“Membacalah,
jika ingin mengenal dunia”. begitulah sebait kalimat yang pernah saya dengar
namun lupa siapa yang pernah mengatakannya. Hari ini saya mampir ke Gramedia.
Sengaja dengan “nawaitu” yang tidak dibuat buat, “saya ingin membeli buku”.
Tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu buku karangan siapa dan genre apa yang
hendak dibeli, berbekal uang seratus ribu, saya berangkat. Tanpa disadari bahwa
inilah yang beberapa jam kemudian membuatku bimbang sepuluh tiang (modifikasi
pusing tujuh keliling).
Gramedia
yang saya kunjungi berada di dalam mall Botani Square yang lazim kami sebut
dengan “Boker”. Padahal singkatan ini sangat tak elok jika disepadankan dengan
makna yang sebenarnya. Tak perlulah kiranya disebutkan apa maknanya. Namun
berdasarkan pengamatan selama ini, singkatan ini tak sedikitpun mengurangi
nilai estetika Mall dengan etalase segala rupa ini. Dia tetap mampu
mengeluarkan gaya gravitasi tak kalah hebat dengan bumi, menarik siapa saja
untuk melihat-lihat.
Gramedia
menjadi destinasi semua usia. Melihat bejibunnya pengunjung, sangkaan bahwa
minat baca Indonesia yang kurang, sempat terpatahkan. Dari yang muda sampai tua
semuanya tumpah ruah hanyut dalam perburuan buku masing masing.
Ilmu ibarat hewan buruan, sementara tulisan adalah tali. Maka ikatlah ilmumu dengan tulisan. itulah sebait kalimat penyair Arab yang sangat tenar ketika di pesantren dulu, dan Gramedia adalah tempat pameran ilmu dengan segala rupa itu. Tempat dimana ilmu hasil buruan para penulis ditampilkan. Lengkap dengan segala macam konsentrasi. Inilah ilmu-ilmu yang sempat diikat oleh para pemburu intelektual.
Ilmu ibarat hewan buruan, sementara tulisan adalah tali. Maka ikatlah ilmumu dengan tulisan. itulah sebait kalimat penyair Arab yang sangat tenar ketika di pesantren dulu, dan Gramedia adalah tempat pameran ilmu dengan segala rupa itu. Tempat dimana ilmu hasil buruan para penulis ditampilkan. Lengkap dengan segala macam konsentrasi. Inilah ilmu-ilmu yang sempat diikat oleh para pemburu intelektual.
Saya berniat
menjelajah dari satu rak ke rak lain. Namun gaya gravitasi dari setiap rak
begitu kuat. Baru saja masuk dari pintu utama gramedia, mata saya langsung
mengarah pada jejeran buku-buku best seller. Berpindah dari satu buku ke buku
yang lain. Melihat covernya saja, saya sudah jatuh hati. Salah satunya, buku Titik
Nol yang dikarang oleh agustinus wibowo, salah seorang penulis perjalanan. Buku-bukunya
banyak bercerita mengenai petualangannya ke berbagai negara seperti Mongolia,
Pakistan, Turkmenistan, Kirgistan dan banyak yang lainnya.
Gramedia
hari ini begitu ramai. Apalagi rak buku komik dan buku pelajaran. Bisa jadi
musababnya karena pembukaan ajaran tahun baru. Sehingga pengunjung meningkat
drastis. Saya salah satunya. Biasanya, Gramedia selalu menyajikan satu buku
yang sudah dibuka bungkusnya agar pengunjung bisa melihat-lihat isinya. Hal ini
ditujukan untuk membuat pelaggan tertarik untuk membeli. Namun jika kita mau
berlama-lama dan berniat meluangkan waktu berjam-jam, gramedia bisa menjelma
menjadi perpustkaan dengan koleksi buku yang baru yang tak terhitung jumlahnya.
Inilah yang saya lakukan.
Melihat satu
persatu buku yang menurut saya menarik. Lalu membacanya sekilas dan menjatuhkan
pilihan pada buku yang kira-kira memang saya butuhkan. Namun saya bingung.
Bukan karena tak menemukan apa yang dicari, tapi ada banyak sekali buku yang
rasa-rasanya masuk dalam list kebutuhan saya. Bahkan kebutuhan yang sudah lama
terkubur kembali bangkit.
Yah, sosok
itu bernama tafsir Al-Azhar karangan Buya Hamka, Tafsir al Misbah karangan
Quraish Syihab, Bulughul Maram berserta terjemahannya, dan Bukua Riyadhus
Sholihin. Sederhananya, membaca ke-empat buku tersebut adalah ikhtiar kita
untuk memahami pedoman hidup dengan lebih mudah. Al-Qur’an dan Al Hadits.
Pada rak
ekonomi, padangan saya melekat pada buku dengan judul “Menuju Indonesia
Berdikari”, begitupun dari rak buku filsafat. Ada buku filsafat islam, filsafat
ilmu dan sejenisnya. Dari buku tokoh filsafat islam, saya ingin sekali mengenal
bagaimana sebenarnya kehidupan tokoh filsafat islam pada zamannya seperti Ibnu
Sina, Ibnu Rusy, Ibnu Arabi dan seperti apa kerangka berfikir dalam islam.
Pada jajaran buku buku best seller, sederatan buku karangan tere liye dan Pramoedya membuat saya berhenti sejenak. Keduanya, melahirkan buku-buku yang banyak peminatnya. Demikian juga buku-buku biografi, dari sosok sebelum masehi sampai yang sedang hits saat ini, semuanya berjejer. Membaca buku biografi seperti membaca pelajaran dan nilai yang hidup. Apalagi jika tokoh dalam buku tersebut sudah kita kenal sebelumnya dan kita mengetahui si tokoh, dia dikenal sebagai apa dan siapa.
Pada jajaran buku buku best seller, sederatan buku karangan tere liye dan Pramoedya membuat saya berhenti sejenak. Keduanya, melahirkan buku-buku yang banyak peminatnya. Demikian juga buku-buku biografi, dari sosok sebelum masehi sampai yang sedang hits saat ini, semuanya berjejer. Membaca buku biografi seperti membaca pelajaran dan nilai yang hidup. Apalagi jika tokoh dalam buku tersebut sudah kita kenal sebelumnya dan kita mengetahui si tokoh, dia dikenal sebagai apa dan siapa.
Sungguh! Semua
buku di atas adalah keinginan yang tidak dibuat-buat. Terbayang suntikan
nutrisi nan sedap jika dibaca, namun sayang, akumulasi harganya, belum sepadan
dengan amunisi perburuan. Walhasil, saya hanya hijrah dari satu rak ke rak yang
lain. Menjajal rasa tulisan hasil racikan para pakar walau sebentar. Bagi kawan
kawan yang punya rekomendasi toko buku yang pas dengan kantong mahasiswa,
bisalah dibagi alamatnya. hehe
Untuk
memaksimalkan waktu yang terbatas biasanya, saya akan melihat testimoni di
cover belakang. Lalu kata pengatar penulis dan dilanjutkan dengan daftar isi.
Setidaknya dari ketiga hal tersebut kita
sudah bisa membayangkan apa kira kira yang akan dibahahas dalam buku ini. Setiap bab dan sub bab, biasanya sudah
menggambarkan peta pembahasan. Jika ada judul yang menggelitik pada sub judul
tertentu, baru saya akan membacanya. Semisal judul buku yang membahas “produk
Indonesia yang mendunia.” Tentu secara spontan dalam benak kita akan muncul
pertanyaan, “memang produk apa saja ya?” inilah modal awal harus kita punya
sebelum kita untuk menyerap isinya. Setiap pertanyaan yang menemukan jawaban
adalah satu dahaga yang telah terpuaskan. Semakin banyak dahaga yang terpuaskan
maka yang jual minuman semakin girang. (Bah! Cam mana pula :D)
Semua
pengunjung sedang berusaha mencari buku yang bisa menjawab nafsu intelektual
mereka. Mimik muka aneka rupa berseliweran dimana mana. Saat menemukan buku
yang dicari, tiba-tiba mencuat gejolak emosi yang mengubah muka datar menjadi
bahagia. Mereka dengan girang membawa buku dan bergabung dalam barisan antrean
pembayaran di meja kasir. Banyangan tentang percumbuan dengan buku yang baru
saja dibeli sudah menanti. Inilah destinasi intelektual bernama Gramedia.
0 komentar:
Post a Comment