Wednesday, 5 November 2014

Obrolan Tengah Malam Bersama Abangku

 

Tulisan ini dilahirkan dari sebuah diskusi keluarga antara saya dan abang saya, yang kebetulan saat itu sedang pulang liburan di kampung halaman, Kuang Dalam. Proses jalinan diskusi bermula ketika saya hendak tidur, namun diurungkan oleh sebuah pertanyaan menggelitik. “kok tidur?” nah, disinilah proses pembahasan tentang tidur dimulai. heheh



Coba pikirkan kembali apa sebenarnya yang memotifasimu untuk memperbanyak tidur. Apakah orang yang banyak tidur lebih sehat dibanding orang yang sedikit tidur. Coba perhatikan teman-teman yang berada disekitarmu. Coba perhatikan pula bagimana kehidupanmu dikala SD yang tak mempedulikan jam tidur, namun tak sedikitpun merasa lelah karena kekurangan tidur. Malam itu terlalu indah jika kita lalui hanya dengan tidur. Imam syafi’i memecahkan permasalahan fiqih dikala waktu tidur yang digunakannya untuk merenung. Nabi Muhammad menghabiskan waktu malam dengan bertafakur dan bertanya tentang permasalahan hidup kepada Allah. Karena waktu malam, jaringan antara kita dengan Allah tak ada penghalang. Ibarat jaringan telepon, malam merupakan waktu roaming karena tak banyak yang menggunakan telepon sehingga jaringan tidak sibuk seperti biasanya. Jika malam waktu untuk kita merenung maka siang untuk kita menjalani hidup ini. Tidur 8 jam sehari hanyalah akal-akalan Mereka saja (hayo ide siapa yang mengatakan tidur sehat 8 jam). Coba perhatikan apa yang mereka kerjakan dikala kita telah terjebak dengan pola tidur 8 jam sehari. Orang yang banyak tidur berarti dia menyia-nyiakan waktu hidupnya, jatah hidup kita ialah dimana ketika kita beraktifitas dalam keadaan sadar. Kita ini diapit oleh dua kematian. Kematian pertama adalah masa lalu dan yang ke dua adalah kematian yang menanti kita di masa mendatang. Banyak tidur berarti dia sedang mati. Masih mau tidur?


Pembahasan pun terus mengalir dan menjalar bebas kemana-mana. Sehingga sampai di suatu titik, ada sebait kalimat yang kembali lahir dari proses dialektika insan sedarah ini. Hehe. “Terkadang kita tak sadar terhadap apa yang kita lakukan secara rutin.” Kurang lebih begitulah bunyinya.


Malam itu, aku dikagetkan dengan sebuah pertanyaan tentang hakekat idul fitri. Apa sebenarnya inti dari idul fitri? Idul fitri berarti kembali pada kesucian. Bagian mana yang membuat kita menjadi kembali suci? Apa yang berbeda dari idul fitri dibanding hari-hari yang lain sehingga dikatakan bahwa kita kembali suci. Bila maaf-maafan menjadi kelebihan dari idul fitri. Apakah bedanya dengan saling memaafkan di hari yang lain. Sehingga muncul sebuah keimpulan bahwa inti dari kembali pada kesucian di hari fitri bukan terletak pada maaf-maafan. 


Jika kita runut secara teliti, ada yang berbeda dari sholat idul fitri, yakni bacaan sholatnya. Subhanallah, al hamdulillah, wala ilaha illallah, huwallahu akbar, wala haula wala kuwwata illa billahil ‘ali yil adzim. Dalam sholat tersebut telah terangkum semua ucapan dan pujian dalam setiap tindakan. Dikala kita melihat keindahan maka kita mengucapan Subhnallah. Jika kita mendapatkan sebuah kebahagian maka yang kita ucapkn adalah Al hamdulillah. Pengakuan tiada Tuhan kecuali Allah Yang Maha Besar. Dan kepasrahan bahwa tiada daya dan upaya yang bisa kita lakukan kecuali dengan kekuasaan Allah SWT yang Maha Agung. Dalam sholat tersebut ada 2 reka’at, rekaat pertama dibaca 7x dan rekaat ke-2 dibaca 5x. Hal ini menandakan kepasarahan kita kapada zat Pencipta 12 bulan kedepan yang bakal kita lalui.


Dari sholat kita bisa mempelajari etika dalam bedo’a. bagaimana cara meminta yang baik. Dimulai dari pujian dan kepasarahan pada do’a iftitah. Dilanjutkan dengan al fatihah yang masih di dominasi oleh pujian. Baru dipenghujung al fatihah terdapat do’a. Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan yang Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalan orang yang Engkau murkai dan jalan orang-orang yang teresat. Hampir seluruh bacaaan sholat berisi tentang pujian. Do’a kita yakni cukup terletak pada duduk diantara dua sujud. Disanalah seluruh permintaan kita dirangkum, baik tentang dunia maupun hal akhirat. Apa yang tak bisa terjadi jika peran Tuhan sudah ada didalamnya. Tiada daya dan upaya kecuali kekuasaan Allah SWT. Tak ada perbuatan yang mampu kita lakukan kecuali atas izin Allah SWT. Kita hanya bisa berencana namun Allah Jualah yang menentukannya. Alangkah indahnya rencana kita bila kita melibatkan Tuhan didalamnya. Maka ketika kita mempunyai niat baik libatkan Tuhan didalamnya dan kembalikan kepada Tuhan apa yang bakal terjadi selanjutnya.


Ketika kita Sholat sesungguhnya kita sedang mengakui bahwa indera yang kita pakai adalah Sebagian kecil dari sifat KeMahaan Tuhan. Kita bergerak, mendengar, berbicara, merasakan dan menghayati seluruh sifat Tuhan yang berada dalam diri kita. Sehingga perkataan “mendirikan” dalam setiap ibadah kita adalah proses menyatukan apa yang kita katakan agar mengalir dalam jasmani kita dan dilanjutkan pada tindakan. Mendirikan, berasal dari kata “Diri”. Mendirikan sholat berarti proses penyatuan apa yang kita baca ke dalam perbuatan kita sehari hari. Mendirikan zakat berarti proses menyatukan sekaligus penyadaran dari makna zakat terhadap tindakan kita sehari-hari, bahwa dalam harta kita terdapat hak orang lain sekaligus menyeru kita agar tidak serakah karena harta itu adalah titipan Allah SWT.

0 komentar:

Post a Comment