Kata insan dan manusia sebenarnya memiliki arti yang sama[1]. Jika dalam tulisan ini digunakan kata Sumber Daya Insani dan
bukan Sumber Daya Manusia, hal ini untuk mengingatkan bahwa dalam islam dikenal
adanaya konsep Insan Kamil, atau manusia seutuhnya. Iqbal, seorang filosof
muslim berpendapat bahwa insan kamil adalah mukmin yang dalam dirinya terdapat
kekuatan wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat mulia ini tergambar
dengan jelas pada pribadi Nabi SAW.
Amanah yang dipegang seorang manajer SDI selain meningkatkan
produktifitas karyawan untuk mencapai laba perusahaan yang maksimal juga mengantarkan
karyawan melalui pekerjaanya menuju makom insan kamil yang diridhoi Allah SWT.
Sebagaimana kita ketahui bahwa rujukan kita umat islam adalah
al-Qur’an, baru kemudian hadits dan setelah itu ijtihad ulama. Oleh karena itu,
pengelolaan SDI pun harus mengacu pada sumber-sumber ini. Pada saat nabi
Muhammad membawa ajaran islam tahun 570 M pastinya revolusi industri belum
terjadi sehingga usaha-usaha berskala besar belum ada. Sehingga negara dikenal
sebagai organisasi terbesar saat itu. Sedangkan saat ini organisasi besar
adalah perusahaan multinasional yang tidak jarang memiliki asset melebihi PDB
(produk Dometik bruto) suatu Negara. Jarak waktu yang memisahkan kita dengan
rosulullah SAW, ditambah dengan kondisi dan situasi yang telah jauh berbeda,
menuntut kepiawaian tersendiri dalam menerjemahkan manajemen SDI saat ini.
Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah dibekali dengan
kehendak bebas, rasionalitas, dan kesadaran moral. Semua ini dikombinasikan
dengan kesadaran ke-Tuhanan yang inheren sehingga manusia dituntut untuk hidup
dalam kepatuhan dan ibadah kepadanya. Semua sumber daya yang ada ditangan
manusia tidak lain adalah suatu amanah, oleh karena itu sebagai kholifah (wakil
Allah), manusia akan dituntut suatu pertanggung jawaban amanah di akhirat
kelak. Bagi mereka yang berbuat baik maka mereka akan memetik kebaikan pula.
QS. Az Zilzaal (9) : 7-8 menyebutkan. “Barangsiapa mengerjakan kebaikan, meskipun seberat zarrah, akan dilihatnya balasan kebaikan itu. Barangsiapa mengerjakan kejahatan, meskipun seberat zarrah, akan dilihatnya balasan kejahatan itu.” Artinya, jika kita bekerja dengan baik sesuai dengan tuntunan-Nya akan mendapatkan ganjaran; sebaliknya jika bekerja dengan tidak baik kita juga akan menerima ganjarannya. Hal ini berlaku pula dalam tugas mengelola sumber daya insani yang dimiliki organisasi, oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengetahui bagaimana manajemen yang baik dan sesuai dengan tuntunan syaria’ah.
B.
Bekerja
Sebagai Kewajiban
Bagi islam bekerja adalah sebuah kewajiban, setiap muslim yang
mampu bekerja harus bekerja karena hal itu adalah juga tanggung jawab moral
terhadap masyarakat dan dirinya sendiri. Kuatnya dorongan bekerja ini sehingga
bagi mereka yang melakukan suatu pekerjaan, pahalanya sama seperti orang yang
melakukan ibadah (At-Tmimi, 1992)[2]. Casio salah seorang tokoh konvensional berpendapat, pekerjaan
adalah hal yang amat penting bagi individu karena pekerjaan menentukan standar
kehidupan, tempat tinggal, status bahkan harga diri. Sedangkan bagi organisasi
pekerjaan penting artinya karena merupakan kendaraan yang diapakai organisasi
untuk mencapai tujuannya (Casio, 2003).
Dikalangan medis, ditemukan bahwa bagi orang lanjut usia bekerja
sesuai dengan kemampuan fisiknya akan memperlambat ketuaan, menyehatkan dan
menghindari kepikunan. Tidak jarang kita menemukan ulama yang ‘alim’ dan sholeh
tetap mengajar murid-muridnya, mereka tidak menderita Alzheimer (pikun).
Rosulullah SAW pernah berkata ketika ditanya mengenai usaha yang
baik, yaitu: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap transaksi
jual-beli yang dibenarkan. Allah sesungguhnya menyukai orang-orang beriman yang
professional. Orang yang menderita karena membiayai keluarganya tak ubahnya
seperti pejuang di jalan Allah”. (HR Ali bin Abi Tholib). Selain itu beliau
juga pernah berkata,… “seandainya seorang mencari kayu bakar (bekerja) dan
dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik daripada meminta-minta pada
seorang yang kadang diberi, kadang ditolak”. (HR Bukhori dan Muslim)
Dengan berkembangnya dunia, bekerja saat ini tidak lagi sekedar
mengambil kayu ke hutan atau mengambil jala untuk menangkap ikan atau
menggembala kambing; tetapi telah melibatkan banyak pihak dan melibatkan banyak
tenaga kerja dengan lokasi lintas kota, lintas daerah bahkan lintas Negara.
Keberadaan banyak orang dalam kesamaan tujuan organisasi (perusahaan)
memerlukan koordinasi yang baik, oleh karena itu berkembanglah apa yang dikenal
dengan manajemen sumber daya insani.
Dalam perusahaan, karyawan bekerja menggantungkan kehidupannya
sekelurga pada perusahaan tempat ia bekerja. Oleh karena itu, pimpinan dan
jajaran manajemen pada hakikatnya memegang amanah untuk membawa kehidupan
mereka ini menjadi lebih sejahtera lahir batin. Siapakah dalam organisasi
perusahaan yang memegah amanah ini? Ternyata tanggung jawab terhadap amanah
aktifitas Sumber Daya Insani ini terletak dibahu setiap manajer (Werther &
Davis, 1997: 12).
Allah SWT memang ada dimana-mana, maka dengan menyadari
keberdaan-Nya ini, tidak peduli dimana kita bekerja, di kantor, di warung, di
sekolah, di rumah dan di tidak peduli sebagai apa kita bekerja, kuli bangunan,
mandor, pekerja pabrik, juru tulis, guru, pejabat Negara, wakil rakyat sampai
pada presiden sekalipun adalah kunci keberhasilan. Siapapun yang sadar akan
keberadaan-Nya akan bekerja secara professional karena mengetahui dirinya
dilihat oleh yang Maha Agung. Tidak penyelewengan akan dihindari dan secara
alami good governance akan tegak dengan sendirinya.
C.
Manusia
Sebagai Homo Islamicus
Manajemen adalah terapan dari ilmu ekonomi, dan salah satu kekeliruan
mendasar dalam teori ekonomi konvensional adalah asumsi bahwa manusia pada intinya
adalah makhluk ekonomi (homo economicus) yang mementingkan dirinya sendiri.
Islam tidak memandang manusia ‘seburuk’ ini.
Islam menempatkan manusia sebagai makhluk termulia, sehingga
pengelolaannya pun tidak merendahkan derajatnya seperti asumsi homo economicus
dalam teori ekonomi. Sehingga membagi manusia dalam beberapa kelompok yang
terdiri dari kelompok malas dan kelompok rajin. Bagi islam manusia adalah homo
islamicus mengacu pada As-Sajdah: 9, yang terjemahannya, “Kemudian, Ia
sempurnakan kejadiannya, dan ia tiupkan padanya sebagian dari ruh-Nya dan ia
jadikan bagi kamu pendengaran dan penglihatan dan hati, tetapi sedikit sekali
kamu bersyukur”. Peniupan ruh yang dimaksud dalam ayat ini dapat diartikan
dengan sifat-sifat Allah yang mulia juga ditiupkan pada manusia (Agustian,
2004: 10)
Konsep islamicus[3] berawal dari pandangan islam tentang manusia. Manusia adalah
ciptaan Tuhan yang paling sempurna yang memiliki tubuh, akal dan jiwa.
Keberadaanya di muka bumi adalah sebagai wakil Tuhan. Oleh karena itu, segala tindakan manusia harus sesuai dengan
apa yang diajarkan-Nya, termasuk Ekonomi.
Misi yang diemban Rosulullah SAW adalah membentuk perilaku manusia
homo islamicus, karena untuk menyempurnakan akhlak manusia inilah, beliau
diutus ke muka bumi, dalam salah satu sabdanya disampaikan: “Berakhlaklah
kalian seperti akhlak Allah SWT”. semisal, dalam salah satu sifat Allah
diterangkan bahwa Allah bersifat Al-Waliy (Maha Pemelihara, maka implikasi
ekonomi dari akhlak seperti Waliy adalah mengelola dan memelihara sumber daya
dengan baik supaya bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
D. Empat
Pijakan Dasar Manajemen SDI
Empat pijakan dasar dalam MSDI
adalah sebagai berikut:
1.
Abdullah
dan Kholifah
Sebagai manusia kesadaran bahwa kita diciptakan untuk
beribadah/mengabdi pada-Nya harus tertanam dalam jiwa dan pikiran. Implikasi
dan kesadaran ini adalah setiap tingkah laku dan keputusan yang kita ambil akan
selalu mengacu pada mencari ridho-Nya. Dan ini berlaku pula ketika kita
diserahi beban amanah untuk mengelola sumber daya insasi. Islam selalu mengajak
pemeluknya agar selalu berada di depan, menjadi yang terbaik, yang dapat
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi umat manusia. Lalu timbul pertanyaan
fundamenental, bagaimana caranya?
Jawabnya tidaklah sulit, yaitu dengan mengelola perusahaan sebaik
mungkin sehingga seluruh sumber daya insani yang terlibat di dalamnya
mendapatkan manfaat dari aktifitas tersebut. baik itu merupakan karyawan,
manajer dan berbagai pihak lainnya.
Dalam islam setiap manusia adalah kholifah pemegang amanah di muka
bumi. Kesadaran bahwa kita adalah kholifah ibarat dua sisi mata uang dengan
kesadaran sebagai Abdullah tadi, dan sebagai kholifah kita dibebani amanah.
Memikul amanah itulah yang dipikul setiap manusia di dunia apakah dia
menyadarinya tau tidak. Ketika kesadaran akan sebuah amanah telah tumbuh maka
akan ada segenap usaha untuk mejalaninya secara total karena amanah yang
dipikul tentulah ada pertanggung jawabannya di hari akhir kelak[4].
Demikian pula
dalam dunia kerja. Pekerja yang tidak
mempunyai bawahanpun tetap dinamakan seorang kholifah, karena ia adalah
pemimpin bagi dirinya sendiri, amanah yang dipikulnya adalah tugas hariannya
sendiri. Bagi seorang manajer ia harus menyadari bahwa ada karyawan yang mengantungkan
hidup darinya. Oleh karena itu, pimpinan dan jajaran manajemen pada hakikatnya
memgang amanah untuk membawa kehidupan para karyawan menjadi lebih sejahtera
lahir dan batin. Sehingga tanggung jawabnya tidak hanya sebatas tercapainya
target produktivitas perusahaan semata, namun juga bagaimana hubungannya dengan
karyawan dan pengaruhnya.
2.
Konsep
Adil
Adil dapat pula dipahami sebagai moderasi, yaitu sikap tengah dan
seimbang. Keseimbangan ini antara hak dan kewajiban. Orang yang mejalankan
kewajiban tanpa mendapat hak berarti ia adalah budak. Sebaliknya orang yang
hanya menuntut hak tanpa mau menjalankan kewajiban berarti ia pemeras atau
preman. Keseimbangan ini juga bermakna tidak berpihak pada pihak yang
berperkara. Keadilan yang berintikan keseimbangan merupakan hukum kosmik atau
hukum alam jagat raya, oleh karena itu keadilan tak boleh dilawan apalagi
dilenyapkan, karean hal demikian akan menimbulkan kekacauan social yang amat
berbahaya bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat.
Jika manajemen SDI menjadi tanggung jawab setiap manajer, dan insan
kamil adalah tujuan jenjang karier, maka dalam proses MSDI, manajer harus
berpegang pada prinsip adil, karena salah satu prinsip dalam bermuamalah yang
harus tertanam dalam diri seorang manajer adalah sikap adil. Dan seruan adil
ini juga berlaku dalam manajemen SDI.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kaena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (Al-Maidah: 8)
3.
Tujuan
Organisasi dan Tujuan Individu SDI
Pada awal ketika individu karyawan bergabung dengan organisasi
dapat dipastikan tujuannya tidak sama dengan tujuan organisasi, bahkan sangat
mungkin individu tidak tahu apa yang menjadi tujuan organisasi. Secara kasat
mata akan terlihat bahwa individu masuk dalam organisasi perusahaan tidak lain didorong untuk hasrat
mencari nafkah, mendapatkan jaminan hidup, membina karier dan lain sebagainya.
Pendekatan yang islami mengatakan bahwa tujuan hidup setiap manusia
pada akhirnya adalah Ridho Allah SWT apapun pekerjaan dan profesi yang
dipegangnya. Jadi, baik karyawan yang bekerja maupun pimpinan yang mengarahkan
kerja karyawan, sama-sama memilki Allah SWT sebagai tujuan hidup. Masalahnya
adalah bagaimana jalan lurus menuju-Nya ini dicapai dengan kerja? Table dibawah
ini akan menggambarkan tujuan perusahaan dan tujuan individu dengan lebih
rinci.
TUJUAN
|
ORGANISASI
PEUSAHAAN
|
INDIVIDU
SDI
|
Jangka Panjang
|
Survival
|
Allah/Bahagia dunia akhirat
|
Jangka Menengah
|
Kepuasan karyawan dan kemampuan adaptasi
|
Allah, kecukupan materi, simpanan dan karier
|
Jangka Pendek
|
Laba, produksi, efisiensi
|
Allah, kecukupan materi
|
Proses menyamakan atau membuat kedua tujuan ini sejalan, dimulai dari awal karyawan bergabung ke dalam organisasi. Sedikit demi sedikit tujuan yang sangat mungkin pada mulanya berseberangan, diupayakan saling mendekati melalui program sosialisasi, pelatihan, promosi dan lain sebagainya hingga pada akhirnya manajemen yangbaik akan menghasilkan organisasi yang stabil dan mampu bertahan.
4.
Acuan
dalam Manajemen SDI: Karakter Rosulullah
Berbicara mengenai
sifat-sifat luhur yang dimiliki Rosulullah SAW, ada empat sifat beliau
yang sudah dikenal. Pertama, sifat siddiq atau jujur. Mendapatkan
karyawan yang memiliki sifat seperti ini di tengah maraknya kebiasaan “Mark-up
harga” dalam mengelola keuangan sungguh suatu anugerah bagi perusahaan. Kedua,
sifat amanah. Dapat dibayangkan bagaimana kalau para karyawan bank tidak
amanah, maka kasus-kasus korupsi akan menjadi santapan sehari-hari. Ke-tiga,
sifat Fathonah yang artinya cerdas. Kecerdasan membuat pekerja menjadi lebih
kreatif dan cepat belajar menyerap hal-hal baru yang dibutuhkan dalam dunia
bisnis. dan terakhir yakni, sifat Tabligh yang artinya kemampuan berkomunikasi.
Artiya, dalam konteks perusahaan, manajer wajib memberitahukan apa saja yang
diketahuinya untuk pembelajaran bagi karyawan-karyawan yang lainnya.
E.
Sumber
Pustaka
Al-Qur’an dan Hadits
Jusmaliani. 2011. Pengelolaan Sumber Daya Insani, Jakarta.
Bumi Aksara.
Jusmaliani,
2005, merubah asumsi Homo Economicus menjadi Homo Islamicus, makalah pada muktamar
I, Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Medan November.
[1] Surat 76 (ad-dahr) memiliki nama lain yaitu al Insan yang terdiri
dari 31 yat yang pada intinya mejelaskan pada manusia siapa ia sesungguhnya,
apa yang mnjadi tugasnya dan bagimana ia akan dikembalikan.
[2] Ayat-ayat al qur’an yang mendorong untuk bekerja adalah QS. 67:15
(al-Malik) atau QS. 36: 34-35 (Yasin)
[3] Lihat Jusmaliani, 2005, merubah asumsi Homo Economicus menjadi Homo
Islamicus, makalah pada muktamar I, Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Medan November.
[4] Dalam Surah An-Nisa’: 77, Al-An’am: 32.
makasih mas broo...buat referensi
ReplyDeletesama-sama broo.. :D
ReplyDeleteSubhanallah, jayid penjelasannya ��. Lumayan membantu saya.
ReplyDeleteterimakasih mas artikelnya sangat beranfaat
ReplyDelete