Sumber ilustrasi: cianjurtoday.com |
Aku mengacuhkan nasihat kawanku untuk membawa sleeping bag (SB). "Selow, aku tidurnya pake sarung aja nanti wak..." Sebaris kalimat yang kulontarkan dengan pongah sebelum kami mendaki. Kedunguan paling hakiki yang betul betul kusesali sampai hari ini.
Aku lupa satu hal, selain kekasih, waktu yang akan datang, juga bagian dari misteri yang belum tersingkap. Tak ada satupun manusia yang mampu mendefinisikannya secara utuh, sampai benar benar melewatinya.
Singkat cerita, hujan turun menyertai setengah dari pendakian kami. Walau sudah pakai ponco, kami tetap basah kuyub. Menggigil kedinginan. Kami terseok seok hingga alun-alun Surya Kencana. Orang bilang disinilah Surganya Gede Pangrango. Sayang, saat sampai lokasi, tak ada bunga Edelweiss yang bisa disaksikan. Semuanya tertutup kabut.
Dalam deru angin yang tak bersahabat, serta dera kabut yang memasung penglihatan, kami membangun tenda secepat kilat dan bergegas memasukinya. Perlahan hujan kembali mengguyur bumi Pasundan. Begitu lebat. Awet sampai malam. Disinilah pelajaran berharga itu...
Tubuhku menggigil kedinginan sepanjang malam. Kupikir, tak hanya menggigil, bahkan tubuhku bergoncang hebat. Pakaian yang melekat terasa seperti ikatan yang terus menguat. Setiap persendian diserang pegal. Berdenyut dari dalam. Jari jari, daun telinga dan muka seperti kehilangan dagingnya.
Yang bisa kulakukan, hanyalah memejamkan mata lalu berharap bisa tertidur dengan lelap. Dari lubuk hati terdalam, aku sangat mengiba pada Tuhan agar malam itu segera berakhir dengan cepat. Aku tak peduli lagi orang orang disekitarku. Mereka yang tak bisa tidur karena khawatir.
Sejujurnya, aku benci terjebak dalam posisi seperti ini, berkubang empati karena kepandiran pribadi. Tapi mau bagaimana lagi, itulah kondisi yang harus kutelan saat itu. Syukurnya, Tuhan masih berkehendak baik. Aku masih diberi kesempatan untuk membuka mata keesokan harinya. Thanks god!
Baca juga: Perjuangan Indonesia dari Lautan
0 komentar:
Post a Comment