Daftar tokoh yang kukagumi bertambah satu orang lagi. Proses perkenalan
imajiner ini, diawali dari buku. Yah… Baru saja kuselesaikan buku tentang
perjalanan seorang pahlawan bangsa, yang sengaja dilupakan oleh sejarah, dalam
hal ini Orde Baru. Tan Malaka, dialah orangnya. Perkenalanku dengan tokoh yang
satu ini sudah cukup lama, tepatnya ketika pulang liburan ‘aliyah dikala
nyantri. Kala itu ada sebuah buku yang tregeletak di kamar, yang kutahui itu
adalah salah satu buku bacaan sak[1]
ku. Dalam buku tersebut aku tahu bahwa Tan Malaka merupakan salah satu pahlawan
Indonesia. Hanya sebatas itulah yang ku ingat. Maklum saat itu minatku tidak
terlalu kuat untuk mengetahui yang model begituan. Aku masih disibukkan dengan
novel-novel fiksi karya Habiburrahman dkk.
Dan perjumpaan selanjutnya, terjadi ketika aku bergabung ke
perhimpunan. Banyak dari teman-teman yang menyarankan membaca salah satu karya
beliau yakni, Madilog. Heranku pu mulai tergelitik. Ada apakah gerangan dengan tokoh
yang satu ini? Apa kelebihannya sehingga begitu banyak teman-teman dalam
perhimpunan yang menyebut-nyebut namanya. Bahkan tak jarang pola pikir dan
perkataannya sering dikutip oleh teman-teman perhimpunan. “Dari dalam kubur
suaraku akan terdengar lebih keras dibanding di atas bumi” itulah salah satu
kalimat yang fenomenal di kalangan perhimpunan. Akhirnya penasarkupun tak bisa
bisa dibendung lagi. Madilogpun mulai kulahap dan akupun mulai terpesona dengan
tarian-tarian pemikiran dan pergerakannya. Aku terkagum-kagum dengan
kegemarannya dalam membaca dan begitu
cintanya dia terhadap buku-buku. Dalam buku tresebut digambarkan bagaimana
perjuangannya membaca buku dalaam lubang-lubang sempit agar terhindar dari pantauan
tentara. Aku takjub dengan caranya
memahami buku. Dia punya senjata yang bernama ‘jembatan keledai’. Pegetahuan
yang ia dapat dari buku ia bentuk dengan pola singkatan sedemikian rupa,
sehingga mudah diingat dan bisa dijelaskan secara runut. Sungguh begitu
menakjubkan… Namun buku tersebut sampai sekarang belum ku tuntantaskan sampai
selesai karena ada bebrapa bagian yang belum bisa kufahami… Tak apalah…
Dan kemarin perjumpaan kami yang ketiga kalipun kembali terjadi.
Ketika mampir ke kamar DKM Andalusia, tak sengaja mataku tertuju pada rak buku
ilo’. Disana kulihat ada sederat buku yang begitu banyak dan dari sekian banyak
buku itu ada beberapa buku yang memikat hatiku lalu kemudian memaksa tanganku
untuk mangambil buku Api Islam, Tan Malaka, Soekarno dan beberapa buku lainnya
yang aku lupa judulnyanya. Setelah memilah dan memilih, aku tertarik pada buku
Tan Malaka & Api Islam. Bukan tanpa alas an aku memilih kedua buku
tersebut. kenapa Tan Malaka, Merajut Msyarakat dan pendidikan Indonesia yang
sosialistis? Karena masih ada rasa
penasaran yang belum terungkap di masa silam. Dan kenapa pilihan selanjutnya
jatuh pada buku Api Islam? Karena aku ingin mempelajari pola hidup dan
perjuangan para pendahulu dalam perhimpunan dimana aku dan teman-teman Tazkia
beraktualisasi sekarang.
Hari minggu pagi, aku sudah menenggelamkan diri dan berburu hikmah
di dalam samudra kehidupanTan Malaka. Seriously…banyak peristiwa-peristiwa masa
silam yang berhamburan di dalam buku tersebut yang langsung melengkapi
puzzle sejarah yang masih
sepotong-sepotong dalam pikiranku. Dari buku tersebut aku baru tahu ternyata
ketika Indonesia mendeklarasikan sebagai Negara Merdeka 17 Agustus 1945, saat
itu Indonesia masih merupakan Republika Indonesia Serikat (RIS) yang memiliki
beberapa Negara bagian Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur,
Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan
Negara Sumatera Selatan serta beberapa wilayah otonom lainnya. Artinya Negara
kita saat itu tidak beda jauh dengan Amerika Serikat, yakni terdiri dari
beberapa Negara bagian[2].
Paska berdirinya RIS, tuntutan masyarakat untuk membuat suatu
Negara kesatuan begitu kuat. Maka melalui perjanjian tiga Negara bagian, yaitu
Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur,
akhirnya RIS pada 17 agustus 1950 dibubarkan. RIS kemudian berganti menjadi
Republik Indonesia (UUD RI) 1950 yang menganut system cabinet parlementar atau
demokrasi. Pada kurun waktu 1950 sampai 1959 ini juga disebut sebagai era
percobaan demokrasi.[3]
Begitulah perkenalan singkatku dengan sang Maestro, Tan Malaka. Penyamar
ulung yang ditakuti Belanda dan pemerintah saat itu. Akhir kata. Buah Durian
banyak duri, cukup sekian sampai nanti…
[1]
Sak: panggilan untuk kakak tertua
[2]
Syaifudin. 2012. Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan yang
Sosialistis. Jogjakarta: Ar-ruzz Media
[3]
Uraian mengenai transisi politik Indonesia dapat dilihat dalam Afan Gaffar, Polotik
Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006)
0 komentar:
Post a Comment