Sudah
siap membaca tulisaku hari ini para penggemar?
Oke, kalimat di atas hanya bagian dari sandiwara. Aku sedang coba memerankan sosok penulis populer yang goresan tintanya, selalu ditunggu para pembaca.
Begitulah kelebihan manusia. Dia diberi kemampuan untuk memanajemen
pikiran, tindakan dan perkataannya. Oleh karena itu, kita disebut sebagai wakil
Allah di muka bumi ini. Kita diberi mandat untuk memakmurkan
bumi dan segala isinya lewat anugerah kemampuan mengolah takdir tersebut. Namun jangan berpikiran bahwa kemampuan manajemen ini juga akan
diberikan ketika kita sudah memasuki dunia akhirat. Disana, Allah lah
satu-satunya pemegang sistem kekuasaan. Maka dari itu, mari kita maksimalkan
peran yang telah diberikan ini selagi hidup.
Hari ini aku akan berbagi pesan dari
tulisan yang ku baca barusan.
Tulisan Komarudin Hidayat di kolom opini kompas tepatnya.
Siapa Komar itu?
Dia adalah guru besar UIN Ciputat. Pernah menjabat
sebagai rektor juga disana. Membaca tulisan-tulisannya, membuatku seakan berbicara
dengan fenomena di depan mata. Dia membahas tema-tema yang memang hidup. Dan di
lain kesempatan ia menyampaikan pesan melalui kejadian sederhana namun
disajikan dengan sudut pandang yang berbeda. Bahasa yang digunakannnya enak
dibaca dan mudah dipahami.
Terkait
dengan dunia tulisan-menulis, beberapa hari yang lalu aku sempat membaca sebuah
tulisan racikan Farid Gaban. Dia menjelaskan bahwa tulisan-tulisan di media
cetak, utamanya di kolom opini telah gagal sebagai media yang memperjelas
fenomena yang keruh. Hal ini ditandai dengan bertaburnya istilah-istilah ilmiah nan njelimet
#ceunah.
Padahal jika ditelisik lebih dalam koran adalah media baca yang
ditujukan untuk semua kalangan. Seharusnya bahasa yang dipakai juga merupakan
bahasa yang mudah dipahami oleh kebanyakan orang.
Pagi
ini, aku menkonsumsi tiga artikel besutan Komar yang berbicara mengenai sudah
islami kah negara islam, mengukur kebahagiaan, dan sisi gelap demokrasi. Aku
akan bercerita isi tulisan yang sempat ku rekam dan pahami.
Pada
artikel pertama, membawa kita untuk melihat lebih jelas tentang kualitas sebuah
negara islam. Mengajak memahami islam bukan hanya sebagai ritual ibadah
spritual namun juga ibadah secara sosial, serta hidup dalam sebuah tatanan
negara.
Dari
survei yang disampaikan pada tulisan ini, kita bisa melihat bahwa negara
Indonesia yang mayoritas muslim menempati urutan ke 140 sebagai negara islami
dari 200-an negara yang diteliti. Fakta tersebut bericara bahwa ibadah spritual
belum mempengaruhi perilaku sehari-hari. Ditandai dengan tidak teraturnya antre
di indonesia, Angka pengangguran yang bertolak belakang dengan anjuran agama untuk memberik makan fakir miskin (berkesusahan) dan budaya hidup bersih yang dalam agama dijadikan sebagai tanda
keimanan seseorang, namun tidak dijalankan sungguh-sungguh dalam keseharian.
Lalu
apa masalah? Benarkah ibadah spritual tidak memberikan dampak pada prilaku
sehari-hari? Kita harus berani jujur, barangkali ada yang salah dalam cara kita
beragama. Pertanyaan kitisnya, kenapa soleh spritual kita tidak berbanding
lurus dengan soleh sosial?
Padahal dalam teks agama dijelaskan bahwa sholat
mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar. Kalimat pedasnya “ada yang
salah dengan sholat kita." Lebih pedas lagi, "jangan-jangan kita ini belum beragama."
Artikel
kedua berbicara mengenai kebahagiaan seseorang. Salah satu indikator
kesejahteraan sebuah negara bisa dilihat dari indeks kebahagiaan bangsanya.
Pernah dilakukan sebuah survei perihal ini. Di sebuah peusahaan, setiap
karyawan pada suatu ketika diberi bonus, dari bonus tersebut dilakukan
penelitian terkait penggunaan uang itu. Pembelian karyawan terpecah menjadi dua
golongan, yakni golongan karyawan yang membelanjakan bonusnya untuk barang dan
golongan karyawan yang membelanjakannya untuk membeli pengalaman.
Antara
barang dan pengalaman merupakan dua pembelian berbeda. Pengalaman jauh lebih
lama umurnya ketimbang barang. Karena barang akan mengalami penyusutan, misal
mobil, ia akan mengalaman penyusutan harga dari hari ke hari.
Berbeda dengan
pengalamn, umurnya akan lebih lama. Lihat bagaimana orang-orang yang pernah
melakukan ibadah haji, ingatan mereka secara tak langsung akan kembali ketika
berkunjung kepada rekannya yang baru malakukan hal serupa. Begitupun
seterusnya, mereka bercerita dengan asik perihal pemandangan, perasaan dan
perbuatan yang mereka dapatkan. Secara
tidak langsung obrolan pengalaman masa lalu itu kembali mendatangkan rasa
bahagia. Inilah alasan mengapa harus memilih pengalaman dibanding barang. Karena pengalaman jauh melampaui nominal.
Artikel
ketiga berbicara mengenai demokrasi. Di artikel ketiga ini Komar lebih
menyoroti sisi gelapnya. Bagaimana demokrasi malah menjadi pembajak kepentingan
rakyat. Sejarah awal demokarsi bermula dari Yunani kuno. Masa tersebut tentu
berbeda jauh dengan zaman kita hidup saat ini.
Jika dulu masyarakat yang
diwakilkan hanya sedikit bahkan cuma dalam beberapa wilayah saja, tidak dengan
sekarang. Dimana rakyat yang diwakilkan begitu banyak. Sehingga terkadang
rakyat sendiri tidak mengenali siapa yang mewakilinya. Realita yang terjadi
saat ini, siapapun bisa menjadi wakil rakyat asalkan ada uang dan parpol yang
mengusung.
Padahal kepentingan
rakyat berada pada parpol-parpol yang secara tidak langsung menjadi corong
aspirasi rakyat. Bahasa lainnya, parpol adalah wahana penyedia putra-putri
terbaik bangsa indonesia. Namun apa yang terjadi? Parpol malah menjadi
kendaraan untuk mencapai kekuasaan saja. Sementara rakyat hanya menjadi balon balon penyemarak saja kala pemilu.
Kepentingan
rakyat yang sesungguhnya sudah terkikis oleh gesekan-gesekan kepentingan, mulai
dari parpol, DPR, sampai kepentingan antar fraksi. Tak ada lagi kepentingan
rakyat, yang ada hanyalah kepentingan pribadi, fraksi, dan parpol. Sementara
suara rakyat sudah jauh hari terdeviasi sebelum sampai ke pembahasan di meja
DPR.
Yah, itulah sedikit pemahaman yang sempat saya ikat dalam tulisan ini. Lain kali kita ngobrol lagi yak! Bye...
*Dikutip dari catatan harian setahun yang lalu
0 komentar:
Post a Comment