Sunday 7 June 2020

Suriah, Indonesia & KITA

Basyar Al Assad
Aku baru saja menuntaskan buku Salju di Aleppo, karya terbaru Dina Y. Sulaeman. Buku tersebut kuperoleh setelah mengikuti giveaway yang dilakukannya di facebook. Saat itu, aku menawarkan diri untuk meresensi buku tersebut jika terpilih. Sebelumnya, dia juga telah membagikan bukunya berjudul Prahara Suriah versi pdf. Bagi yang berminat, bisa download bukunya di sini.

Kedua buku di atas membahas tentang sengkarut persoalan yang terjadi di Negara Suriah. Ya, satu negara yang cukup menyita ruang perdebatan di jagat maya Indonesia. Aku suka gaya tulisannya. Sekalipun rigit dan detail dengan catatan kaki sana-sini, namun ditulis dengan kata-kata yang runut dan renyah.

Secara garis besar, buku Salju di Aleppo menguak informasi tandingan yang biasa diberitakan oleh media mainstream. Hampir setiap bab hadir dengan bongkahan pengetahuan yang jarang dijamah oleh mayoritas. Sebab, narasi yang biasa disajikan oleh media mainstream selalu berat sebelah. Bisa dilihat dari sumber data yang tidak berimbang. Hanya berasal dari satu sisi bila tak mau dikatakan memihak oposan. Walaupun tidak dilakukan secara vulgar.

Dengan cekatan, Dina menjelaskan tarikan informasi yang kerap menyudutkan satu pihak, dalam hal ini, pemerintah Suriah. Dari sekian banyak informasi yang dirilis oleh media mainstream, amat jarang ditemukan pernyataan atau penjelasan yang datang dari dua pihak secara adil.

Salah satunya sebut saja Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah atau Syirian Observatory for Human Rights (SOHR). Sebuah  kantor informasi yang berpusat di Britania Raya. Jauh sekali dari Suriah namun paling sering dirujuk jika sudah membahas Suriah. Organisasi ini sejak awal perang Suriah kerap dijakan sumber informasi oleh media Barat seperti VOA, BBC, Reuters dll.

Dina membahasakan mereka sebagai “Para Makelar Perang”. Dia dengan runut menjelaskan keterkaitan SOHR dengan gerakan oposisi dan para penyokongnya.

Dengan kata lain, informasi yang disampaikan secara masif oleh media Barat, kadang tak benar-benar mereka peroleh dari lapangan. Hanya menyadur dari sumber informasi yang perlu diragukan kredibilitas keabsahannya. Lagipula, keberadaan SOHR dan lembaga sejenisnya dalam banyak kasus memang ‘sengaja’ dihadirkan untuk memproduksi dalil-dalil akademik agar terlihat sah.

Buntut dari data-data yang dirilis oleh LSM terkait adalah pemberitaan yang masif. Berujung pada simpati publik yang akhirnya menjadi legalitas bagi negara-negara adidaya untuk campur tangan. Dalihnya intervensi kemanusiaan. Kadang pola pemberitaan seperti ini memang dilakukan dengan profesional. Dalam buku Salju di Aleppo, Dina mengambarkan kerja-kerja “seleb medsos” sebagai agen Public Relations (PR) dalam menggiring opini publik.

Buku Salju di Aleppo
Dalam kasus Suriah, hal demikian bisa dilihat dengan mata telanjang. 2011 silam, kerusuhan hanya bermula dari sebagian kecil warga yang menuntut perubahan sistem pemerintahan suriah. Hanya warga dan pemerintahnya saja. Harusnya sudah selesai dengan diamandemennya UUD Suriah. Karena tuntutan sudah terpenuhi. Diantaranya peralihan sistem satu partai ke banyak partai, pencabutan  Undang-Undang Darura, pembatas priodesasi pemerinahan maksimal dua periode, serta perombakan aturan lainnya sebagai bentuk kesepakatan warga dan pemerintahnya.

Namun selang beberapa waktu kemudian, ada banyak pihak yang turut menyulut api kegaduhan di sana. Dengan dalih panggilan ‘Jihad’ warga dari berbagai negara mulai berdatangan ke Suriah.

Perlahan tapi pasti, kecamuk perang berkobar dan terus membesar. Suriah menjelma sebagai arena tempur bagi banyak negara. Amerika, Inggris, Perancis, Turki, Qatar, Israel, Libanon, Rusia, Cina, Iran dll. Ada yang terjun langsung ke gelanggang, ada yang sekedar pendukung di belakang layar. Mereka terbagi dalam dua kubu berseberangan. Pendukung rezim Assad dan penyokong blok oposisi. Tentu saja dengan kepentingannya masing-masing. Motif ekonomi politik berkelat kelindan satu sama lain.

Dalam kurun 10 tahun terakhir, negara-negara Timur Tengah terus bergolak secara bergantian. Mulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Suriah dll. Saking masifnya pemberitaan kondisi negara-negara tersebut, tak sedikit masyarakat Indonesia yang sudah familiar dengan nama-nama presiden yang digulingkan, seperti Muammar Qadafi, Saddam Husein dan Husni Mubarak. Baru-baru ini, telinga netizen tanah air juga sangat sangat akrab dengan satu nama, Basyar Al-Assad, Presiden Suriah.

Jika ditelisik lebih jauh, setiap kecamuk perang yang terjadi di Timur Tengah, bisa dipastikan selalu ada campur tangan negara asing. Salah satunya Amerika Serikat yang tidak pernah absen. Dalang utama dalam aksi penggulingan rezim.

Sudah sembilan tahun, Suriah diselimuti peperangan. Tidak lagi sesederhana A melawan B. Tapi ada C, D, E, dan seterusnya. Terdapat seribu kepentingan yang begitu rumit. Menurut Dina, persoalan Suriah akan sedikit mudah diselesaikan jika semua pihak asing angkat kaki dari sana berikut kepentingannya. Sayangnya, hal demikian terdengar mustahil. Kenapa?

Dalam bukunya Prahara Suriah, Dina menjelaskan keterkaitan Suriah dan negara-negara rivalnya. Seperti Prancis yang memiliki latar belakang sebagai bekas penjajah Suriah di Masa Silam. Israel yang memiliki dendam lama kepada Suriah akibat solidaritasnya terhadap Hizbullah di Libanon. Sementara Amerika, kita semua tahu jika negara Paman Sam ini punya kedekatan khusus dengan negara Israel.

Membincang Suriah, aku jadi teringat pemaparan Bernstein. Menurutnya ada empat pertanyaan kunci untuk melihat relasi sosial dari sebuah persoalan ekonomi politik. Siapa melakukan apa, siapa memiliki apa, siapa mendapakan apa, dan apa yang yang mereka lakukan dengan itu.

Empat pertanyaan ini bisa kita ejawantahkan menjadi, Kenapa ada banyak pihak yang ikut andil menjatuhkan Suriah? Apa yang dimiliki oleh Suriah? Apa yang mereka dapatkan seandainya Rezim Assad kalah? Lantas, apa yang akan mereka lakukan selanjutnya?

Jawaban dari ke-empat pertanyaan ini diulas lebih jauh oleh Dina Y. Sulaeman dalam bukunya Salju di Aleppo, pada bab ‘Perang demi Apa?’

Aku sangat terarik membaca bab keterkaitan Indonesia dan Suriah. Jauh sebelum dilanda kerusuhan, Suriah adalah negara dengan peringkat indeks pembangunan manusia di atas Indonesia. Dengan kata lain, dalam hal kesejahteraan, kebahagiaan dan tingkat literasi Suriah saat itu berada di atas Indonesia. Namun ketidakpuasan segelintir warga yang di-blow up media mainstream mampu menjadi gelinding bola salju yang mendatangkan malapetaka. Hoax dan kebohongan tumbuh subur  melalui sosial media.

Selain itu, para aktor milisi perang di sana yang notabene berasal dari organisasi transnasional, sel-selnya juga tumbuh subur di Indonesia. Sebut saja seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan beberapa jaringan teroris yang sudah beberapa kali menunjukkan aksinya di Indonesia. Berkaca dari sini, Indonesia punya potensi terkena hal yang sama. Jangan sampai deh!

1 comment: