Monday 10 August 2020

Behusin, Tetap Meriah Dalam Kesederhanaan


Lelaki itu sedang duduk santai di bale-bale depan rumahnya. Ia sedang asik bercengkarama dengan keluarga. Terlihat beberapa tetangga melakukan hal yang sama. Posisi mereka berdekatan. Mereka saling menungkai cerita dan menimpali satu sama lain. Ngaso ala masyarakat pedusunan.

 

Namanya Hafidz. Hari-hari biasa, ia adalah seorang guru di salah satu SMA yang ada di Rambang Kuang. Namun di sisi lain, ia juga dikenal sebagai pelestari sekaligus pemilik group musik Behusin, seperangkat alat musik yang biasa disebut Tanjidor oleh orang-orang Jakarta.

 

Malam itu, aku dan beberapa kawan berkunjung ke rumahnya. Kami bermaksud menggali sejarah tentang Behusin, musik pengiring pengantin yang biasa dipakai untuk memeriahkan proses arak-arakan pernikahan.

 

Ya, sepasang pengantin di kampungku akan di arak keliling dusun dengan backsound orkestra Behusin. Tak hanya itu, mereka bakal ditandu bak raja dan ratu serta diikuti masyarakat satu kampung.

 

Mulanya, kupikir Behusin memang nama musik tradisional yang ada di dusunku. Namun setelah mendengar langsung penjelasan tentangnya, baru kutahu ternyata Behusin berasal dari nama pemilik pertamanya tempo dulu, yakni Abu Husin. Adapun nama group orkestranya yaitu Cina Tarum. Asalnya dari dusun Tanah Abang.

 

Setiap ada pernikahan, orang-orang di kampung bakal menyewa group Tanjidor miliknya. Namun agar lebih praktis dan mempermudah penyebutan di lidah, masyarakat di dusunku menamainnya dengan Behusin. Padanan untuk alat musik yang pemiliknya bernama Abu Husin. Jadilah istilah itu yang lebih familiar hingga saat ini. Bahkan sudah saling melengkapi dengan ritual pernikahan di dusun Kuang Dalam.

 

Saat dentuman orkestra Behusin sudah terdengar, masyarakat akan berduyun duyun mendatangi sumber suara untuk menyaksikannya secara langsung. Perpaduan irama antara Kuncah-Kuncah, Terompet, Kicis-Kicis serta tabuhan Drum, tak ubahnya seperti gaya gravitasi yang menarik banyak penonton.

 

Bagiku sendiri, Behusin adalah sumber kemeriahan. Ia unik dan tradisional. Ia menampilkan kesemarakan dalam kesederhanaan. Para pemain, irama orkestra dan masyarakat yang menonton adalah realitas yang khas ala pedusunan. Jujur dan apa adanya.

 


0 komentar:

Post a Comment