Wednesday 5 February 2020

Susahnya Naik "Motor" di Kepulauan Seribu

Habis nyoba nyalain "Motor"
Saat bertandang ke pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, mataku begitu akrab dengan orang-orang yang mengarungi laut lepas. Begitupun saat menambatkan kapal di Darmaga, ada begitu banyak kapal lengkap dengan alat penangkap ikan yang memadati sela-sela bibir pantai. Satu kesimpulan umum yang bisa kutarik, mayoritas mayarakat yang mendiami gugusan Pulau Seribu berprofesi sebagai nelayan.

Walau hanya sebentar berkunjung ke kawasan Pulau Seribu ada banyak pengetahuan baru yang kudapatkan. Setelah kuperhatikan, skill paling mendasar bagi seorang nelayan adalah mengendarai “motor”. Yup, kapal air yang saban hari mereka pakai untuk melaut lebih dikenal sebagai “motor”. Hingga kini, motor air tetap memiliki peran besar dalam menggerakkan denyut nadi masyarakat di sana. Entah itu demi keperluan mencari ikan, perdagangan ataupun pengiriman barang kebutuhan pokok. Lautan adalah jalur utama mobilitas bagi semua penduduk pulau seribu. Bukan sebagai pembatas, mereka memaknai laut justru sebagai penghubung.

Aku sempat melihat dari dekat cara mereka mengendarai motor. Bahkan kuberanikan untuk mencoba. Sayang, karena tidak terbiasa, mesinnya gagal menyala. Setelah puas memutar tali pada mesin yang terdapat dalam tubuh kapal, akhirnya aku menyerah. Belum lagi saat memarkir kapal, seorang nelayan harus sigap mengarahkan kemudi dengan lincah agar tak menghantam badan jalan. Oh ya, salah satu bentuk keramahan antar para nelayan, bisa juga dilihat dari praktik saling menyambut tali kapal saat menepi ke Darmaga.

Skill mengendalikan kapal sekilas terlihat gampang, nyalakan mesin dan arahkan tuas sesuai rute perjalanan yang hendak kita tuju. Setelah menyimak langsung dari nelayan, baru kutahu ternyata kemampuan ini perlu didukung pengetahuan dasar lainnya.

Berada di lautan lepas, sejauh mata memandang, semua sudut terlihat sama. Hamparan perairan hanya dibatasi oleh garis batas antara laut dan langit. Jika tak pandai membaca arah, bisa-bisa seorang nelayan tak mampu menemukan jalan pulang. Karenanya, kemampuan membaca jalur adalah skill pendukung bagi seorang nelayan. Baik itu penandai alam yang terdapat di bawah laut seperti karang, dangkal-tidaknya perairan, ataupun arah angin yang berhembus bebas di atasnya. Angin laut tak perlu dilawan, asal tahu jenis dan waktunya berhembus, ia bisa jadi sahabat yang membuat nelayan lebih produktif. Aih detailnya...

Aku sendiri, jangankan mampu membaca tanda saat mengendarai kapal, bahkan ketika berenang saja  mataku kurang jeli melihat karang. Beberapa kali kakiku terantuk terumbu karang saat mengapung di perairan Semak Daun. Aku makin mengerti makna “Pelaut yang tangguh dilahirkan dari ombak yang besar” dalam arti yang sebenarnya. Sosok demikian pastilah tak hanya pandai mencerna pesan alam, tapi juga mahir menari dalam badai!

Sekilas, banyak pesan tersirat dalam gurat para nelayan yang kutemui. Salah satunya Pak Kardi, nelayan yang berasal dari Pulau Panggang. Hampir sebagian besar hari-harinya dihabiskan dengan melaut. Baginya, laut adalah mata air rezeki yang amat berarti. Mata pencaharian yang mereka geluti untuk menyambung hidup sehari-hari. Tentu bagi Pak Kardi dan nelayan lainnya, makna lautan lebih luas daripada laut itu sendiri. Bukan sekedar tempat rekreasi sehari-dua hari, atau potensi wisata yang mampu menongkrak pendapatan daerah. Tapi laut adalah hidup dan mati mereka. Aku menyaksikan sendiri, betapa sejengkalpun mereka tak pernah memunggungi lautan.

Ibukota yang diselimuti mendung
Saat ini, permasalahan yang dihadapi nelayan hampir sama dengan masyarakat yang menggantungkan hidup pada pertanian. Wilayah perairan tempat mereka biasa melaut, semakin hari semakin terhimpit oleh kekuatan modal. Tak jarang kita mendengar kisah para nelayan yang harus terusir, karena lokasi yang biasa dijadikan untuk mencari ikan, sudah masuk dalam zona konservasi terumbu karang. Atau cerita nelayan yang tidak lagi bisa berteduh pada satu pulau akibat kepemilikannya sudah beralih pada individu dan pihak swasta. Ah, kenapa kisah-kisah pilu itu selalu saja mengantui orang-orang kecil.

Hari ini, adalah hari terakhir bagiku merasakan deru angin dan ributnya ombak laut. Pagi sekali aku dan seniorku, Qustam pergi meninggalkan perairan Semak Daun dengan menumpang motor air Pak Kardi. Kami akan kembali bertegur sapa dengan suasana metropolitan lengkap beserta polutannya.

Sungguh, menjelahi dan memotret Pulau Seribu adalah pengalaman menyaksikan dengan mata telanjang, perihal mosaik kekayaan alam Indonesia. Upaya memperkaya pengetahuan tentang keberagamaan dimensi kemanusiaan. Realitas kebaharian, orang pulau dengan berbagai persoalan dan harapannya. Mudah-mudahan kita bisa bersua lagi di lain kesempatan. Sampai jumpa!


0 komentar:

Post a Comment