Sunday, 12 October 2014

Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Islam

www.republika.co.id 


A.Pendahuluan

Kata insan dan manusia sebenarnya memiliki arti yang sama[1]. Jika dalam tulisan ini digunakan kata Sumber Daya Insani dan bukan Sumber Daya Manusia, hal ini untuk mengingatkan bahwa dalam islam dikenal adanaya konsep Insan Kamil, atau manusia seutuhnya. Iqbal, seorang filosof muslim berpendapat bahwa insan kamil adalah mukmin yang dalam dirinya terdapat kekuatan wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat mulia ini tergambar dengan jelas pada pribadi Nabi SAW.

Amanah yang dipegang seorang manajer SDI selain meningkatkan produktifitas karyawan untuk mencapai laba perusahaan yang maksimal juga mengantarkan karyawan melalui pekerjaanya menuju makom insan kamil yang diridhoi Allah SWT.


Sebagaimana kita ketahui bahwa rujukan kita umat islam adalah al-Qur’an, baru kemudian hadits dan setelah itu ijtihad ulama. Oleh karena itu, pengelolaan SDI pun harus mengacu pada sumber-sumber ini. Pada saat nabi Muhammad membawa ajaran islam tahun 570 M pastinya revolusi industri belum terjadi sehingga usaha-usaha berskala besar belum ada. Sehingga negara dikenal sebagai organisasi terbesar saat itu. Sedangkan saat ini organisasi besar adalah perusahaan multinasional yang tidak jarang memiliki asset melebihi PDB (produk Dometik bruto) suatu Negara. Jarak waktu yang memisahkan kita dengan rosulullah SAW, ditambah dengan kondisi dan situasi yang telah jauh berbeda, menuntut kepiawaian tersendiri dalam menerjemahkan manajemen SDI saat ini.


Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah dibekali dengan kehendak bebas, rasionalitas, dan kesadaran moral. Semua ini dikombinasikan dengan kesadaran ke-Tuhanan yang inheren sehingga manusia dituntut untuk hidup dalam kepatuhan dan ibadah kepadanya. Semua sumber daya yang ada ditangan manusia tidak lain adalah suatu amanah, oleh karena itu sebagai kholifah (wakil Allah), manusia akan dituntut suatu pertanggung jawaban amanah di akhirat kelak. Bagi mereka yang berbuat baik maka mereka akan memetik kebaikan pula.

QS. Az Zilzaal (9) : 7-8 menyebutkan. “Barangsiapa mengerjakan  kebaikan, meskipun seberat zarrah, akan dilihatnya balasan kebaikan itu. Barangsiapa mengerjakan kejahatan, meskipun seberat zarrah, akan dilihatnya balasan kejahatan itu.” Artinya, jika kita bekerja dengan baik sesuai dengan tuntunan-Nya akan mendapatkan ganjaran; sebaliknya jika bekerja dengan tidak baik kita juga akan menerima ganjarannya. Hal ini berlaku pula dalam tugas mengelola sumber daya insani yang dimiliki organisasi, oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengetahui bagaimana manajemen yang baik dan sesuai dengan tuntunan syaria’ah.


B.     Bekerja Sebagai Kewajiban

Bagi islam bekerja adalah sebuah kewajiban, setiap muslim yang mampu bekerja harus bekerja karena hal itu adalah juga tanggung jawab moral terhadap masyarakat dan dirinya sendiri. Kuatnya dorongan bekerja ini sehingga bagi mereka yang melakukan suatu pekerjaan, pahalanya sama seperti orang yang melakukan ibadah (At-Tmimi, 1992)[2]. Casio salah seorang tokoh konvensional berpendapat, pekerjaan adalah hal yang amat penting bagi individu karena pekerjaan menentukan standar kehidupan, tempat tinggal, status bahkan harga diri. Sedangkan bagi organisasi pekerjaan penting artinya karena merupakan kendaraan yang diapakai organisasi untuk mencapai tujuannya (Casio, 2003).


Dikalangan medis, ditemukan bahwa bagi orang lanjut usia bekerja sesuai dengan kemampuan fisiknya akan memperlambat ketuaan, menyehatkan dan menghindari kepikunan. Tidak jarang kita menemukan ulama yang ‘alim’ dan sholeh tetap mengajar murid-muridnya, mereka tidak menderita Alzheimer (pikun). 


Rosulullah SAW pernah berkata ketika ditanya mengenai usaha yang baik, yaitu: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap transaksi jual-beli yang dibenarkan. Allah sesungguhnya menyukai orang-orang beriman yang professional. Orang yang menderita karena membiayai keluarganya tak ubahnya seperti pejuang di jalan Allah”. (HR Ali bin Abi Tholib). Selain itu beliau juga pernah berkata,… “seandainya seorang mencari kayu bakar (bekerja) dan dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik daripada meminta-minta pada seorang yang kadang diberi, kadang ditolak”. (HR Bukhori dan Muslim)


Dengan berkembangnya dunia, bekerja saat ini tidak lagi sekedar mengambil kayu ke hutan atau mengambil jala untuk menangkap ikan atau menggembala kambing; tetapi telah melibatkan banyak pihak dan melibatkan banyak tenaga kerja dengan lokasi lintas kota, lintas daerah bahkan lintas Negara. Keberadaan banyak orang dalam kesamaan tujuan organisasi (perusahaan) memerlukan koordinasi yang baik, oleh karena itu berkembanglah apa yang dikenal dengan manajemen sumber daya insani.


Dalam perusahaan, karyawan bekerja menggantungkan kehidupannya sekelurga pada perusahaan tempat ia bekerja. Oleh karena itu, pimpinan dan jajaran manajemen pada hakikatnya memegang amanah untuk membawa kehidupan mereka ini menjadi lebih sejahtera lahir batin. Siapakah dalam organisasi perusahaan yang memegah amanah ini? Ternyata tanggung jawab terhadap amanah aktifitas Sumber Daya Insani ini terletak dibahu setiap manajer (Werther & Davis, 1997: 12).


Allah SWT memang ada dimana-mana, maka dengan menyadari keberdaan-Nya ini, tidak peduli dimana kita bekerja, di kantor, di warung, di sekolah, di rumah dan di tidak peduli sebagai apa kita bekerja, kuli bangunan, mandor, pekerja pabrik, juru tulis, guru, pejabat Negara, wakil rakyat sampai pada presiden sekalipun adalah kunci keberhasilan. Siapapun yang sadar akan keberadaan-Nya akan bekerja secara professional karena mengetahui dirinya dilihat oleh yang Maha Agung. Tidak penyelewengan akan dihindari dan secara alami good governance akan tegak dengan sendirinya.


C.    Manusia Sebagai Homo Islamicus

Manajemen adalah terapan dari ilmu ekonomi, dan salah satu kekeliruan mendasar dalam teori ekonomi konvensional adalah asumsi bahwa manusia pada intinya adalah makhluk ekonomi (homo economicus) yang mementingkan dirinya sendiri. Islam tidak memandang manusia ‘seburuk’ ini.  Islam menempatkan manusia sebagai makhluk termulia, sehingga pengelolaannya pun tidak merendahkan derajatnya seperti asumsi homo economicus dalam teori ekonomi. Sehingga membagi manusia dalam beberapa kelompok yang terdiri dari kelompok malas dan kelompok rajin. Bagi islam manusia adalah homo islamicus mengacu pada As-Sajdah: 9, yang terjemahannya, “Kemudian, Ia sempurnakan kejadiannya, dan ia tiupkan padanya sebagian dari ruh-Nya dan ia jadikan bagi kamu pendengaran dan penglihatan dan hati, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”. Peniupan ruh yang dimaksud dalam ayat ini dapat diartikan dengan sifat-sifat Allah yang mulia juga ditiupkan pada manusia (Agustian, 2004: 10)


Konsep islamicus[3] berawal dari pandangan islam tentang manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna yang memiliki tubuh, akal dan jiwa. Keberadaanya di muka bumi adalah sebagai wakil Tuhan. Oleh karena itu,  segala tindakan manusia harus sesuai dengan apa yang diajarkan-Nya, termasuk Ekonomi.


Misi yang diemban Rosulullah SAW adalah membentuk perilaku manusia homo islamicus, karena untuk menyempurnakan akhlak manusia inilah, beliau diutus ke muka bumi, dalam salah satu sabdanya disampaikan: “Berakhlaklah kalian seperti akhlak Allah SWT”. semisal, dalam salah satu sifat Allah diterangkan bahwa Allah bersifat Al-Waliy (Maha Pemelihara, maka implikasi ekonomi dari akhlak seperti Waliy adalah mengelola dan memelihara sumber daya dengan baik supaya bermanfaat bagi generasi selanjutnya.


D.  Empat Pijakan Dasar Manajemen SDI

Empat pijakan dasar dalam MSDI adalah sebagai berikut:


1.      Abdullah dan Kholifah

Sebagai manusia kesadaran bahwa kita diciptakan untuk beribadah/mengabdi pada-Nya harus tertanam dalam jiwa dan pikiran. Implikasi dan kesadaran ini adalah setiap tingkah laku dan keputusan yang kita ambil akan selalu mengacu pada mencari ridho-Nya. Dan ini berlaku pula ketika kita diserahi beban amanah untuk mengelola sumber daya insasi. Islam selalu mengajak pemeluknya agar selalu berada di depan, menjadi yang terbaik, yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi umat manusia. Lalu timbul pertanyaan fundamenental, bagaimana caranya?


Jawabnya tidaklah sulit, yaitu dengan mengelola perusahaan sebaik mungkin sehingga seluruh sumber daya insani yang terlibat di dalamnya mendapatkan manfaat dari aktifitas tersebut. baik itu merupakan karyawan, manajer dan berbagai pihak lainnya.


Dalam islam setiap manusia adalah kholifah pemegang amanah di muka bumi. Kesadaran bahwa kita adalah kholifah ibarat dua sisi mata uang dengan kesadaran sebagai Abdullah tadi, dan sebagai kholifah kita dibebani amanah. Memikul amanah itulah yang dipikul setiap manusia di dunia apakah dia menyadarinya tau tidak. Ketika kesadaran akan sebuah amanah telah tumbuh maka akan ada segenap usaha untuk mejalaninya secara total karena amanah yang dipikul tentulah ada pertanggung jawabannya di hari akhir kelak[4].


Demikian pula dalam dunia kerja. Pekerja  yang tidak mempunyai bawahanpun tetap dinamakan seorang kholifah, karena ia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri, amanah yang dipikulnya adalah tugas hariannya sendiri. Bagi seorang manajer ia harus menyadari bahwa ada karyawan yang mengantungkan hidup darinya. Oleh karena itu, pimpinan dan jajaran manajemen pada hakikatnya memgang amanah untuk membawa kehidupan para karyawan menjadi lebih sejahtera lahir dan batin. Sehingga tanggung jawabnya tidak hanya sebatas tercapainya target produktivitas perusahaan semata, namun juga bagaimana hubungannya dengan karyawan dan pengaruhnya.


2.      Konsep Adil

Adil dapat pula dipahami sebagai moderasi, yaitu sikap tengah dan seimbang. Keseimbangan ini antara hak dan kewajiban. Orang yang mejalankan kewajiban tanpa mendapat hak berarti ia adalah budak. Sebaliknya orang yang hanya menuntut hak tanpa mau menjalankan kewajiban berarti ia pemeras atau preman. Keseimbangan ini juga bermakna tidak berpihak pada pihak yang berperkara. Keadilan yang berintikan keseimbangan merupakan hukum kosmik atau hukum alam jagat raya, oleh karena itu keadilan tak boleh dilawan apalagi dilenyapkan, karean hal demikian akan menimbulkan kekacauan social yang amat berbahaya bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat.


Jika manajemen SDI menjadi tanggung jawab setiap manajer, dan insan kamil adalah tujuan jenjang karier, maka dalam proses MSDI, manajer harus berpegang pada prinsip adil, karena salah satu prinsip dalam bermuamalah yang harus tertanam dalam diri seorang manajer adalah sikap adil. Dan seruan adil ini juga berlaku dalam manajemen SDI.


“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kaena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Maidah: 8)


3.      Tujuan Organisasi dan Tujuan Individu SDI

Pada awal ketika individu karyawan bergabung dengan organisasi dapat dipastikan tujuannya tidak sama dengan tujuan organisasi, bahkan sangat mungkin individu tidak tahu apa yang menjadi tujuan organisasi. Secara kasat mata akan terlihat bahwa individu masuk dalam organisasi  perusahaan tidak lain didorong untuk hasrat mencari nafkah, mendapatkan jaminan hidup, membina karier dan lain sebagainya.


Pendekatan yang islami mengatakan bahwa tujuan hidup setiap manusia pada akhirnya adalah Ridho Allah SWT apapun pekerjaan dan profesi yang dipegangnya. Jadi, baik karyawan yang bekerja maupun pimpinan yang mengarahkan kerja karyawan, sama-sama memilki Allah SWT sebagai tujuan hidup. Masalahnya adalah bagaimana jalan lurus menuju-Nya ini dicapai dengan kerja? Table dibawah ini akan menggambarkan tujuan perusahaan dan tujuan individu dengan lebih rinci.


TUJUAN
ORGANISASI PEUSAHAAN
INDIVIDU SDI
Jangka Panjang
Survival
Allah/Bahagia dunia akhirat
Jangka Menengah
Kepuasan karyawan dan kemampuan adaptasi
Allah, kecukupan materi, simpanan dan karier
Jangka Pendek
Laba, produksi, efisiensi
Allah, kecukupan materi


Proses menyamakan atau membuat kedua tujuan ini sejalan, dimulai dari awal karyawan bergabung ke dalam organisasi. Sedikit demi sedikit tujuan yang sangat mungkin pada mulanya berseberangan, diupayakan saling mendekati melalui program sosialisasi, pelatihan, promosi dan lain sebagainya hingga pada akhirnya manajemen yangbaik akan menghasilkan organisasi yang stabil dan mampu bertahan.


4.         Acuan dalam Manajemen SDI: Karakter Rosulullah

Berbicara mengenai  sifat-sifat luhur yang dimiliki Rosulullah SAW, ada empat sifat beliau yang sudah dikenal. Pertama, sifat siddiq atau jujur. Mendapatkan karyawan yang memiliki sifat seperti ini di tengah maraknya kebiasaan “Mark-up harga” dalam mengelola keuangan sungguh suatu anugerah bagi perusahaan. Kedua, sifat amanah. Dapat dibayangkan bagaimana kalau para karyawan bank tidak amanah, maka kasus-kasus korupsi akan menjadi santapan sehari-hari. Ke-tiga, sifat Fathonah yang artinya cerdas. Kecerdasan membuat pekerja menjadi lebih kreatif dan cepat belajar menyerap hal-hal baru yang dibutuhkan dalam dunia bisnis. dan terakhir yakni, sifat Tabligh yang artinya kemampuan berkomunikasi. Artiya, dalam konteks perusahaan, manajer wajib memberitahukan apa saja yang diketahuinya untuk pembelajaran bagi karyawan-karyawan yang lainnya.


E.     Sumber Pustaka

Al-Qur’an dan Hadits

Jusmaliani. 2011. Pengelolaan Sumber Daya Insani, Jakarta. Bumi Aksara.

Jusmaliani, 2005, merubah asumsi Homo Economicus menjadi Homo Islamicus, makalah  pada  muktamar I, Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Medan November.




[1] Surat 76 (ad-dahr) memiliki nama lain yaitu al Insan yang terdiri dari 31 yat yang pada intinya mejelaskan pada manusia siapa ia sesungguhnya, apa yang mnjadi tugasnya dan bagimana ia akan dikembalikan.
[2] Ayat-ayat al qur’an yang mendorong untuk bekerja adalah QS. 67:15 (al-Malik) atau QS. 36: 34-35 (Yasin)
[3] Lihat Jusmaliani, 2005, merubah asumsi Homo Economicus menjadi Homo Islamicus, makalah pada muktamar I, Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Medan November.
[4] Dalam Surah An-Nisa’: 77, Al-An’am: 32.


4 comments:

  1. makasih mas broo...buat referensi

    ReplyDelete
  2. Subhanallah, jayid penjelasannya ��. Lumayan membantu saya.

    ReplyDelete
  3. terimakasih mas artikelnya sangat beranfaat

    ReplyDelete