Thursday, 6 November 2014

Konsumsi Dalam Perspektif Islam

         



Baiklah, pada kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai konsumsi dalam islam. Mengapa harus islam? Karena dari sanalah hendaknya seorang muslim menggali nilai-nilai untuk kemudian dia terapkan dalam menjalani kehidupan ini. Ibnu Kholdun dalam karya besarnya Muqaddimah, telah memberikan pemahan ilmiah mengenai jatuh bangunnya sebuah peradaban yang terkait pula dengan polemik kesejahteraan dan kesengsaraan masyarakat dalam suatu negara. Menurutnya, dalam membangun kesejahteraan masyarakat, ekonomi tidak hanya bergantung pada variabel-variabel politik, sosial, ekonomi, dan demografi (dinamika kependudukan), tetapi juga sangat bergantung pada variabel syariah.



Syariah membantu masyarakat menanamkan kualitas kebaikan, seperti ketaatan, kejujuran, itegritas, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, kesalingmengertian, kerja sama, kedamaian, keharmonisan, dan berperannya fungsi kontrol tingkah laku terhadap hal yang dapat membahaykan masyarakat. Jika konteksnya kita tarik ke Indonesia, khususnya “berperannya fungsi kontrol” ketika hal ini dijalankan, maka sedikit banyak perekonomian kita sudah bergerak menuju kesejahteraan. Karena inilah yang menjadi salah satu sumber permasalahnnya ‘kurangnya keberanian dalam bersikap dan menerapkan kebijakan’.


Syariah sendiri merupakan hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya, baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw dari perkataan, perbuatan dan penetapan. Syariat dalam penjelasan Qardhawi adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah serta dalil-dalil yang berkaitan dengan keduanya seperti ijma’ dan qiyas. Syariat Islam dalam istilah adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah, sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat.


Dalam islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjdi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yaitu dalam bentuk prilaku, gaya hidup, selera, sikap-sikap terhadap sesama manusia. Keimanan memberikan saringan moral dalam membelanjakan sumber daya (pendapatan) untuk hal-hal yang efektif. Saringan moral bertujuan menjaga kepentingan diri tetap berada dalam batas-batas kepentingan sosial dengan mengubah preferensi individual semata menjadi preferensi yang serasi antara individual dan sosial, serta termasuk pula saringan dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemanfaatan. Dalam bentuk inilah kita dapat berbicara konsumsi dalam konteks halal dan haram, pelarangan berlebih-lebihan dan bermegah-megahan, konsumsi sosial, dan aspek-aspek normatif lainnya. Kita bisa melihat konsumsi dalam islam sebagaimana diuraikan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah:168-169:


“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena setan itu musuh yang nyata bagi kami. Sesungguhnya setan hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”


Dalam paparan model keseimbangan konsumsi islami kita telah melihat bagaimana implementasi konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Dimana pola konsumsi kita dibatasi hanya kepada barang yang halal saja. Sedangkan barang yang haram dilarang. Cotohnya, dalam soal makanan dan minuman yang terlarang adalah darah, nanah, bangkai, daging babi, daging binatang ketika disembelih diserukan nama selain Allah dengan tujuan persembahan kepadanya.


Batasan konsumsi dalam syariah tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman saja, tetapi juga mencakup jenis-jenis komoditi yang lainnya. Dalam hal ini Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsir al-Misbah, bahwa komoditi yang haram itu dua macam, yaitu haram karena zatnya seperti babi, darah, nanah dan sejenisnya dan yang kedua, haram karena sesuatu yang bukan zatnya, seperti makanan curian. Sedangkan komoditi yang halal adalah makanan yang tidak termasuk dari keduanya.


Bukan hanya aspek halal dan haram saja yang menjadi batasan konsumsi dalam islam. Termasuk batasan konsumsi yang musti diperhatikan adalah yang baik, yang cocok, yang sehat, dan yang tidak menjijikkan. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dikonsumsi untuk semua keadaan. Syariah sendiri menganjurkan untuk memilih komoditi yang bersih dan bermanfaat dari semua komoditi yang diperbolehkan.


Kemudian yang menjadi batasan konsumsi dalam islam adalah tidak bolehnya berlebih-lebihan atau yang dikenal dengan istilah israf. Prilaku israf diharamkan sekalipun komoditi yang dibelanjakan adalah barang yang halal. Namun demikian, islam tetap memperbolehkan seorang muslim untuk menikmati karunia kehidupan, selama itu masih batas kewajaran. Yang bisa kita simpulan dari pelarangan israf adalah bahwa kebutuhan hidup itu harus terpenuhi secara wajar agar kelangsungan hidup berjalan dengan baik. Oleh karena itu, dalam menghapus prilaku israf islam memerintahkan agar kita mempriorotaskan konsumsi yang lebih diperlukan dan lebih bermanfaat serta menjauhkan diri dari konsumsi yang berlebih-lebihan untuk semua jenis komoditi. Dari sinilah kesejahteraan yang islami itu terbangun. 


Referensi Tulisan : Buku; Perilaku Konsumsi Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam karangan Muhammad Muflih, M.A.





0 komentar:

Post a Comment