Beberapa menit lalu saya ke kamar
mandi untuk buang air kecil. Sejenak saya merenung, melihat dan menatap kucuran
air kencing yang saya keluarkan. Saya terpaku, membayangkan bagaimana proses terjadinya
air seni ini.
Air ini merupakan akumulasi dari semua jenis saripati yang saya minum. Saya heran. Begitu juga dengan sahabatnya, “tahi”. Kok bisa, padahal saya makan segala macam rupa makanan dengan warna nan berbvariasi, tapi tetap saja fasesnya berubah menjadi kuning kecut dan berbau busuk.
Begitu pun dengan air seni, warna
apapun yang masuk ke mulut saya, tetap saja berubah menjadi kuning agak bening
dan sedikit pesing.
Pernah saya lesehan di warteg (ngeproletar
ceritanya, hehe) saya ingat sekali, saat itu saya memesan minuman kosu (kopi
susu). Kau tau bukan, bagaimana warnanya, Coklat keruh. Perpaduan antara hitam
kopi dan putih susu.
Tapi setelah saya pipis, kok yang
keluar bukan warna coklat seperti yang saya minum yah. Lalu kemana warna coklat
yang saya minum tadi. Kemana larinya dzat hitam yang melekat dari kopi tadi?
Perkiraan saya, mungkin warna
hitam itu balik ke warna rambut, janggut atau juga j**but *opss. Tapi setelah saya
pikir-pikir lagi, semua orang kan tidak ngopi.
So... Dari mana
datangnya warna hitam yang mereka dapatkan? Bingung saya. Semakin bingung lagi
ketika membayangkan warna rambut mba-mba Hollywood yang biasa mejeng di tv. Ya, warna
rambut mereka kan tak hanya hitam. Ada perak, pirang dan juga pelangi. Hehe
Hey!! Kemana larinya warna alami yang masuk ke tubuh
kita.
Dulu ketika masih nyantri di
palembang, saya sempat ikut ekstrakulikuler kaligrafi. Nah, aktivitas saya ini sangat
intim dengan permainan warna. Saya kenal mereka. saya tahu betul, untuk
menghasilkan warna hijau, dibutuhkan warna kuning yang dicampur sedikit warna
biru. Untuk mendapatkan warna merah jambu, memerlukan percumbuan kuning dan
sedikit warna merah. Tapi ada juga warna-warna dasar yang tidak bisa diciptakan
lewat percampuran warna lain. Misal, warna merah, kuning, biru, putih termasuk
warna hitam.
Kau tahu apa warna darah kita?
Yup, warnanya merah. Coba lihat
lagi dalam keseharian kita, seberapa banyak sih asupan berwarna merah yang
masuk ke tubuh kita. Sementara darah yang mengalir setiap waktu dalam tubuh
kita ini berwarna merah. Misteri hidup bukan?
Bagi otak saya yang bukan dari ras scientist murni ini, nalar saya hanya mampu menjawab misteri warna hanya sebatas ini.
Saya ingin sekali ada jawaban memuaskan dari kawan-kawan yang mengerti anomali
warna warna dalam tubuh kita ini.
Saat saya kencing, sembari
berdiri menikmati rasa lega setiap kucuran air seni yang dikeluarkan, saya
kembali berpikir dan membayangkan, bagaimana perjalanan air seni ini
selanjutnya. Dari selokan kamar mandi, ia mengalir lewat pipa lalu dialirkan ke
penampungan. Dia bertemu dengan segala macam air. Karena sifatnya cair, mungkin
dia langsung diserap tanah. Lalu, di tanah ia bertemu dengan air bumi.
Apakah kemudian pertemuan itu
berjalan baik-baik saja. Ataukah terjadi pergulatan hebat diantara keduanya,
bahkan bisa jadi air seni tadi telah dipaksa oleh alam untuk memurnikan kembali dirinya, lalu tenggelam dalam hegemoni air bumi. Sekali lagi saya tidak tahu.
Saya lebih condong ke dugaan yang terakhir. Air kencing yang tadinya pesing dan bau akan dengan
sendirinya kembali seperti air bersih setelah melewati beberapa jenis tanah. Ibarat sekepal garam yang dilempar ke air telaga. Tentu Asinnya hilang diserap telaga.
Dulu ketika SD, saya sempat belajar
bahwa tanah ini terdiri dari beberapa lapisan. Dan air yang bersih adalah air
yang berasal dari perut bumi, karena sudah beberapa kali melewati penyaringan.
Lalu bagaimana cerita dengan air kencing
tadi. Apakah dengan perjalanan yang dilalui memungkinkan dia kembali seperti
air bumi, bersih dan bisa diminum. Dengan bahasa lain ia bertransformasi.
Atau mungkin bisa jadi, air yang kita minum sekarang merupakan perjalanan
panjang dari air kencing nenek moyang kita yang sudah berubah. Entahlah!
Wajar jika air kencing juga disebut dengan air seni. Ia
indah dengan segala misteri dan anomalinya. Harus diakui, ini bagian dari
“Fuck, Tahi, Duup.”
0 komentar:
Post a Comment