Monday 3 February 2020

Hidup Sendirian di Tengah Laut Pulau Seribu, Berani?


Atilah saat sedang istirahat usai memberi pakan Kerapu.
Apa yang ada di benakmu, seandainya hidup sendiri di tengah laut. Bagaimana cara mememuhi kebutuhan makan sehari-hari? Mendapatkan supply air untuk keperluan MCK? Bepergian kemana-mana? Atau mendapatkan listrik? Cerita itulah yang kudapatakan saat bertandang ke salah satu kawasan di Pulau Seribu.

Atilah, Teknisi PKSPL-IPB di Kepulauan Seribu, tak penah menyangka jika kehidupan paska kampus menjadikannya penghuni tetap satu-satunya di perairan Semak Daun, Pulau Panggang. Sendiri tanpa teman dan jauh dari bising keramaian. Aktivitas rutinnya sehari-hari adalah merawat dan membesarkan ribuan ikan Kerapu. Itulah kawannya selama di sana, yang saban hari diberi pakan.

Runitas itu dia lakukan sebagai bentuk totalitas terhadap pekerjaan. Sudah hampir satu bulan dia menghabiskan malam di tengah laut seorang diri. Saat kutanya menggenai keseharian di tengah laut, ia menjawab, banyak kisah berkesan. Dihantui rasa khawatir, itu pasti. Takut kalau-kalau keramba apung rusak diterjang ombak. Takut disatroni orang tak dikenal. Maklum, sebagai pendatang, semuanya masih terlihat asing.

Badai malam hari di tengah lautan adalah saat-saat paling mencekam. "Ngeri banget. Gemuruh hujan dan petir dibarengi deru angin laut. Apalagi jika siangnya mendung. Cocok. Gelap gulita. Gak ada cahaya. Ke sini-sini sudah biasa. Dibawa enjoy aja," kata Atilah saat kami mengobrol di Balkon.

Yup, home stay tempat kami menginap hanya mengandalkan panel surya sebagai sumber listrik. Jika cuaca kurang bagus, sudah pasti malamnya tidak bakal ada penerangan. Hape dengan segala koneksinya lenyap dalam hitungan jam. Berdoa saja jika panel suryanya tidak disambar geledek. Karena jika sampai terjadi, alamat gelap-gelapan sampai panelnya diperbaiki. Hehe...
Berenang di sekitar penginapan.
Untungnya, jika musim hujan persediaan air tawar berlimpah-ruah. Air dari langit yang ditampung langsung ke pam bakal jadi penyelamat selama hidup di laut. Setidaknya stock minum dan keperluan masak tidak kekurangan. Dengan catatan, bahan pokok yang bisa dimasak masih ada.

Kulihat hampir setiap ujung atap home stay, terdapat paralon yang berfungsi menampung air hujan, untuk kemudian disambungkan ke drum yang ada di kamar mandi dan beberapa titik penginapan. "Kalo lagi ada mahasiswa penelitian dan menginap, saya selalu mewanti wanti agar berhemat air. Soalnya kalo habis, belinya harus pake jerigen ke pulau seberang (Pulau Panggang," ucapnya.

Lautan sebagai satu-satunya jalur mobilitas, membuat siapapun yang hidup seperti Atilah musti cekatan dalam mengatur logistik. Jangan sampai kebutuhan sehari-hari habis tanpa sepengetahuan. Mau kemana-mana susah soalnya. Apalagi hidup tanpa tetangga. Sebab untuk bepergian keluar pulau, mesti punya kenalan atau langganan motor air untuk minta dijemput. Itupun kalo cuaca bagus dan siang hari.

Atilah terlihat senang saat kami datang. Artinya selama lima hari kedepan, ia tidak bakal kesepian. Ada kawan bicara selain Kerapu yang biasa disapanya tiap pagi dan petang. Jujur secara pribadi belum bisa terbayang, seandainya aku yang berada di posisinya. Mungkin tak sampai satu minggu sudah mati gaya cuy!

Untuk ukuran rumah di perkotaan, home stay yang ditempati Atilah cukup besar. Ruang tengah bersampingan dengan ruang kantor, gudang perlengkapan pakan, kamar mandi dan dapur komplit beserta perabotannya. Kecuali hal-hal yang berkaitan dengan listrik, semuanya tersedia. Tapi yaitu tadi, lokasinya di tengah laut, jauh dari hunian masyarakat dan hiruk-pikuk kehidupan. Berani coba?

Baca juga: Orang "Pulo" Dalam Kepungan Wisatawan

0 komentar:

Post a Comment