Sumber ilustrasi : palembang.tribunnews.com |
"Jon bangun." sebuah suara cempreng mengembalikan kesadaranku yang sudah terbang ke Amerika, menyapa sosok yang senama denganku, Jhon F. Kennedy, salah seorang presiden termuda dalam sejarah Amerika, bahkan dunia saat itu. Lazimnya, entitas multidimensi, Jhon bisa dilihat dengan beragam penilaian. Aku tak ingin bercakap panjang tentangnya.
Ya, aku dan kawanku berjanji untuk bertemu disini. Tempat biasa kami saling mengulas cerita. Tanpa dipandu, kami saling menggelar kisah dan menelanjanginya dengan sudut pandang berbeda. Kerap tertumpah cerita yang betul betul mengganti fakta lama. Mengail rasa penasaran terdalam sebagai manusia mayoritas, orang yang biasa hidup dalam perapektif kebanyakan.
"Ah, masa' iya begitu." lontaran kalimat pemantik jawaban lebih panjang. Walhasil, tak pernah kami habiskan waktu nongkrong disini kurang dari dua jam. Paling tidak, usai bertemu, ada kata kunci yang bisa kami ditelusuri untuk terus bersafari. Berjalan keluar dari ruang kepandiran menuju ufuk kesadaran.
Kawanku bercerita pengalamannya bertemu dengan suku pedalaman Papua. Ada satu momen yang membuat mereka tercengang seperti menyaksikan sihir. Ketika kawanku berhasil menyebutkan dua puluh nama mereka secara berurutan dan tepat semuanya. Sebelumnya ke 20 orang tadi memang sudah mengenalkan diri.
Tapi mereka melewatkan satu hal, kawanku mencatat ke 20 nama mereka beserta ciri cirinya secara rigit. Dan di suku mereka, memang belum mengenal aksara tulis menulis. Sebagai masyarakat yang buta huruf, pemandangan tersebut tampak seperti "sihir". Ya, satu kata yang kerap dijadikan tameng untuk menutupi misteri yang belum tersingkap.
Aku jadi teringat dengan sosok ustadz beberapa bulan lalu, yang menganggap proses quick count sebagai sihir. Ah lupakan...
Baca juga ; Tak Sesederhana Hitam & Putih
0 komentar:
Post a Comment