Tulisan ini dilahirkan dari sebuah
diskusi keluarga antara saya dan abang saya, yang kebetulan saat itu sedang
pulang liburan di kampung halaman, Kuang Dalam. Proses jalinan diskusi bermula
ketika saya hendak tidur, namun diurungkan oleh sebuah pertanyaan menggelitik. “kok
tidur?” nah, disinilah proses pembahasan tentang tidur dimulai. heheh
Coba
pikirkan kembali apa sebenarnya yang memotifasimu untuk memperbanyak tidur.
Apakah orang yang banyak tidur lebih sehat dibanding orang yang sedikit tidur.
Coba perhatikan teman-teman yang berada disekitarmu. Coba perhatikan pula bagimana
kehidupanmu dikala SD yang tak mempedulikan jam tidur, namun tak sedikitpun merasa lelah karena kekurangan
tidur. Malam itu terlalu indah jika kita lalui hanya dengan tidur. Imam syafi’i memecahkan permasalahan fiqih dikala waktu tidur yang
digunakannya untuk merenung. Nabi Muhammad menghabiskan waktu malam dengan
bertafakur dan bertanya tentang permasalahan hidup kepada Allah. Karena waktu
malam, jaringan antara kita
dengan Allah tak ada penghalang. Ibarat jaringan telepon, malam merupakan waktu roaming karena tak banyak yang
menggunakan telepon sehingga jaringan tidak sibuk seperti biasanya. Jika malam
waktu untuk kita merenung maka siang untuk kita menjalani hidup ini. Tidur 8
jam sehari hanyalah akal-akalan Mereka saja (hayo ide siapa yang
mengatakan tidur sehat 8 jam). Coba perhatikan apa yang mereka kerjakan dikala kita
telah terjebak dengan pola tidur 8 jam sehari. Orang yang banyak tidur berarti
dia menyia-nyiakan waktu hidupnya, jatah hidup kita ialah dimana ketika kita
beraktifitas dalam keadaan sadar. Kita ini diapit oleh dua kematian.
Kematian pertama adalah masa lalu dan yang ke dua adalah kematian yang menanti
kita di masa mendatang. Banyak tidur berarti dia sedang mati. Masih mau tidur?
Pembahasan pun terus mengalir dan
menjalar bebas kemana-mana. Sehingga sampai di suatu titik, ada sebait kalimat
yang kembali lahir dari proses dialektika insan sedarah ini. Hehe. “Terkadang kita tak sadar terhadap apa yang kita lakukan secara
rutin.” Kurang lebih begitulah bunyinya.
Malam
itu, aku dikagetkan dengan sebuah pertanyaan tentang hakekat idul fitri. Apa
sebenarnya inti dari idul fitri? Idul fitri berarti kembali pada kesucian.
Bagian mana yang membuat kita menjadi kembali suci? Apa yang berbeda dari idul
fitri dibanding hari-hari yang lain sehingga dikatakan bahwa kita kembali suci.
Bila maaf-maafan menjadi kelebihan dari idul fitri. Apakah bedanya dengan
saling memaafkan di hari yang lain. Sehingga muncul sebuah keimpulan bahwa inti
dari kembali pada kesucian di hari fitri bukan terletak pada maaf-maafan.
Jika
kita runut secara teliti, ada yang berbeda dari sholat idul fitri, yakni bacaan
sholatnya. Subhanallah, al hamdulillah,
wala ilaha illallah, huwallahu akbar, wala haula wala kuwwata illa billahil
‘ali yil adzim. Dalam sholat tersebut telah terangkum semua ucapan dan
pujian dalam setiap tindakan. Dikala kita melihat keindahan maka kita
mengucapan “Subhnallah”. Jika kita mendapatkan sebuah kebahagian maka yang kita
ucapkn adalah “Al
hamdulillah”.
Pengakuan tiada Tuhan kecuali Allah Yang Maha Besar. Dan kepasrahan bahwa tiada
daya dan upaya yang bisa kita lakukan kecuali dengan kekuasaan Allah SWT yang
Maha Agung. Dalam sholat tersebut ada 2 reka’at, rekaat pertama dibaca 7x dan
rekaat ke-2 dibaca 5x. Hal ini menandakan kepasarahan kita kapada zat Pencipta 12
bulan kedepan yang bakal kita lalui.
Dari
sholat kita bisa mempelajari etika dalam bedo’a. bagaimana cara meminta yang
baik. Dimulai dari pujian dan kepasarahan pada do’a iftitah. Dilanjutkan dengan
al fatihah yang masih di dominasi oleh pujian. Baru dipenghujung al fatihah
terdapat do’a. “Tunjukilah
kami jalan yang lurus”.
Jalan yang Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalan orang yang Engkau murkai
dan jalan orang-orang yang teresat. Hampir seluruh bacaaan sholat berisi
tentang pujian. Do’a kita yakni cukup terletak pada duduk diantara dua sujud.
Disanalah seluruh permintaan kita dirangkum, baik tentang dunia maupun hal
akhirat. Apa yang tak bisa terjadi jika peran Tuhan sudah ada didalamnya. Tiada
daya dan upaya kecuali kekuasaan Allah SWT. Tak ada perbuatan yang mampu kita
lakukan kecuali atas izin Allah SWT. Kita hanya bisa berencana namun Allah
Jualah yang menentukannya. Alangkah indahnya rencana kita bila kita melibatkan
Tuhan didalamnya. Maka ketika kita mempunyai niat baik libatkan Tuhan
didalamnya dan kembalikan
kepada Tuhan apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Ketika
kita Sholat sesungguhnya kita sedang mengakui bahwa indera yang kita pakai
adalah Sebagian kecil dari sifat KeMahaan Tuhan. Kita bergerak, mendengar,
berbicara, merasakan dan menghayati seluruh sifat Tuhan yang berada dalam diri
kita. Sehingga perkataan “mendirikan” dalam setiap ibadah kita adalah proses
menyatukan apa yang kita katakan agar mengalir dalam jasmani kita
dan dilanjutkan pada tindakan. Mendirikan, berasal dari kata “Diri”. Mendirikan
sholat berarti proses penyatuan apa yang kita baca ke dalam perbuatan kita sehari hari. Mendirikan
zakat berarti proses menyatukan sekaligus penyadaran dari makna zakat terhadap
tindakan kita sehari-hari, bahwa dalam harta kita
terdapat hak orang lain sekaligus menyeru kita agar
tidak serakah karena harta itu adalah titipan Allah SWT.
0 komentar:
Post a Comment