Sebentar
lagi kita akan menghadapi momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di
tanah air. Momen pergantian kepemimpinan yang akan menentukan nasib lima tahun
ke depan. Dalam Pilkada nanti ada 269 daerah di seluruh Indonesia yang akan
melakukan pemilihan secara serentak. Di beberap daerah kegaduhan Pilkada ini
sudah jauh-jauh hari terasa. Kampanye yang dilakukan antar calon yang akan
bertarung sudah sangat ramai terasa. Tentu ritual Pilkada ini disokong langsung
oleh Partai Politik (Parpol) yang ada di tanah air, walaupun ada beberapa kandidat yang maju
secara independen.
Parpol
merupakan entitas yang tidak terpisahkan jika berbicara mengenai demokrasi di
negara kita ini, karena parpol merupakan pilar dari demokrasi itu sendiri.
Parpol merupakan lembaga yang mempunyai legalitas secara hukum dari negara.
Fungsi parpol sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi masyarakat
merupakan kondisi ideal yang dirumuskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun
2008 tentang parpol.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa Indonesia mengalami transisi dari politik otoritarian yang
kaku, ke era demokrasi setelah adanya gerakan reformasi tahun 1998. Hal ini ditandai
dengan menjamurnya partai politik yang berdiri hingga sekarang. Melihat fenomena
ini, kita harus bersyukur, karena anggapan bahwa Indonesia sedang krisis sosok
pemimpina terpatahkan sudah. Setidaknya, dari jumlah parpol yang ada, Indonesia
memiliki banyak stok pemimpin. Sekali lagi, jika melihat secara kasat mata, kita
sedang surplus pemimpin. Karena dari parpol, putra-putri terbaik Indonesia
disalurkan.
Dalam
tataran ideal, kehadiran parpol adalah jawaban dari keterbatasan partisipasi
masyarakat dalam ruang politik. Namun dalam perjalanannya, fungsi ideal itu
tercoreng oleh fakta yang terjadi di lapangan. Parpol yang seharusnya menjadi
corong aspirasi rakyat, malah berbelok menjadi jalur kepentingan golongan dan
individu saja. Akibatnya, tujuan parpol sebagaimana
dijelaskan dalam UUD 1945, “ikut aktif mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia,” praksis belum
menemukan bentuknya.
Tumpang
Tindih Kepentingan
Alih-alih
menjadi perantara ide dan aspirasi masyarakat, parpol malah terjebak pada
kepentingan pragmatis opurtunis. Lihat, bagaimana perebutan kekuasaan menjadi
fokus utama dalam dunia politik. Acapkali kita mendapati berita-berita mengenai
politik yang tak kalah dramatisnya dengan sinteron drama yang tampil tiah hari.
Padahal politik bukan hanya persoalan kekuasaan atau pun prospek bisnis saja,
seperti mengeluarkan modal untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar,
sebagaimana banyak diyakini oleh pelaku money
politic di tanah air. Inilah pola pikir picik para politikus.
Dalam
agenda politik terdapat sebuah cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam langkah-langkah
kecil, bukan kepentingan kecil yang diucapkan dengan kata-kata besar. Berbanding
terbalik dengan realita yang kita saksikan saat ini, dimana janji-janji manis
begitu mudahnya diucapkan tanpa menghiraukan ada begitu banyak masyarakat yang
menggantungkan harapan dalam janji tersebut. Tetapi ketika sudah menjabat,
janji yang yang diucapkan tadi hilang lenyap seperti tak pernah tak pernah
disampai saja. Maka wajar jika kemudian drama politik yang kita saksikan saat
ini mengalami degradasi persepsi. Politik sudah menuai arus ketidakpercayaan
masyarakat.
Politik
selalu dikaitkan dengan korupsi dan debat kusir tiada akhir. Lihatlah,
bagaimana kegaduhan yang dierplihat di beberapa parpol, saling kudeta antar
satu sama lain, tawan menawan kepentingan, sengketa anggaran, bagi-bagi kue
kekuasaan, saling busuk membusukkan sudah menjadi perkara biasa di lingkaran
politik. Tak heran jika kemudian orang menganggap politk sebagai tanah
peperangan yang penuh dengan ranjau.
Belajar
dari Tokoh
Dalam
suasana politik Indonesia yang dibahasakan oleh Iwan Fals, penuh dengan intrik
saat ini, muncul kerinduan pada masa lalu. Maklum, sejarah indonesia pernah
mencatat sosok yang memang mengabdikan jiwa-raganya untuk kepentingan tanah
air. Diantaranya adalah Bapak pendiri bangsa kita, Soekarno-Hatta yang lebih dikenal
sebagai dwi tunggal Indonesia.
Mereka
menjadikan politik sebagai wadah pembentukan
karakter. Bukan sebatas ajang hura-hura apalagi panggung sandiwara. Terbukti,
Bung Karno menjadi pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) ketika berumur 26
tahun dan Bung Hatta menjadi ketua perhimpunan mahasiswa Indonesia di Belanda
ketika berumur 19 tahun. Kita kenal juga sosok Tan Malaka yang sudah
berkecimpung di dunia politik semenjak belia. Namun ada satu hal yang musti
kita perhatikan dari aktivitas politik mereka. Bagi mereka, politik adalah
gerakan untuk memikirkan generasi mendatang, bukan pemilu. Dengan bahasa lain,
apa yang menjadi alasan para pendiri bangsa kita dulu ketika terjun di dunia
politik adalah rakyat.
Semua
tindakan dan pikiran yang diturunkan dalam bentuk kebijakan hanya berorientasi
pada rakyat, inilah esensi dari politik yang sebenarnya, yakni politik untuk
kesejahteraan rakyat, bukan untuk mengeksploitasi rakyat. Ini yang musti
menjadi renungan serius bagi politikus. Memperjelas pijakan berpikir. Berbuat
untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan golongan, apalagi individu. Semoga!
0 komentar:
Post a Comment