Saturday, 27 February 2016

Menelusuri Anomali Air Seni


Beberapa menit lalu saya ke kamar mandi untuk buang air kecil. Sejenak saya merenung, melihat dan menatap kucuran air kencing yang saya keluarkan. Saya terpaku, membayangkan bagaimana proses terjadinya air seni ini.

Air ini merupakan akumulasi dari semua jenis saripati yang saya minum. Saya heran. Begitu juga dengan sahabatnya, “tahi”. Kok bisa, padahal saya makan segala macam rupa makanan dengan warna nan berbvariasi, tapi tetap saja fasesnya berubah menjadi kuning kecut dan berbau busuk. 

Begitu pun dengan air seni, warna apapun yang masuk ke mulut saya, tetap saja berubah menjadi kuning agak bening dan sedikit pesing.

Pernah saya lesehan di warteg (ngeproletar ceritanya, hehe) saya ingat sekali, saat itu saya memesan minuman kosu (kopi susu). Kau tau bukan, bagaimana warnanya, Coklat keruh. Perpaduan antara hitam kopi dan putih susu. 

Tapi setelah saya pipis, kok yang keluar bukan warna coklat seperti yang saya minum yah. Lalu kemana warna coklat yang saya minum tadi. Kemana larinya dzat hitam yang melekat dari kopi tadi?

Perkiraan saya, mungkin warna hitam itu balik ke warna rambut, janggut atau juga j**but *opss. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, semua orang kan tidak ngopi. 

So... Dari mana datangnya warna hitam yang mereka dapatkan? Bingung saya. Semakin bingung lagi ketika membayangkan warna rambut mba-mba Hollywood yang biasa mejeng di tv. Ya, warna rambut mereka kan tak hanya hitam. Ada perak, pirang dan juga pelangi. Hehe

Hey!!  Kemana larinya warna alami yang masuk ke tubuh kita. 

Dulu ketika masih nyantri di palembang, saya sempat ikut ekstrakulikuler kaligrafi. Nah, aktivitas saya ini sangat intim dengan permainan warna. Saya kenal mereka. saya tahu betul, untuk menghasilkan warna hijau, dibutuhkan warna kuning yang dicampur sedikit warna biru. Untuk mendapatkan warna merah jambu, memerlukan percumbuan kuning dan sedikit warna merah. Tapi ada juga warna-warna dasar yang tidak bisa diciptakan lewat percampuran warna lain. Misal, warna merah, kuning, biru, putih termasuk warna hitam.

Kau tahu apa warna darah kita? 

Yup, warnanya merah. Coba lihat lagi dalam keseharian kita, seberapa banyak sih asupan berwarna merah yang masuk ke tubuh kita. Sementara darah yang mengalir setiap waktu dalam tubuh kita ini berwarna merah. Misteri hidup bukan? 

Bagi otak saya yang bukan dari ras scientist murni ini, nalar saya hanya mampu menjawab misteri warna hanya sebatas ini. Saya ingin sekali ada jawaban memuaskan dari kawan-kawan yang mengerti anomali warna warna dalam tubuh kita ini.

Saat saya kencing, sembari berdiri menikmati rasa lega setiap kucuran air seni yang dikeluarkan, saya kembali berpikir dan membayangkan, bagaimana perjalanan air seni ini selanjutnya. Dari selokan kamar mandi, ia mengalir lewat pipa lalu dialirkan ke penampungan. Dia bertemu dengan segala macam air. Karena sifatnya cair, mungkin dia langsung diserap tanah. Lalu, di tanah ia bertemu dengan air bumi. 

Apakah kemudian pertemuan itu berjalan baik-baik saja. Ataukah terjadi pergulatan hebat diantara keduanya, bahkan bisa jadi air seni tadi telah dipaksa  oleh alam untuk memurnikan kembali dirinya, lalu tenggelam dalam hegemoni air bumi. Sekali lagi saya tidak tahu.

Saya lebih condong ke dugaan yang terakhir. Air kencing yang tadinya pesing dan bau akan dengan sendirinya kembali seperti air bersih setelah melewati beberapa jenis tanah. Ibarat sekepal garam yang dilempar ke air telaga. Tentu Asinnya hilang diserap telaga.

Dulu ketika SD, saya sempat belajar bahwa tanah ini terdiri dari beberapa lapisan. Dan air yang bersih adalah air yang berasal dari perut bumi, karena sudah beberapa kali melewati penyaringan.

Lalu bagaimana cerita dengan air kencing tadi. Apakah dengan perjalanan yang dilalui memungkinkan dia kembali seperti air bumi, bersih dan bisa diminum. Dengan bahasa lain ia bertransformasi. Atau mungkin bisa jadi, air yang kita minum sekarang merupakan perjalanan panjang dari air kencing nenek moyang kita yang sudah berubah. Entahlah!

Wajar jika air kencing juga disebut dengan air seni. Ia indah dengan segala misteri dan anomalinya. Harus diakui, ini bagian dari “Fuck, Tahi, Duup.”

0 komentar:

Post a Comment