Baiklah,
pada kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai konsumsi dalam islam. Mengapa
harus islam? Karena dari sanalah hendaknya seorang muslim menggali nilai-nilai untuk
kemudian dia terapkan dalam menjalani kehidupan ini. Ibnu Kholdun dalam karya
besarnya Muqaddimah, telah memberikan
pemahan ilmiah mengenai jatuh bangunnya sebuah peradaban yang terkait pula
dengan polemik kesejahteraan dan kesengsaraan masyarakat dalam suatu negara. Menurutnya,
dalam membangun kesejahteraan masyarakat, ekonomi tidak hanya bergantung pada
variabel-variabel politik, sosial, ekonomi, dan demografi (dinamika
kependudukan), tetapi juga sangat bergantung pada variabel syariah.
Syariah
membantu masyarakat menanamkan kualitas kebaikan, seperti ketaatan, kejujuran,
itegritas, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, kesalingmengertian, kerja
sama, kedamaian, keharmonisan, dan berperannya fungsi kontrol tingkah laku
terhadap hal yang dapat membahaykan masyarakat. Jika konteksnya kita tarik ke
Indonesia, khususnya “berperannya fungsi kontrol” ketika hal ini dijalankan, maka
sedikit banyak perekonomian kita sudah bergerak menuju kesejahteraan. Karena inilah
yang menjadi salah satu sumber permasalahnnya ‘kurangnya keberanian dalam
bersikap dan menerapkan kebijakan’.
Syariah sendiri
merupakan hukum-hukum Allah yang disyariatkan
kepada hamba-hamba-Nya, baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw
dari perkataan, perbuatan dan penetapan. Syariat dalam penjelasan Qardhawi
adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan
sunnah serta dalil-dalil yang berkaitan dengan keduanya seperti ijma’ dan
qiyas. Syariat Islam dalam istilah adalah apa-apa yang disyariatkan Allah
kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah,
sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di
dunia dan akhirat.
Dalam
islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan
menjdi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang
cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yaitu dalam bentuk prilaku, gaya
hidup, selera, sikap-sikap terhadap sesama manusia. Keimanan memberikan
saringan moral dalam membelanjakan sumber daya (pendapatan) untuk hal-hal yang
efektif. Saringan moral bertujuan menjaga kepentingan diri tetap berada dalam
batas-batas kepentingan sosial dengan mengubah preferensi individual semata
menjadi preferensi yang serasi antara individual dan sosial, serta termasuk
pula saringan dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemanfaatan. Dalam bentuk
inilah kita dapat berbicara konsumsi dalam konteks halal dan haram, pelarangan
berlebih-lebihan dan bermegah-megahan, konsumsi sosial, dan aspek-aspek
normatif lainnya. Kita bisa melihat konsumsi dalam islam sebagaimana diuraikan
dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah:168-169:
“Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan; karena setan itu musuh yang nyata bagi kami. Sesungguhnya
setan hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui.”
Dalam
paparan model keseimbangan konsumsi islami kita telah melihat bagaimana
implementasi konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Dimana pola konsumsi kita
dibatasi hanya kepada barang yang halal saja. Sedangkan barang yang haram
dilarang. Cotohnya, dalam soal makanan dan minuman yang terlarang adalah darah,
nanah, bangkai, daging babi, daging binatang ketika disembelih diserukan nama
selain Allah dengan tujuan persembahan kepadanya.
Batasan
konsumsi dalam syariah tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman saja,
tetapi juga mencakup jenis-jenis komoditi yang lainnya. Dalam hal ini Quraish
Shihab menjelaskan dalam tafsir al-Misbah, bahwa komoditi yang haram itu dua
macam, yaitu haram karena zatnya seperti babi, darah, nanah dan sejenisnya dan
yang kedua, haram karena sesuatu yang bukan zatnya, seperti makanan curian. Sedangkan
komoditi yang halal adalah makanan yang tidak termasuk dari keduanya.
Bukan
hanya aspek halal dan haram saja yang menjadi batasan konsumsi dalam islam. Termasuk
batasan konsumsi yang musti diperhatikan adalah yang baik, yang cocok, yang
sehat, dan yang tidak menjijikkan. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan
boleh dikonsumsi untuk semua keadaan. Syariah sendiri menganjurkan untuk
memilih komoditi yang bersih dan bermanfaat dari semua komoditi yang
diperbolehkan.
Kemudian
yang menjadi batasan konsumsi dalam islam adalah tidak bolehnya
berlebih-lebihan atau yang dikenal dengan istilah israf. Prilaku israf
diharamkan sekalipun komoditi yang dibelanjakan adalah barang yang halal. Namun
demikian, islam tetap memperbolehkan seorang muslim untuk menikmati karunia
kehidupan, selama itu masih batas kewajaran. Yang bisa kita simpulan dari
pelarangan israf adalah bahwa
kebutuhan hidup itu harus terpenuhi secara wajar agar kelangsungan hidup
berjalan dengan baik. Oleh karena itu, dalam menghapus prilaku israf islam memerintahkan agar kita mempriorotaskan
konsumsi yang lebih diperlukan dan lebih bermanfaat serta menjauhkan diri dari konsumsi
yang berlebih-lebihan untuk semua jenis komoditi. Dari sinilah kesejahteraan
yang islami itu terbangun.
Referensi
Tulisan : Buku; Perilaku Konsumsi Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam karangan
Muhammad Muflih, M.A.
0 komentar:
Post a Comment