjadi begitu berwarna dengan dinamika tokohnya. Benar rupanya, setelah memutuskan bahwa poros mahasiswa adalah tantangan, aku merasakan hidup lebih hidup.

Nampaknya, akan ada banyak tantangan kedepannya. Semoga!

0 komentar:

Post a Comment