Sumber ilustrasi: liputan6.com |
Dulu sebelum Indonesia merdeka, pendidikan hanya bisa diakses oleh kalangan elit. Baik zaman Portugis, Belanda ataupun Jepang. Sama sama melanggengkan kebodohan bagi rakyat kebanyakan. Bangku sekolah seperti barang mewah. Sifatnya eksklusif dan diskriminatif. Diberlakukan berdasarkan kelas sosial, terutama ras. Inlander adalah masyarakat kelas dua setelah Nederlander. Hanya pribumi kelas pejabat yang diberi kesempatan mengecap pendidikan.
Kebijakan setali tiga uang yang diterapkan oleh penjajah, membiarkan negara koloni tetap tunduk dalam kebodohan dengan maksud mengelimir pemberontakan. Mereka diarahkan untuk menjadi pekerja kasar dengan imbalan minim. Sementara kelas elit pribumi dirangkul untuk dijadikan kaki tangan mengurusi hal-hal teknis pemerintahan.
Mafhum saja jika sekolah yang ditawarkan tidak variatif bahkan disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Mulai dari fakultas pertanian, tehnik dan hukum. Karena bidang keilmuannya memang diarahkan untuk menghandle administrasi dan kebutuhan industri negara penjajah. Jadi tidak ada hal istimewa dari proses pendidikan yang dijalani. Hanya sekedar mengisi kepala dengan hal-hal teknis untuk dikerjakan. Pendidikan mekanistik. Sudah begitu, aksesnya dibatasi pula.
Berangkat dari kecemburuan, lalu lahirlah sekolah tandingan yang didirikan oleh pribumi. Kiai Dahlan dengan sekolah Muhammadiyah. Ki Hajar Dewantara dengan sekolah Taman Siswa. Tan Malaka dengan Sekolah Rakyat, lalu ada pesantren dan lain lain. Kesamaan sekolah-sekolah di atas, yakni kemudahan akses karena tidak beroerientasi pada keuntungan. Tidak pandang kelas sosial. Serta hadir dengan semangat nasionalisme.
Jadi, kalo biaya pendidikan hari ini terlalu mahal, sulit dijangkau, kira-kira sama tidak seperti sekolahannya para penjajah?
Baca juga: 40 Kutipan Buku Berpikir & Berjiwa Besar
0 komentar:
Post a Comment