Monday, 10 August 2020

Behusin, Tetap Meriah Dalam Kesederhanaan


Lelaki itu sedang duduk santai di bale-bale depan rumahnya. Ia sedang asik bercengkarama dengan keluarga. Terlihat beberapa tetangga melakukan hal yang sama. Posisi mereka berdekatan. Mereka saling menungkai cerita dan menimpali satu sama lain. Ngaso ala masyarakat pedusunan.

 

Namanya Hafidz. Hari-hari biasa, ia adalah seorang guru di salah satu SMA yang ada di Rambang Kuang. Namun di sisi lain, ia juga dikenal sebagai pelestari sekaligus pemilik group musik Behusin, seperangkat alat musik yang biasa disebut Tanjidor oleh orang-orang Jakarta.

 

Malam itu, aku dan beberapa kawan berkunjung ke rumahnya. Kami bermaksud menggali sejarah tentang Behusin, musik pengiring pengantin yang biasa dipakai untuk memeriahkan proses arak-arakan pernikahan.

 

Ya, sepasang pengantin di kampungku akan di arak keliling dusun dengan backsound orkestra Behusin. Tak hanya itu, mereka bakal ditandu bak raja dan ratu serta diikuti masyarakat satu kampung.

 

Mulanya, kupikir Behusin memang nama musik tradisional yang ada di dusunku. Namun setelah mendengar langsung penjelasan tentangnya, baru kutahu ternyata Behusin berasal dari nama pemilik pertamanya tempo dulu, yakni Abu Husin. Adapun nama group orkestranya yaitu Cina Tarum. Asalnya dari dusun Tanah Abang.

 

Setiap ada pernikahan, orang-orang di kampung bakal menyewa group Tanjidor miliknya. Namun agar lebih praktis dan mempermudah penyebutan di lidah, masyarakat di dusunku menamainnya dengan Behusin. Padanan untuk alat musik yang pemiliknya bernama Abu Husin. Jadilah istilah itu yang lebih familiar hingga saat ini. Bahkan sudah saling melengkapi dengan ritual pernikahan di dusun Kuang Dalam.

 

Saat dentuman orkestra Behusin sudah terdengar, masyarakat akan berduyun duyun mendatangi sumber suara untuk menyaksikannya secara langsung. Perpaduan irama antara Kuncah-Kuncah, Terompet, Kicis-Kicis serta tabuhan Drum, tak ubahnya seperti gaya gravitasi yang menarik banyak penonton.

 

Bagiku sendiri, Behusin adalah sumber kemeriahan. Ia unik dan tradisional. Ia menampilkan kesemarakan dalam kesederhanaan. Para pemain, irama orkestra dan masyarakat yang menonton adalah realitas yang khas ala pedusunan. Jujur dan apa adanya.

 


Sunday, 7 June 2020

Suriah, Indonesia & KITA

Basyar Al Assad
Aku baru saja menuntaskan buku Salju di Aleppo, karya terbaru Dina Y. Sulaeman. Buku tersebut kuperoleh setelah mengikuti giveaway yang dilakukannya di facebook. Saat itu, aku menawarkan diri untuk meresensi buku tersebut jika terpilih. Sebelumnya, dia juga telah membagikan bukunya berjudul Prahara Suriah versi pdf. Bagi yang berminat, bisa download bukunya di sini.

Kedua buku di atas membahas tentang sengkarut persoalan yang terjadi di Negara Suriah. Ya, satu negara yang cukup menyita ruang perdebatan di jagat maya Indonesia. Aku suka gaya tulisannya. Sekalipun rigit dan detail dengan catatan kaki sana-sini, namun ditulis dengan kata-kata yang runut dan renyah.

Secara garis besar, buku Salju di Aleppo menguak informasi tandingan yang biasa diberitakan oleh media mainstream. Hampir setiap bab hadir dengan bongkahan pengetahuan yang jarang dijamah oleh mayoritas. Sebab, narasi yang biasa disajikan oleh media mainstream selalu berat sebelah. Bisa dilihat dari sumber data yang tidak berimbang. Hanya berasal dari satu sisi bila tak mau dikatakan memihak oposan. Walaupun tidak dilakukan secara vulgar.

Dengan cekatan, Dina menjelaskan tarikan informasi yang kerap menyudutkan satu pihak, dalam hal ini, pemerintah Suriah. Dari sekian banyak informasi yang dirilis oleh media mainstream, amat jarang ditemukan pernyataan atau penjelasan yang datang dari dua pihak secara adil.

Salah satunya sebut saja Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah atau Syirian Observatory for Human Rights (SOHR). Sebuah  kantor informasi yang berpusat di Britania Raya. Jauh sekali dari Suriah namun paling sering dirujuk jika sudah membahas Suriah. Organisasi ini sejak awal perang Suriah kerap dijakan sumber informasi oleh media Barat seperti VOA, BBC, Reuters dll.

Dina membahasakan mereka sebagai “Para Makelar Perang”. Dia dengan runut menjelaskan keterkaitan SOHR dengan gerakan oposisi dan para penyokongnya.

Dengan kata lain, informasi yang disampaikan secara masif oleh media Barat, kadang tak benar-benar mereka peroleh dari lapangan. Hanya menyadur dari sumber informasi yang perlu diragukan kredibilitas keabsahannya. Lagipula, keberadaan SOHR dan lembaga sejenisnya dalam banyak kasus memang ‘sengaja’ dihadirkan untuk memproduksi dalil-dalil akademik agar terlihat sah.

Buntut dari data-data yang dirilis oleh LSM terkait adalah pemberitaan yang masif. Berujung pada simpati publik yang akhirnya menjadi legalitas bagi negara-negara adidaya untuk campur tangan. Dalihnya intervensi kemanusiaan. Kadang pola pemberitaan seperti ini memang dilakukan dengan profesional. Dalam buku Salju di Aleppo, Dina mengambarkan kerja-kerja “seleb medsos” sebagai agen Public Relations (PR) dalam menggiring opini publik.

Buku Salju di Aleppo
Dalam kasus Suriah, hal demikian bisa dilihat dengan mata telanjang. 2011 silam, kerusuhan hanya bermula dari sebagian kecil warga yang menuntut perubahan sistem pemerintahan suriah. Hanya warga dan pemerintahnya saja. Harusnya sudah selesai dengan diamandemennya UUD Suriah. Karena tuntutan sudah terpenuhi. Diantaranya peralihan sistem satu partai ke banyak partai, pencabutan  Undang-Undang Darura, pembatas priodesasi pemerinahan maksimal dua periode, serta perombakan aturan lainnya sebagai bentuk kesepakatan warga dan pemerintahnya.

Namun selang beberapa waktu kemudian, ada banyak pihak yang turut menyulut api kegaduhan di sana. Dengan dalih panggilan ‘Jihad’ warga dari berbagai negara mulai berdatangan ke Suriah.

Perlahan tapi pasti, kecamuk perang berkobar dan terus membesar. Suriah menjelma sebagai arena tempur bagi banyak negara. Amerika, Inggris, Perancis, Turki, Qatar, Israel, Libanon, Rusia, Cina, Iran dll. Ada yang terjun langsung ke gelanggang, ada yang sekedar pendukung di belakang layar. Mereka terbagi dalam dua kubu berseberangan. Pendukung rezim Assad dan penyokong blok oposisi. Tentu saja dengan kepentingannya masing-masing. Motif ekonomi politik berkelat kelindan satu sama lain.

Dalam kurun 10 tahun terakhir, negara-negara Timur Tengah terus bergolak secara bergantian. Mulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Suriah dll. Saking masifnya pemberitaan kondisi negara-negara tersebut, tak sedikit masyarakat Indonesia yang sudah familiar dengan nama-nama presiden yang digulingkan, seperti Muammar Qadafi, Saddam Husein dan Husni Mubarak. Baru-baru ini, telinga netizen tanah air juga sangat sangat akrab dengan satu nama, Basyar Al-Assad, Presiden Suriah.

Jika ditelisik lebih jauh, setiap kecamuk perang yang terjadi di Timur Tengah, bisa dipastikan selalu ada campur tangan negara asing. Salah satunya Amerika Serikat yang tidak pernah absen. Dalang utama dalam aksi penggulingan rezim.

Sudah sembilan tahun, Suriah diselimuti peperangan. Tidak lagi sesederhana A melawan B. Tapi ada C, D, E, dan seterusnya. Terdapat seribu kepentingan yang begitu rumit. Menurut Dina, persoalan Suriah akan sedikit mudah diselesaikan jika semua pihak asing angkat kaki dari sana berikut kepentingannya. Sayangnya, hal demikian terdengar mustahil. Kenapa?

Dalam bukunya Prahara Suriah, Dina menjelaskan keterkaitan Suriah dan negara-negara rivalnya. Seperti Prancis yang memiliki latar belakang sebagai bekas penjajah Suriah di Masa Silam. Israel yang memiliki dendam lama kepada Suriah akibat solidaritasnya terhadap Hizbullah di Libanon. Sementara Amerika, kita semua tahu jika negara Paman Sam ini punya kedekatan khusus dengan negara Israel.

Membincang Suriah, aku jadi teringat pemaparan Bernstein. Menurutnya ada empat pertanyaan kunci untuk melihat relasi sosial dari sebuah persoalan ekonomi politik. Siapa melakukan apa, siapa memiliki apa, siapa mendapakan apa, dan apa yang yang mereka lakukan dengan itu.

Empat pertanyaan ini bisa kita ejawantahkan menjadi, Kenapa ada banyak pihak yang ikut andil menjatuhkan Suriah? Apa yang dimiliki oleh Suriah? Apa yang mereka dapatkan seandainya Rezim Assad kalah? Lantas, apa yang akan mereka lakukan selanjutnya?

Jawaban dari ke-empat pertanyaan ini diulas lebih jauh oleh Dina Y. Sulaeman dalam bukunya Salju di Aleppo, pada bab ‘Perang demi Apa?’

Aku sangat terarik membaca bab keterkaitan Indonesia dan Suriah. Jauh sebelum dilanda kerusuhan, Suriah adalah negara dengan peringkat indeks pembangunan manusia di atas Indonesia. Dengan kata lain, dalam hal kesejahteraan, kebahagiaan dan tingkat literasi Suriah saat itu berada di atas Indonesia. Namun ketidakpuasan segelintir warga yang di-blow up media mainstream mampu menjadi gelinding bola salju yang mendatangkan malapetaka. Hoax dan kebohongan tumbuh subur  melalui sosial media.

Selain itu, para aktor milisi perang di sana yang notabene berasal dari organisasi transnasional, sel-selnya juga tumbuh subur di Indonesia. Sebut saja seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan beberapa jaringan teroris yang sudah beberapa kali menunjukkan aksinya di Indonesia. Berkaca dari sini, Indonesia punya potensi terkena hal yang sama. Jangan sampai deh!

Friday, 28 February 2020

Lafran Pane, Mata Air Keteladanan yang Dilupakan

Kajian Surau Filsafat
Dalam sebuah obrolan tengah malam, kami sampai pada kesimpulan, jika tokoh-tokoh besar dunia kebanyakan lahir dari kalangan elit menengah ke atas. Entah itu dalam hal materi maupun pendidikan. Setidaknya ia berasal dari silsilah keluarga pembesar. Deretan nama mulai dari Nabi Muhammad, para pendiri bangsa dan tokoh besar lainnya. Termasuk sosok pendiri HMI, Lafran Pane.

Ia lahir di tengah keluarga berpendidikan. Dua abangnya adalah sastrawan kenamaan sebelum kemerdekaan. Sementara ayahnya adalah pendiri organisasi Muhammadiyah cabang Sipirok, Sumatera Utara. Saat mayoritas masyarakat Hindia Belanda masih dilanda buta aksara, Lafran Pane dan saudara-saudaranya sudah bisa mengakses pendidikan berbahasa Belanda.

Sederhananya, mereka sekeluarga sudah akrab dengan budaya literasi sejak kecil. Bagian dari kalangan elit yang punya pengakuan khusus. Bisa jadi disebabkan karena mereka berasal dari keluarga bangsawan, atau golongan hartawan. Fakta tersebut semakin menguatkan jika gerakan perubahan selalu diawali dari kaum elit yang tercerahkan.

Tentu kesimpulan instan di atas sangat bisa diperdebatkan. Belum final. Silahkan tambah sendiri sample tokohnya.

Kembali ke Lafran Pane, minggu kemarin kami coba menggali pemikirannya. Diskusi tersebut diinisiasi oleh HMI Cabang Bogor. Kami baru sadar, ternyata sosok yang membidani kelahiran HMI tersebut tak banyak meninggalkan jejak pemikiran. Khususnya dalam bentuk tulisan.

Kami hanya mendapati dua buku saja yang bercerita banyak tentangnya. Pertama Biografi beliau yang ditulis Hariqo, kader HMI Jogja. Kedua, buku Merdeka Sejak Hati yang disusun oleh novelis ternama, Ahmad Fuadi. Kedua penulis berasal dari pesantren Gontor. Sekolah Agama tempat begawan HMI lainnya pernah menempuh pendidikan, Cak Nur.

Ada sekelebat asumsi yang muncul, pertama Lafran Pane memang tidak produktif menuliskan pemikirannya. Kedua, ia memang tidak ingin menonjolkan ide-idenya. Takut dikultuskan dan dipetimatikan oleh kader-kader HMI. Sikap itu kami dapat setelah menyimak salah satu peryataan anaknya. Lafran kurang berkenan jika ada orang yang menspesialkannya. Termasuk menuliskan kisah hidupnya.

Ingatanku tiba-tiba langsung terpaut pada bingkai pigura Lafran Pane bertuliskan pendiri HMI yang ada di sekretariat cabang Bogor. Ya, ingatan kolektif mayoritas kader hanya mengenangnya sebatas pendiri HMI saja. Ide dan gagasannya tak banyak dibahas dalam ruang-ruang kaderisasi.

"Pasti ada banyak pemikiran beliau. Hanya tidak diarsipkan dengan baik saja. Ini tantangan kita. Mendokumentasikan tulisannya. Mustahil seorang Guru Besar hukum tata negara tidak meninggalkan jejak pemikiran," ucap seorang kawan. Tentu saja pendapatnya itu lahir dari konteks saat ini. Dimana seorang Profesor wajib punya publikasi buku.

Terlepas hal di atas, niatan tersebut perlu direnungkan. Pengumpulan arsip para pendahulu adalah kerja-kerja pengabdian untuk ilmu pengetahuan. Bukankah geliat kemajuan yang dirasakan hari ini adalah buah dialektika intelektual tiap zaman. Tongkat estafet dari pemikir satu ke pemikir lainnya. Gagasan yang dituliskan adalah cikal bakal peradaban. Helaan nafas dari setiap transformasi yang membuat dunia terus berkembang.

Toh jika seandainya Lafran Pane memang tak banyak meninggalkan arsip tulisan atas pemikirannya, setidaknya upaya memproduksi keteladanan kisah hidupnya harus lebih disemarakkan. Makin dalam kami menggali jejak hidupnya, makin sadarlah kami, betapa pendiri HMI adalah sosok manusia sederhana. Tidak haus eksistensi. Tidak suka menonjolkan diri.

Lewat dua buku di atas, kami banyak menemukan pelajaran tarkait ke-zuhudan. Di banyak kesempatan, Lafran Pane lebih mengedepankan kemaslahatan organisasi ketimbang ego personal. Ia secara legowo mewakafkan posisi ketua umum yang belum genap setahun diembannya hanya untuk organisasi terus berkembang. Kepentingan organisasi harus didahulukan.

Sebagai orang yang tak pandai orasi dan bicara di atas podium, ia lebih memilih ruang pengabdian lain yang belum dijamah. Ia sadar posisi. Tak semuanya musti berada di panggung depan. Mengalah untuk mencapai tujuan bersama. Pilihan sikap itulah yang kemudian membuat HMI bertumbuh pesat.

Diam-diam aku terhenyak, pikiranku terbayang dengan kasus dualisme yang menjerat PB HMI saat ini. Di tengah polemik rebutan jabatan yang beranak pinak hingga ke cabang-cabang, Sosok Lafran Pane adalah mata air keteladanan yang dilupakan. Aih...

Sebagai pelopor, Lafran Pane kerapkali ditawari jabatan atau jamuan dari alumni-alumni HMI yang sudah mapan. Walaupun secara kapasitas, ia layak dan mumpuni, ia selalu menghindari ruang-ruang yang rentan menyeret ikatan ke-HMI-an. Ia selalu menolaknya. Ia pertimbangkan matang-matang tiap opsi agar tak mencederai organisasi.

Ia paling keras menolak berhutang jasa atau materi. Ia tidak mau mengorbankan kemerdekaan bersikap baik secara pribadi maupun institusi hanya karena tuntutan balas budi. Ia maknai baik-baik arti menjaga independensi organisasi. Ia tidak mau mengkerdilkan organisasi demi pencapaian eksistensi.

Pernah satu waktu, anaknya berkesempatan menerima beasiswa, namun Lafran Pane menolaknya dengan dalih masih banyak yang lebih membutuhkan. Padahal saat itu, pertimbangannya bukan kemampuan secara ekonomi, tapi prestasi akademik. Dia beranggapan, selagi masih mampu membiayai sendiri, biarkan yang lebih berhak menerimanya.

Jangankan mengkapitalisasi jejaring HMI yang tembus sampai ke elit, sekedar mengakses yang sudah menjadi haknya saja ia selektif.

Seperti halnya Socrates, Lafran Pane memang tak banyak menuliskan langsung jejak pemikirannya. Namun kisah hidup yang dituturkan tentangnya adalah pantulan paradigma yang bersemayam di kepalanya. Refleksi dari prinsip hidup yang dia peluk. Sebuah ajaran tentang kesederhanaan yang sudah banyak ditinggalkan oleh kader-kader HMI. (Rabu, 19/02/2020)

Tuesday, 11 February 2020

Kumandang Sholawat di Cap Go Meh Bogor 2020

Pentas Kebudayaan Cap Go Meh
Dulu aku mengira perayaan Cap Go Meh adalah bagian dari ritual keagamaan dalam Khonghucu. Mungkin karena efek lahir di masa Orde Baru. Saat itu, perayaan Cap Go Meh tidak sebebas sekarang. Hanya di lokasi tertentu saja, itupun hanya diikuti oleh masyarakat Tionghoa. Baru menjelang era Gus Dur perayaan Cap Go Meh bisa dilaksanakan dengan leluasa. Jasa itulah yang membuat Gus Dur diulat sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.

Setelah menyaksikan langsung kemeriahaan Cap Go Meh, perayaan tersebut memang lebih kental sisi kebudayaannya. Bahkan tak jarang disebut sebagai parade seni dan budaya yang dipentaskan secara terbuka. Perayaan tersebut diprakarsai oleh warga keturunan China di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Perhelatan Cap Go Meh sekaligus menandai berakhirnya perayaan tahun baru Imlek bagi masyarakat Tionghoa. Menjelang Cap Go Meh, semarak atribut berwarna merah begitu mendominasi di setiap Pecinan. Tentu saja tak lepas dari kedua Icon khususnya, yakni Barongsai dan arak-arakan Naga (Liong).

Konon mitosnya, warna merah adalah warna yang membawa keberuntungan. Sebab dulu setiap kali panen raya di Tiongkok, masyarakat yang mayoritasnya berbasis agraris kerap didatangi raksasa yang suka memakan hasil panen dan ternak yang mereka miliki. Warna merah adalah warna yang ditakuti oleh sang raksasa. Sehingga warna itulah yang mendominasi hunian warga menjelang panen raya. Selain warna merah, sang raksasa juga takut pada api. Jadilah lampion berwarna merah.

Dibold khusus ya, cuma mitos hehe...

Seiring perkembangan zaman, warna merah dijadikan sebagai salah satu ciri khas perayaan Cap Go Meh. Bahkan syarat simbolik yang sudah dikapitalisasi. Itu juga yang kulihat saat memasuki Pecinan yang terletak di Jl. Surya Kencana, Kota Bogor. Hampir setiap sudut dan fasilitas umum berwarna merah. Seragam panitia, umbul-umbul juga lampion yang menjutai dengan indah. Di sepanjang jalan ini juga, parade seni dan budaya dipertontonkan kepada khalayak umum.

Ibu-ibu dari komunitas Cinta Berkain
Sore itu, aku ikut hanyut dalam lautan manusia. Kutaksir mungkin mencapai puluhan ribu pengunjung yang datang dari berbagai daerah. Aku berangkat bersama komunitas Blogger. Kami diundang sebagai tim media dan publikasi. Berbekal ID Card, kami punya akses langsung untuk menyaksikan Bogor Street Festival Cap Go Meh 2020 dari dekat.

Sebagai pembuka, kami dijamu dengan Lontong Cap Go Meh. Itu loh, makanan khas imlek yang terkenal lezat. Enak banget!

Tak hanya diramaikan oleh etnis bermata sipit dan berkulit putih, tapi juga disesaki oleh masyarakat lokal. Semuanya Menikmati langsung pertunjukan demi pertunjukan yang dipentaskan oleh komunitas lintas etnis.

Awas kenak bogem! (Sumber: Johanes Jenito)
Mulai dari pementasan musik bambu dari Sanggar Andika, Angklung dan Long Dance, ada juga persembahan dari komunitas Cinta Berkain yang didominasi emak-emak gaul yang terlihat begitu anggun dalam balutan busana serba merah, dan masih banyak lagi. Tak kurang seribu penampil yang unjuk gigi. Meriah.

Melalui Cap Go Meh inilah, seluruh elemen masyarakat di Kota Bogor berkumpul dan bersukacita menjaga tali persaudaraan antar etnis di tengah keberagaman. Ruang ekspresi tahunan bagi masyarakat untuk merayakan perbedaan. Wajar jika momen ini mengangkat tajuk sebagai Ajang Budaya Pemersatu Bangsa.
Serba Merah, Termasuk Salon Kencana & Teh Pucuk
Brand ternama ikut ambil bagian (Sumber: Yusran Darmawan)
Sekali tiga uang, momen tersebut juga dijadikan ajang untuk mendongkrak pendapatan daerah bagi pemerintah setempat. Kunjungan wisatawan membludak, memenuhi tiap-tiap hotel di kota Bogor. Ia serupa gadis cantik yang banyak mencuri perhatian masyarakat dunia. Semacam gravitasi yang menghisap banyak wisatawan. Bahkan brand produk-produk ternama tak mau ketinggalan ikut ambil bagian. Menanamkan pesan-pesan konsumtif dalam benak hadirin.

Pemandangan tersebut sekaligus menguatkan fakta bahwa Cap Go Meh sudah sangat intim saling mengawini dengan adat nusantara. Tak lagi murni milik peranakan China. Tak lagi seratus persen sebagai ritual keagamaan, atau perayaan yang hanya bisa disaksikan oleh keluarga kerajaan yang tinggal di Istana sebagaimana sejarahnya dahulu di bumi Tiongkok. Ia sudah menjadi pesta rakyat yang bisa dinikmati semua masyarakat.

Aku senang bisa menyaksikan perayaan Cap Go Meh secara langsung. Sembilan tahun tinggal di Bogor, ini kali pertamanya aku merasakan perhelatan budaya lintas etnis ini. Bersama beberapa kawan Blogger, kami memburu gambar dan aksara di setiap sudut Jl. Surya Kencana. Pementas yang atraktif dengan iringan musik-musik tradisional adalah objek yang memanjakan hasrat pengunjung. Bidikan kamera membajiri tiap penampilan.

Aura kegembiraan terpancar jelas dari raut wajah para pengunjung. Semuanya berbahagia tanpa terkecuali. Namun dari semua penampilan yang meriah tersebut, ada dua momen yang masih membekas dalam diriku. Doa pembuka oleh tokoh lintas agama serta persembahan Sholawat beriring hadroh dari Pemuda Pulo Geulis. Apakah semua penampil murni berangkat dari niat tulus untuk merayakan perbedaan atau datang karena undangan dari tim kreatif panitia penyelenggara lengkap beserta imbalannya?

Sunday, 9 February 2020

Mengenang Amril S. Rangkuti, Sosok Senior yang Peduli & Mengayomi

Usai penutupan LKK Cabang Bogor
Tiga hari lalu, tepatnya Kamis, 06 Februari 2020, salah satu senior HMI Cabang Bogor, Bang Amril Syaputra Rangkuti, kembali ke pangkuan yang Maha Kuasa. Aku, Roni dan Malik sempat menemaninya di hari pertama masuk rumah sakit (31/01). Namun menjelang tengah malam, aku pulang duluan untuk berkemas. Karena besoknya harus berangkat ke pulau Seribu bersama Bang Qustam.

Lima hari kemudian, saat kembali dari Pulau, aku berniat membesuknya lagi. Namun mendengar kondisinya telah membaik, bahkan sudah diperbolehkan pulang ke rumah, niat itu kuurungkan. Besok saja langsung main ke rumahnya, pikirku.

Tanpa pernah kusangka, aku sudah melewatkan satu-satunya kesempatan terakhir untuk bertemu dengannya. Aih....

Keesokan hari, samar kudengar suara bibi yang bekerja di rumah Bang Amril, menangis terbata-bata saat menghubungi Roni.

“Baang, Baapaaak bang... Bapaaaak bang, sudah gak ada...” ucap Bibi dengan suara gemetar.

Deg! Aku tak mau langsung percaya begitu saja. Kukonfirmasi sekali lagi ke Roni. Namun kalimat yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang sangat tidak ingin kudengar. “Bang Amril meninggal wak...” ucapnya dengan shock.

"Innalillahi wainna ilahi roojiuuun..." lirihku. Seketika pikiranku begitu kusut. Panas. Seperti ada tekanan dari dalam kepala.

***

Mei 2016, Matahari bersinar terik. Lalu lalang kendaraan begitu rapat memadatani jalanan. Seperti air yang selalu mencari sela-sela terkecil untuk mengalir. Ya, akhir pekan memang waktunya liburan bagi masyarakat perkotaan. Rehat sejenak sebelum kembali berhadap-hadapan dengan deadline kerja.

Saat itu, kupacu motorku untuk menghadiri acara diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh KAHMI-ICMI Bogor. Pembicaranya Prof. Asep Saepudin. Di sanalah aku menyempil. Duduk bersama orang-orang hebat.

Saat diskusi hendak ditutup dan dilanjut foto bersama. Sebuah suara memanggilku dengan antusias.

Diskusi perkaderan bersama KAHMI, 2016.
“Dek, ngapain bediri di sana. Sinilah gabung, ikut foto bersama,” ucap lelaki berkoko putih lengan pendek. Mukanya ditumbuhi janggut dan kumis yang tercukur rapi. Dialah Bang Amril. Sekum KAHMI sekaligus pembawa acara saat itu.

Akhirnya dengan rasa sungkan dan tak enakan, aku mendekat malu-malu. Itupun hanya berani mengambil posisi paling pojok. Aku belum PeDe. Maklum, kebanyakan pastisipannya senior-senior sepuh yang sudah Profesor, ditambah lagi belum banyak yang kukenal.

Seingatku, itulah momen awal komunikasi langsung dengan bang Amril.

Sejak itu, hampir setiap waktu aku menjumpainya. Terutama di acara-acara HMI dan KAHMI. Puncaknya, ketika aku diamanihi tanggungjawab sebagai Ketum Cabang. Silaturrahmi makin intens. Dia selalu siap jika kami minta bertemu. Entah itu di kantor, di rumah bahkan dimanapun selagi masih bisa dijangkau.

Tentu saja, setiap pertemuan, aku selalu merepotkannya. Khususnya tentang aktivitas yang berkaitan dengan organisasi HMI. Mulai dari kegiatan, pendanaan dll. Tak sekadar mendengar keluh-kesah, Bang Amril sosok senior yang sigap menyambungkan ke beberapa pihak yang kiranya bisa membantu menyelesaikan masalah, jika kebetulan dia tidak mampu mengatasinya sendiri.

Aku jadi teringat ucapan Bang Auhadillah, sosok bang Amril laksana jembatan. Aku membenarkan.

Dia adalah penghubung antar generasi. Tali penyambung komunikasi. Dialah sosok yang bisa menjembati kepentingan junior-senior, entah itu di HMI, IPB dan kupikir di semua ruang sosial yang ada dia di dalamnya.

Sebetulnya di beberapa keadaan, bisa saja kami membangun komunikasi langsung (slonong boy) dengan senior sepuh cabang Bogor. Hampir semua nomor HP-nya kami punya. Namun sering kali kami coba, perhatian dan waktu mereka kerap susah ditembus. Baru setelah dibuka oleh Bang Amril, semuanya jadi lebih mudah.

Kesini-sini, aku baru paham, proses demikian tidak terjadi dengan sendirinya. Ada waktu yang diwakafkan. Ada banyak ruang yang dia sengajakan. Dia selalu punya inisiatif lebih untuk membangun hubungan persaudaraan.

Bang Amril sosok yang rajin merajut komunikasi atas bawah. Lintas generasi, lintas angkatan bahkan lintas kalangan.

Daya tahan serta mobilitasnya, bisa kukatakan di atas rata-rata. Selain itu, dia tak sungkan melakukan hal-hal kecil yang dianggap remeh oleh kebanyakan orang.

Misal, memberi ucapan selamat untuk rekan sejawat atau adik-adik yang sedang berbahagia ataupun berduka. Mulai dari wisuda, lahiran anak, pencapaian prestasi, pernikahan atau momen sejenisnya. Bahkan dia mau meluangkan waktu, sekedar menjapri dengan nama khusus ke tiap-tiap individu yang ada di HP-nya. Termasuk ke adik-adik. Momen apapun itu. Apalagi menjelang bulan puasa.

Hal sederhana tapi sangat bermakna. Ada selipan penghargaan. Terpantul bayang perhatian di dalamnya. Radar sensitivitasnya menembus dinding-dinding personal.

Dia pandai menyentuh sisi kemanusiaan yang jarang dijamah banyak orang. Eksistensi. Pengakuan tentang keberadaan. Personal touch. Sumpah, itu sangat berkesan bang!

Dia juga tak sungkan direpotkan oleh kader-kader untuk urusan akademik. Entah itu nilai kuliah yang bermasalah, SPP yang menunggak, pun terkait asmara. Aku menyaksikan langsung dengan mata telanjang untuk perkara-perkara di atas. Sekali lagi, jika kunci penyelesaian bukan padanya, dia selalu setia untuk mengawal dan mencarikan solusinya.

***

Ah, bang, bang... Begitu cepat rasanya. Abang pergi saat usia dan karir sedang produktif-produktifnya. Sungguh belum bisa kucerna, jika kami tak lagi punya kesempatan untuk sekedar ngopi dan berkeluh kesah padamu.

Belum lagi jika terbayang tiga orang prasasti cintamu bersama kak Dwi. Juna, Kyla dan Satria. Mereka masih mungil dan lucu-lucunya. Sedih rasanya, membayangkan mereka tumbuh dan besar tanpa kehadiran abang.

Aku sepakat ucapan Bang Refli, Kami sekeluarga besar HMI Bogor punya tanggung jawab untuk menggantikan peran abang kedepannya.

Huft... Hidup memang penuh misteri. Ada beragam kisah dengan ending yang tidak bisa ditebak. Kami masih hafal nadamu menyebutkan "Atelele" bang. Tawamu masih terdengar renyah dalam ingatan. Logat Medanmu yang kental dengan suara "khas" masih terekam jelas bang. Apalagi tagline sticker WhatsApp-mu "Sing Penting Akur", sukses membuat kami terkekeh.

Kini, semua itu hanya bisa kami putar lewat keping nostalgia saja. Tak bisa lagi kami rasakan langsung. Sedih. Serasa ada ruang hampa yang tak satupun bisa mengisinya. Kami kehilangan. Abang sudah menghadap sang Pencipta lebih dulu dengan tenang. Abang orang baik. Semoga Allah memberikan abang tempat terbaik di sisi-Nya.

Cepat atau lambat, kami bakal menyusulmu bang. Berjalan menapaki langkah demi langkah menuju titik akhir kehidupan. Hingga pada waktunya, siap-tak siap semua manusia harus melewati pintu gerbang satu-satunya bernama kematian. Kami hanya sedang menunggu giliran.

Malam ini, kuketik sedikit kenangan ini di Balkon GSMI bang. Sekretariat HMI Cabang Bogor. Tepat di Sofa tempat abang pernah duduk saat menengok kami di suatu malam. Selamat jalan bang. Al-Faatihah...

Wednesday, 5 February 2020

Susahnya Naik "Motor" di Kepulauan Seribu

Habis nyoba nyalain "Motor"
Saat bertandang ke pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, mataku begitu akrab dengan orang-orang yang mengarungi laut lepas. Begitupun saat menambatkan kapal di Darmaga, ada begitu banyak kapal lengkap dengan alat penangkap ikan yang memadati sela-sela bibir pantai. Satu kesimpulan umum yang bisa kutarik, mayoritas mayarakat yang mendiami gugusan Pulau Seribu berprofesi sebagai nelayan.

Walau hanya sebentar berkunjung ke kawasan Pulau Seribu ada banyak pengetahuan baru yang kudapatkan. Setelah kuperhatikan, skill paling mendasar bagi seorang nelayan adalah mengendarai “motor”. Yup, kapal air yang saban hari mereka pakai untuk melaut lebih dikenal sebagai “motor”. Hingga kini, motor air tetap memiliki peran besar dalam menggerakkan denyut nadi masyarakat di sana. Entah itu demi keperluan mencari ikan, perdagangan ataupun pengiriman barang kebutuhan pokok. Lautan adalah jalur utama mobilitas bagi semua penduduk pulau seribu. Bukan sebagai pembatas, mereka memaknai laut justru sebagai penghubung.

Aku sempat melihat dari dekat cara mereka mengendarai motor. Bahkan kuberanikan untuk mencoba. Sayang, karena tidak terbiasa, mesinnya gagal menyala. Setelah puas memutar tali pada mesin yang terdapat dalam tubuh kapal, akhirnya aku menyerah. Belum lagi saat memarkir kapal, seorang nelayan harus sigap mengarahkan kemudi dengan lincah agar tak menghantam badan jalan. Oh ya, salah satu bentuk keramahan antar para nelayan, bisa juga dilihat dari praktik saling menyambut tali kapal saat menepi ke Darmaga.

Skill mengendalikan kapal sekilas terlihat gampang, nyalakan mesin dan arahkan tuas sesuai rute perjalanan yang hendak kita tuju. Setelah menyimak langsung dari nelayan, baru kutahu ternyata kemampuan ini perlu didukung pengetahuan dasar lainnya.

Berada di lautan lepas, sejauh mata memandang, semua sudut terlihat sama. Hamparan perairan hanya dibatasi oleh garis batas antara laut dan langit. Jika tak pandai membaca arah, bisa-bisa seorang nelayan tak mampu menemukan jalan pulang. Karenanya, kemampuan membaca jalur adalah skill pendukung bagi seorang nelayan. Baik itu penandai alam yang terdapat di bawah laut seperti karang, dangkal-tidaknya perairan, ataupun arah angin yang berhembus bebas di atasnya. Angin laut tak perlu dilawan, asal tahu jenis dan waktunya berhembus, ia bisa jadi sahabat yang membuat nelayan lebih produktif. Aih detailnya...

Aku sendiri, jangankan mampu membaca tanda saat mengendarai kapal, bahkan ketika berenang saja  mataku kurang jeli melihat karang. Beberapa kali kakiku terantuk terumbu karang saat mengapung di perairan Semak Daun. Aku makin mengerti makna “Pelaut yang tangguh dilahirkan dari ombak yang besar” dalam arti yang sebenarnya. Sosok demikian pastilah tak hanya pandai mencerna pesan alam, tapi juga mahir menari dalam badai!

Sekilas, banyak pesan tersirat dalam gurat para nelayan yang kutemui. Salah satunya Pak Kardi, nelayan yang berasal dari Pulau Panggang. Hampir sebagian besar hari-harinya dihabiskan dengan melaut. Baginya, laut adalah mata air rezeki yang amat berarti. Mata pencaharian yang mereka geluti untuk menyambung hidup sehari-hari. Tentu bagi Pak Kardi dan nelayan lainnya, makna lautan lebih luas daripada laut itu sendiri. Bukan sekedar tempat rekreasi sehari-dua hari, atau potensi wisata yang mampu menongkrak pendapatan daerah. Tapi laut adalah hidup dan mati mereka. Aku menyaksikan sendiri, betapa sejengkalpun mereka tak pernah memunggungi lautan.

Ibukota yang diselimuti mendung
Saat ini, permasalahan yang dihadapi nelayan hampir sama dengan masyarakat yang menggantungkan hidup pada pertanian. Wilayah perairan tempat mereka biasa melaut, semakin hari semakin terhimpit oleh kekuatan modal. Tak jarang kita mendengar kisah para nelayan yang harus terusir, karena lokasi yang biasa dijadikan untuk mencari ikan, sudah masuk dalam zona konservasi terumbu karang. Atau cerita nelayan yang tidak lagi bisa berteduh pada satu pulau akibat kepemilikannya sudah beralih pada individu dan pihak swasta. Ah, kenapa kisah-kisah pilu itu selalu saja mengantui orang-orang kecil.

Hari ini, adalah hari terakhir bagiku merasakan deru angin dan ributnya ombak laut. Pagi sekali aku dan seniorku, Qustam pergi meninggalkan perairan Semak Daun dengan menumpang motor air Pak Kardi. Kami akan kembali bertegur sapa dengan suasana metropolitan lengkap beserta polutannya.

Sungguh, menjelahi dan memotret Pulau Seribu adalah pengalaman menyaksikan dengan mata telanjang, perihal mosaik kekayaan alam Indonesia. Upaya memperkaya pengetahuan tentang keberagamaan dimensi kemanusiaan. Realitas kebaharian, orang pulau dengan berbagai persoalan dan harapannya. Mudah-mudahan kita bisa bersua lagi di lain kesempatan. Sampai jumpa!


Tuesday, 4 February 2020

Program Sea Farming: Percontohan Budidaya Bagi Masyarakat Pesisir

Sumber Gambar: PKSPL-IPB
Jika ada yang bertanya, siapakah yang mengawali budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di kepulauan Seribu, maka barangkali Balai Sea Farming PKSPL-IPB adalah jawabannya. Dimulai tahun 2004, PKSPL menginisiasi kerjasama dengan beberapa pihak termasuk Pemerintah DKI Jakarta dan masyarakat setempat.

Tak bisa dipungkiri, sebagian besar penduduk Kepulauan Seribu menggantungkan kehidupan pada laut. Bahkan sejak lahir, mereka sudah dikenalkan dengan deburan ombak dan mendengar langsung deru angin laut. Ingatan masa kecil mereka adalah himpunan kisah antara manusia dan geliat alam pesisir. Wajar jika di banyak kesempatan, mereka menamai identitasnya sebagai orang "Pulo".

Saat melintasi beberapa kawasan di kepulauan Seribu, aku melihat kapal-kapal nelayan yang tersanggat di Darmaga. Begitupun ketika menyebrang ke Pulau Panggang, terlihat motor air yang lalu lalang di tengah perairan. Mereka asik dengan aktivitas melautnya. Betapa hamparan laut merupakan ruang hidup yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari mereka.

Aku teringat ucapan kawanku, seorang peneliti di kampus IPB, "Pemerintah kadang salah kaprah. Demi melindungi karang dan ekosistem lautan, mereka kerap memberlakukan batas-batas zona kawasan bagi masyarakat. Dalihnya konservasi. Eko-sentris sekaligus abai terhadap ruang aktivitas nelayan yang makin terbatas," ucapnya.

Sebelum budidaya air laut marak seperti sekarang, nelayan kepulauan Seribu masih mengandalkan ikan tangkapan dengan gaya lama. Pergi melaut dengan seperangkat alat berupa jaring, bubu dan pancing. Tak jarang, ada juga yang mengunakan potas agar tangkapan lebih banyak dan mudah. Kawanku mengistilahkannya dengan nelayan pemburu.

Namun tidak paska adanya Balai Sea Farming. Saat dibuka 2004 silam, Program budidaya air laut ini melibatkan puluhan masyarakat pesisir sebagai anggota. Lambat laun mereka belajar bagimana cara memaksimalkan lautan dengan proses budidaya. Tanpa perlu melaut seharian, tanpa perlu terdesak oleh aturan konservasi, mereka dengan leluasa memanen hasil budidadaya.

Sejak berdiri, Balai Sea Farming sudah melakukan percontohan budidaya Ikan Kerapu, Ikan Kakap Putih dan Udang Vanname. Dalam waktu dekat, bakal menyusul percontohan budidaya lobster di kawasan Pulau Panggang.

Hingga kini, berkat pendampingan yang diberikan Sea Farming, masing-masing anggota sudah mulai melakukan budidaya hasil laut secara mandiri. Di beberapa kawasan perairan laut dangkal yang tersebar di kepulauan Seribu, terlihat Keramba Jaring Apung milik masyarakat setempat.

Bisa dikatakan, proses budidaya ikan di lautan lepas adalah titik temu antara program konservasi perairan tanpa perlu menanggalkan ruang hidup masyarakat pesisir.

Terlepas asumsi ikan di laut yang tidak akan habis, aku pribadi lebih mengacu pada pemahaman, apapun itu pasti ada batasnya. Termasuk ikan dan biota lainnya. Jika diambil terus menerus pasti ludes juga. Nah, proses budidaya ikan adalah jalan memaksimalkan sumber daya kelautan.

Ikan Pari Masuk Bubu
Saat bertandang ke Perairan Semak Daun, Aku berkesempatan melihat langsung proses budidaya ikan kerapu di Balai Sea Farming. Ada ribuan Kerapu jenis Cantang dengan ukuran rata-rata 18 centimeter. Perlu waktu tujuh bulan agar siap panen untuk ukuran 500 gram. Harganya kisaran Rp. 320.000/Kg. Tinggal kalikan saja semua jumlah ikan dengan harga jual. Omsetnya menggiurkan bos!

Berdiri di atas Keramba yang mengapung di atas lautan, membuatku tertantang untuk merasakan langsung sensasi berenang di laut lepas. Dengan bermodal kamacamata renang milik Atilah, Teknisi PKSPL-IPB yang tinggal di Balai Sea Farming, Bbyuuurrr!

Sayangnya, karena peralatan kurang lengkap, aku tak bisa leluasa menyelam lebih dalam. Telingaku pekak. Nafas juga tidak kuat. Walau demikian, beberapa terumbu karang sempat juga kusaksikan. Setidaknya, pengalaman yang secuil itu bisa menambah sudut pandang kebaharianku. Setelah puas menyelam, aku langsung tancap gas ke balai penginapan, makan ikan Pari.