Lelaki itu
sedang duduk santai di bale-bale depan rumahnya. Ia sedang asik bercengkarama
dengan keluarga. Terlihat beberapa tetangga melakukan hal yang sama. Posisi
mereka berdekatan. Mereka saling menungkai cerita dan menimpali satu sama lain.
Ngaso ala masyarakat pedusunan.
Namanya
Hafidz. Hari-hari biasa, ia adalah seorang guru di salah satu SMA yang ada di
Rambang Kuang. Namun di sisi lain, ia juga dikenal sebagai pelestari sekaligus
pemilik group musik Behusin, seperangkat alat musik yang biasa disebut Tanjidor
oleh orang-orang Jakarta.
Malam itu,
aku dan beberapa kawan berkunjung ke rumahnya. Kami bermaksud menggali sejarah
tentang Behusin, musik pengiring pengantin yang biasa dipakai untuk memeriahkan
proses arak-arakan pernikahan.
Ya, sepasang
pengantin di kampungku akan di arak keliling dusun dengan backsound orkestra
Behusin. Tak hanya itu, mereka bakal ditandu bak raja dan ratu serta diikuti
masyarakat satu kampung.
Mulanya,
kupikir Behusin memang nama musik tradisional yang ada di dusunku. Namun
setelah mendengar langsung penjelasan tentangnya, baru kutahu ternyata Behusin
berasal dari nama pemilik pertamanya tempo dulu, yakni Abu Husin. Adapun nama
group orkestranya yaitu Cina Tarum. Asalnya dari dusun Tanah Abang.
Setiap ada
pernikahan, orang-orang di kampung bakal menyewa group Tanjidor miliknya. Namun
agar lebih praktis dan mempermudah penyebutan di lidah, masyarakat di dusunku
menamainnya dengan Behusin. Padanan untuk alat musik yang pemiliknya bernama
Abu Husin. Jadilah istilah itu yang lebih familiar hingga saat ini. Bahkan
sudah saling melengkapi dengan ritual pernikahan di dusun Kuang Dalam.
Saat
dentuman orkestra Behusin sudah terdengar, masyarakat akan berduyun duyun
mendatangi sumber suara untuk menyaksikannya secara langsung. Perpaduan irama
antara Kuncah-Kuncah, Terompet, Kicis-Kicis serta tabuhan Drum, tak ubahnya
seperti gaya gravitasi yang menarik banyak penonton.
Bagiku
sendiri, Behusin adalah sumber kemeriahan. Ia unik dan tradisional. Ia
menampilkan kesemarakan dalam kesederhanaan. Para pemain, irama orkestra dan
masyarakat yang menonton adalah realitas yang khas ala pedusunan. Jujur dan apa
adanya.
0 komentar:
Post a Comment