Friday 30 October 2015

Politik Untuk Rakyat


Sebentar lagi kita akan menghadapi momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di tanah air. Momen pergantian kepemimpinan yang akan menentukan nasib lima tahun ke depan. Dalam Pilkada nanti ada 269 daerah di seluruh Indonesia yang akan melakukan pemilihan secara serentak. Di beberap daerah kegaduhan Pilkada ini sudah jauh-jauh hari terasa. Kampanye yang dilakukan antar calon yang akan bertarung sudah sangat ramai terasa. Tentu ritual Pilkada ini disokong langsung oleh Partai Politik (Parpol) yang ada di tanah air, walaupun ada beberapa kandidat yang maju secara independen.

Parpol merupakan entitas yang tidak terpisahkan jika berbicara mengenai demokrasi di negara kita ini, karena parpol merupakan pilar dari demokrasi itu sendiri. Parpol merupakan lembaga yang mempunyai legalitas secara hukum dari negara. Fungsi parpol sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi masyarakat merupakan kondisi ideal yang dirumuskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun 2008 tentang parpol.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia mengalami transisi dari politik otoritarian yang kaku, ke era demokrasi setelah adanya gerakan reformasi tahun 1998. Hal ini ditandai dengan menjamurnya partai politik yang berdiri hingga sekarang. Melihat fenomena ini, kita harus bersyukur, karena anggapan bahwa Indonesia sedang krisis sosok pemimpina terpatahkan sudah. Setidaknya, dari jumlah parpol yang ada, Indonesia memiliki banyak stok pemimpin. Sekali lagi, jika melihat secara kasat mata, kita sedang surplus pemimpin. Karena dari parpol, putra-putri terbaik Indonesia disalurkan.

Dalam tataran ideal, kehadiran parpol adalah jawaban dari keterbatasan partisipasi masyarakat dalam ruang politik. Namun dalam perjalanannya, fungsi ideal itu tercoreng oleh fakta yang terjadi di lapangan. Parpol yang seharusnya menjadi corong aspirasi rakyat, malah berbelok menjadi jalur kepentingan golongan dan individu saja. Akibatnya, tujuan parpol sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945, “ikut aktif mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” praksis belum menemukan bentuknya.

Tumpang Tindih Kepentingan

Alih-alih menjadi perantara ide dan aspirasi masyarakat, parpol malah terjebak pada kepentingan pragmatis opurtunis. Lihat, bagaimana perebutan kekuasaan menjadi fokus utama dalam dunia politik. Acapkali kita mendapati berita-berita mengenai politik yang tak kalah dramatisnya dengan sinteron drama yang tampil tiah hari. Padahal politik bukan hanya persoalan kekuasaan atau pun prospek bisnis saja, seperti mengeluarkan modal untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, sebagaimana banyak diyakini oleh pelaku money politic di tanah air. Inilah pola pikir picik para politikus.

Dalam agenda politik terdapat sebuah cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam langkah-langkah kecil, bukan kepentingan kecil yang diucapkan dengan kata-kata besar. Berbanding terbalik dengan realita yang kita saksikan saat ini, dimana janji-janji manis begitu mudahnya diucapkan tanpa menghiraukan ada begitu banyak masyarakat yang menggantungkan harapan dalam janji tersebut. Tetapi ketika sudah menjabat, janji yang yang diucapkan tadi hilang lenyap seperti tak pernah tak pernah disampai saja. Maka wajar jika kemudian drama politik yang kita saksikan saat ini mengalami degradasi persepsi. Politik sudah menuai arus ketidakpercayaan masyarakat.

Politik selalu dikaitkan dengan korupsi dan debat kusir tiada akhir. Lihatlah, bagaimana kegaduhan yang dierplihat di beberapa parpol, saling kudeta antar satu sama lain, tawan menawan kepentingan, sengketa anggaran, bagi-bagi kue kekuasaan, saling busuk membusukkan sudah menjadi perkara biasa di lingkaran politik. Tak heran jika kemudian orang menganggap politk sebagai tanah peperangan yang penuh dengan ranjau.

Belajar dari Tokoh

Dalam suasana politik Indonesia yang dibahasakan oleh Iwan Fals, penuh dengan intrik saat ini, muncul kerinduan pada masa lalu. Maklum, sejarah indonesia pernah mencatat sosok yang memang mengabdikan jiwa-raganya untuk kepentingan tanah air. Diantaranya adalah Bapak pendiri bangsa kita, Soekarno-Hatta yang lebih dikenal sebagai dwi tunggal Indonesia. 

Mereka menjadikan  politik sebagai wadah pembentukan karakter. Bukan sebatas ajang hura-hura apalagi panggung sandiwara. Terbukti, Bung Karno menjadi pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) ketika berumur 26 tahun dan Bung Hatta menjadi ketua perhimpunan mahasiswa Indonesia di Belanda ketika berumur 19 tahun. Kita kenal juga sosok Tan Malaka yang sudah berkecimpung di dunia politik semenjak belia. Namun ada satu hal yang musti kita perhatikan dari aktivitas politik mereka. Bagi mereka, politik adalah gerakan untuk memikirkan generasi mendatang, bukan pemilu. Dengan bahasa lain, apa yang menjadi alasan para pendiri bangsa kita dulu ketika terjun di dunia politik adalah rakyat. 

Semua tindakan dan pikiran yang diturunkan dalam bentuk kebijakan hanya berorientasi pada rakyat, inilah esensi dari politik yang sebenarnya, yakni politik untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk mengeksploitasi rakyat. Ini yang musti menjadi renungan serius bagi politikus. Memperjelas pijakan berpikir. Berbuat untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan golongan, apalagi individu. Semoga!

0 komentar:

Post a Comment