Saturday 21 May 2016

Membaca Komarudin Hidayat dalam Tiga Artikel


Sudah siap membaca tulisaku hari ini para penggemar? 

Oke, kalimat di atas hanya bagian dari sandiwara. Aku sedang coba memerankan sosok penulis populer yang goresan tintanya, selalu ditunggu para pembaca. 

Begitulah kelebihan manusia. Dia  diberi kemampuan untuk memanajemen pikiran, tindakan dan perkataannya. Oleh karena itu, kita disebut sebagai wakil Allah di muka bumi ini. Kita diberi mandat untuk memakmurkan bumi dan segala isinya lewat anugerah kemampuan mengolah takdir tersebut. Namun jangan berpikiran bahwa kemampuan manajemen ini juga akan diberikan ketika kita sudah memasuki dunia akhirat. Disana, Allah lah satu-satunya pemegang sistem kekuasaan. Maka dari itu, mari kita maksimalkan peran yang telah diberikan ini selagi hidup.

Hari ini aku akan berbagi pesan dari tulisan yang ku baca barusan.

Tulisan Komarudin Hidayat di kolom opini kompas tepatnya. Siapa Komar itu? 

Dia adalah guru besar UIN Ciputat. Pernah menjabat sebagai rektor juga disana. Membaca tulisan-tulisannya, membuatku seakan berbicara dengan fenomena di depan mata. Dia membahas tema-tema yang memang hidup. Dan di lain kesempatan ia menyampaikan pesan melalui kejadian sederhana namun disajikan dengan sudut pandang yang berbeda. Bahasa yang digunakannnya enak dibaca dan mudah dipahami. 

Terkait dengan dunia tulisan-menulis, beberapa hari yang lalu aku sempat membaca sebuah tulisan racikan Farid Gaban. Dia menjelaskan bahwa tulisan-tulisan di media cetak, utamanya di kolom opini telah gagal sebagai media yang memperjelas fenomena yang keruh. Hal ini ditandai dengan bertaburnya istilah-istilah ilmiah nan njelimet #ceunah. 

Padahal jika ditelisik lebih dalam koran adalah media baca yang ditujukan untuk semua kalangan. Seharusnya bahasa yang dipakai juga merupakan bahasa yang mudah dipahami oleh kebanyakan orang.

Pagi ini, aku menkonsumsi tiga artikel besutan Komar yang berbicara mengenai sudah islami kah negara islam, mengukur kebahagiaan, dan sisi gelap demokrasi. Aku akan bercerita isi tulisan yang sempat ku rekam dan pahami.

Pada artikel pertama, membawa kita untuk melihat lebih jelas tentang kualitas sebuah negara islam. Mengajak memahami islam bukan hanya sebagai ritual ibadah spritual namun juga ibadah secara sosial, serta hidup dalam sebuah tatanan negara.

Dari survei yang disampaikan pada tulisan ini, kita bisa melihat bahwa negara Indonesia yang mayoritas muslim menempati urutan ke 140 sebagai negara islami dari 200-an negara yang diteliti. Fakta tersebut bericara bahwa ibadah spritual belum mempengaruhi perilaku sehari-hari. Ditandai dengan tidak teraturnya antre di indonesia, Angka pengangguran yang bertolak belakang dengan anjuran agama untuk memberik makan fakir miskin (berkesusahan) dan budaya hidup bersih yang dalam agama dijadikan sebagai tanda keimanan seseorang, namun tidak dijalankan sungguh-sungguh dalam keseharian. 

Lalu apa masalah? Benarkah ibadah spritual tidak memberikan dampak pada prilaku sehari-hari? Kita harus berani jujur, barangkali ada yang salah dalam cara kita beragama. Pertanyaan kitisnya, kenapa soleh spritual kita tidak berbanding lurus dengan soleh sosial? 

Padahal dalam teks agama dijelaskan bahwa sholat mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar. Kalimat pedasnya “ada yang salah dengan sholat kita." Lebih pedas lagi, "jangan-jangan kita ini belum beragama."  

Artikel kedua berbicara mengenai kebahagiaan seseorang. Salah satu indikator kesejahteraan sebuah negara bisa dilihat dari indeks kebahagiaan bangsanya. Pernah dilakukan sebuah survei perihal ini. Di sebuah peusahaan, setiap karyawan pada suatu ketika diberi bonus, dari bonus tersebut dilakukan penelitian terkait penggunaan uang itu. Pembelian karyawan terpecah menjadi dua golongan, yakni golongan karyawan yang membelanjakan bonusnya untuk barang dan golongan karyawan yang membelanjakannya untuk membeli pengalaman.

Antara barang dan pengalaman merupakan dua pembelian berbeda. Pengalaman jauh lebih lama umurnya ketimbang barang. Karena barang akan mengalami penyusutan, misal mobil, ia akan mengalaman penyusutan harga dari hari ke hari. 

Berbeda dengan pengalamn, umurnya akan lebih lama. Lihat bagaimana orang-orang yang pernah melakukan ibadah haji, ingatan mereka secara tak langsung akan kembali ketika berkunjung kepada rekannya yang baru malakukan hal serupa. Begitupun seterusnya, mereka bercerita dengan asik perihal pemandangan, perasaan dan perbuatan  yang mereka dapatkan. Secara tidak langsung obrolan pengalaman masa lalu itu kembali mendatangkan rasa bahagia. Inilah alasan mengapa harus memilih pengalaman dibanding barang. Karena pengalaman jauh melampaui nominal.

Artikel ketiga berbicara mengenai demokrasi. Di artikel ketiga ini Komar lebih menyoroti sisi gelapnya. Bagaimana demokrasi malah menjadi pembajak kepentingan rakyat. Sejarah awal demokarsi bermula dari Yunani kuno. Masa tersebut tentu berbeda jauh dengan zaman kita hidup saat ini. 

Jika dulu masyarakat yang diwakilkan hanya sedikit bahkan cuma dalam beberapa wilayah saja, tidak dengan sekarang. Dimana rakyat yang diwakilkan begitu banyak. Sehingga terkadang rakyat sendiri tidak mengenali siapa yang mewakilinya. Realita yang terjadi saat ini, siapapun bisa menjadi wakil rakyat asalkan ada uang dan parpol yang mengusung. 

Padahal kepentingan rakyat berada pada parpol-parpol yang secara tidak langsung menjadi corong aspirasi rakyat. Bahasa lainnya, parpol adalah wahana penyedia putra-putri terbaik bangsa indonesia. Namun apa yang terjadi? Parpol malah menjadi kendaraan untuk mencapai kekuasaan saja. Sementara rakyat hanya menjadi balon balon penyemarak saja kala pemilu.

Kepentingan rakyat yang sesungguhnya sudah terkikis oleh gesekan-gesekan kepentingan, mulai dari parpol, DPR, sampai kepentingan antar fraksi. Tak ada lagi kepentingan rakyat, yang ada hanyalah kepentingan pribadi, fraksi, dan parpol. Sementara suara rakyat sudah jauh hari terdeviasi sebelum sampai ke pembahasan di meja DPR.

Yah, itulah sedikit pemahaman yang sempat saya ikat dalam tulisan ini. Lain kali kita ngobrol lagi yak! Bye...

*Dikutip dari catatan harian setahun yang lalu

0 komentar:

Post a Comment