Wednesday, 6 April 2022

"Raja-Raja Kecil" Yang Tak Lagi Bertaji


"Susah jaman sekarang, Jon. Daerah tidak semenarik dulu... Izin tambang dah diambil pusat. Lahan 'garapan kita' jadi hilang. Gak ada lagi mainan, bro..." ucap seorang kawan. Dia orang kepercayaan salah satu bupati di daerah penghasil batubara. Ring setengah penguasa.

Praktis, sejak diberlakukannya peralihan perizinan tambang, dari daerah ke pusat, banyak kepala daerah yang kecele. Sebab sektor perizinan memang menjadi lahan basah selama ini. Ada banyak celah untuk mengeruk pundi-pundi uang dari proses pengelolaan kekayaan alam tersebut.

Sebelum pemberlakuan UU Minerba tahun 2020, Bupati adalah raja-raja kecil di daerahnya. Bahkan kekuasaannya bisa melampaui pejabat pusat. Mereka punya wewenang untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa kontrol. Selagi kendalanya hanya sebatas teknis-administrarif, semuanya bisa di atasi sekali kedip.

Jika mereka mampu mengkonsolidasikan pemerintahan dengan baik, mereka bisa menerima cuan melimpah dalam waktu singkat. Hanya bermodal selembar surat sakti dan tanda tangan.

"Kita bisa mainkan tarif setiap IUP yang terbit. Rentangnya antara Rp. 500 Juta - 1 Milyar. Atau kalau mau aman, kita minta porsi saham di perusahaan. Masukkan nama saja sebagai salah satu direksinya," ungkap sang kawan. Selama ini ia memang kerap ditunjuk oleh bupati sebagai operator lapangan. Juru nego sekaligus tukang angkut-angkut cuan panas.

Selain dua cara di atas, jasa imbal balik yang kerap dipakai Kepala Daerah, yakni meminta setoran dari setiap ton penjualan komoditas perusahaan. 50:50, 40:60, sesuai deal-dealan. Jika kompromi kepentingan ini tidak menemukan kesepakatan, proses izinpun terancam dihambat.

Kewenangan kepala daerah mengeluarkan IUP tak lepas dari kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Jika ditelusuri lebih jauh, prosesnya diawali dengan berakhirnya kekuasaan orde baru. Reformasi menandai pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Sentralisasi ke desentralisasi.

Sejak itu, perizinan tambang bagai cendawan di musim hujan. Dalam rentang sepuluh tahun, penerbitan IUP meningkat 10 kali lipat. Jika sebelumnya domain perizinan hanya dimonopoli pusat lewat kroni Orba-nya, tidak sejak pemberlakuan otonomi daerah.

Para bupati sudah memiliki titah ampuh untuk mengelola daerahnya. Mereka mampu melahirkan izin sebanyak-banyaknya. Bahkan mereka bisa mencabut izin yang sudah eksis. Jual-beli izin inilah yang menyebabkan kekayaan mereka meningkat berkali lipat.

Tak heran, 2020 ke bawah, kerap kita dengar pejabat daerah yang ditangkap gara-gara suap izin pertambangan. Ada juga yang tertangkap karena mencabut paksa IUP perusahaan tertentu, dan menerbitkan IUP perusahaan lain sebagai gantinya. Bisa jadi karena yang lama setorannya tidak lancar. Sehingga terjadi pergantian pemain.

Contoh kasus lain, saking beraninya, ada seorang bupati menerbitkan izin di atas hutan lindung atau hutan konservasi. Mereka langkahi wewenang pusat. Tak ada pamit ataupun surat. KLHK, lewaaaatt...

Ada banyak kasus, dimana lahan konsesi hampir mendominasi luasan wilayah satu kabupaten. Merangsek hingga ke pemukiman penduduk tanpa sepengetahuan mereka. Tindakan ini menyebabkan tumpah tindih status pemanfaatan wilayah. Berujung pada penggusuran secara halus hunian warga.

Ada banyak operandi korupsi yang lazim dijalankan. Sederhananya, izin bisa diobral secara serampangan demi mengejar keuntungan tanpa peduli lokasi yang ditunjuk tersebut milik siapa, dan kawasan apa. Penambang tanpa izin turut dipelihara. Cuan dari mereka tidak terpantau oleh negara. Tidak ada pajak yang disetorkan. Kerja-kerja dalam senyap. Pencurian devisa dilakukan secara sistematis, masif dan terstruktur.

Proses perizinan sengaja dibiarkan tertutup. Tak banyak informasi terkait rantai pengelolaan kekayaan alam tersebut. Tujuannya agar publik tak banyak ikut campur. Kongkalingkong pejabat, pengusaha, pihak keamanan, dan elit setempat bergerak dengan kompak dalam satu harmoni.

Diketuknya UU Minerba adalah petaka bagi pejabat daerah. Terdengar bagai petir yang merobek telinga. Lebih-lebih bagi mereka yang baru saja terpilih lewat Pilkada 2020 silam. Tidak balik modal. Lahan "basahnya" sudah berpindah tangan.

Peralihan kuasa perizinan tersebut jadi babak baru dalam pengelolaan sumber daya alam negara. Masih hangat pemberitaan awal tahun lalu, Presiden mencabut 2.078 izin tambang yang dianggap 'nakal'. Ribut-ributnya masih terdengar sampai sekarang. Entah pertanda baik atau sebaliknya.

"Hanya pergantian pemain saja. Nanti juga bakal dikocok ulang itu barang. Upaya kanalisasi perizinan satu pintu oleh pusat. Intinya pemerintah ingin mengembalikan monopoli perizinan yang selama ini jadi domain daerah. ORBA Reborn," cetus kawanku. Saya hanya tertawa datar.

Bagi saya, sudah betul perizinan itu ada di daerah. Alasan awal kenapa perizinan tidak di pusat, sebab daerah lah yang tahu persis kondisi dan kebutuhannya. Mendekatkan kebijakan kepada publik. Termasuk soal perlindungan lingkungan.

Yang perlu dibenahi adalah proses pengawasan. Dorong pemerintah daerah untuk lebih akuntabel. Beri publik akses penuh terhadap rantai pengelolaan SDA, dari perizinan hingga produksi agar turut terlibat aktif mengawasi.

Terpenting dari semua itu, kuncinya terletak pada penegakkan hukum dan kebijaksanaan pemerintah. The Man Behind The Gun. Tergantung pada si pemegang pistol. Jika dia adalah seorang Oligarki bermental predator, semuanya bakal dilumat tak bersisa.




Tuesday, 5 April 2022

Kemelut Tambang di Sekitar Kita


Sejak masuk dunia kampus, perbendaharaan masalah saya makin variatif. Dulu saat SMA, mana peduli saya dengan berita-berita tentang sengketa lahan. Atau konflik antara masyarakat dan perusahaan yang disebabkan perebutan tanah. Karena memang tidak bersinggungan dan tidak terkena dampak secara langsung.

Fase mahasiswa barulah radar pengetahuanku menyentuh hal-hal yang belum pernah saya bayangkan. Saya mulai bertanya, kenapa suatu masyarakat, sudah bertahun-tahun menempati suatu daerah, bisa terusir oleh mantra ajaib bernama kuasa negara.

UUD 1945 pasal 33 ayat 3, jika dijalankan oleh pemerintah bermental korup, bisa menjelma sebagai produk hukum yang mengerikan. Ia serupa legitimasi bagi pemerintah untuk mengobral konsesi pada pengusaha sesuka hati.

Dalilnya menggenjot Investasi untuk mengoptimalkan pendapatan negara. Niatnya demi kemakmuran rakyat. Walau faktanya, apa yang disebut dengan pendapatan sangat jarang menetes hingga ke bawah. Khususnya bagi masyarakat di sekitar lokasi.

Untuk itu, UU Keterbukaan Informasi Publik adalah senjata. Ia serupa pisau analisa yang bisa digunakan untuk membedah realitas. Peraturan ini semacam lentera yang mampu menyingkap kepandiran publik. Informasi adalah hak bagi setiap orang, kapan pun dan dimana pun.

Pemerintah sendiri wajib memberikan akses informasi. Namun dalam praktiknya, masih banyak misteri yang perlu disingkap secara mandiri. Atau kitalah yang terkadang tidak punya inisiatif untuk mencari. Saya kerap terjebak pada kondisi kedua, malas mencari.

Saat mengikuti seminar yang diadakan Ditjen Minerba, saya baru tahu, ternyata semua informasi perihal pemetaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sudah bisa diakses secara terbuka. Nama situsnya Minerba One Map Indonesia (MOMI). Lewat situs ini, siapapun bisa melihat perusahaan tambang yang sudah punya izin menjalankan usahanya.

Iseng-iseng saya cek kabupaten saya, Ogan Ilir. Tak banyak. Hanya ada beberapa perusahaan saja. Semua bergerak hanya pada dua komoditas, yakni batubara dan pasir urug. Artinya di luar dua komoditas ini berstatus tambang ilegal.

Ya, aturan baru pemerintah hanya mengizinkan satu izin untuk satu komoditas. Saat ini, semua penerbitan izin pertambangan sudah ditarik ke pemerintah pusat.

Andai kata ada perusahaan dengan izin pertambangan pasir sungai, maka ia tak boleh mengekstrak komoditas selain itu. Sebelum beroperasi, mereka juga dituntut untuk menyampaikan laporan Analisis Dampak Lingkungan.

Sementara usaha dengan resiko sedang, mereka musti menyampaikan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL). Laporan ini musti disampaikan setiap 6 bulan sekali. Sehingga update perputaran proses produksi bisa terus dipantau oleh pemerintah.

Sebetulnya, jika proses pelaksanaan AMDAL dan UKL-UPL ini berjalan dengan baik, kita bisa menangkal kerusakan lingkungan yang disebabkan usaha pertambangan. Sebab fungsi keduanya justru untuk mencegah terjadinya eksploitasi. 

Jika tak lolos AMDAL, itu artinya kerusakan lingkungan tidak bisa dikendalikan. Sebab fungsinya adalah untuk menghalangi semaksimal mungkin kerusakan lingkungan. Ia penyaring. Itulah kenapa proses kajiannya harus ada di depan, sebelum keputusan perizinan diterbitkan oleh pemerintah terkait.

Proses perizinan inilah yang jadi tameng pelindung hak-hak masyarakat. Sistemnya berlapis. Untuk bisa beroperasi, sebuah perusahaan musti berurusan dengan banyak pihak. Mulai dari pemerintah desa sampai pejabat pusat. Tentu saja semua perkara itu jadi mudah jika telah "ditabrak" dengan uang. 

Katakanlah syarat persetujuan penduduk setempat, itu bisa diselesaikan dengan mendekati elite-elite desa dan tokoh adat untuk memanipulasi proses AMDAL.

Saya jadi teringat dengan seorang kawan. Ia bekerja di konsultan AMDAL. Satu waktu, saat sedang menyampaikan hasil penyusunan AMDAL ke Dinas-Dinas terkait, ia didemo oleh masyarakat setempat. Mereka telat tahu, jika tandatangan yang mereka bubuhkan adalah persetujuan atas konsesi tambang yang bakal menindih lahan perkebunan mereka.

Saya jadi sadar, pengetahuan adalah kekuatan. Kita bisa menggagalkan hal-hal yang tidak diinginkan dengan kecerdasan. Sebelum sebuah konsesi disahkan sebagai petaka buruk di masa depan, ada banyak ruang-ruang pertarungan antara ketamakan dan kecerdasan.

Tentu saja wasitnya adalah para pemangku kebijakan. Jika mereka diisi oleh orang-orang bijaksana, kita tahu siapa pemenangnya. Dan jika tampuk kekuasaan tersebut diduduki oleh pejabat rakus nan korup, maka kita juga hafal seperti apa endingnya.



Monday, 4 April 2022

Bung Karno, Bu Mega & Urusan Perut


Di Bogor, saya banyak berinteraksi dengan kawan-kawan IPB. Sedikit banyak, mereka turut mempengaruhi pemahaman soal pangan. Paling sering saya dengar, terkait sejarah peletakan batu pertama kampus mereka oleh bung Karno.

"Pangan adalah persoalan hidup dan mati suatu bangsa." Itulah pesan bapak proklamator yang santer mereka ucapkan hingga hari ini. Nasihat itu abadi dan terus diwariskan dari waktu ke waktu.

Bukan sekedar pesan filosofis yang biasa disampaikan oleh pejabat dalam kata sambutan, yang susunan kalimatnya pun dibuat oleh para staffnya. Bung Karno amat serius dengan kata-katanya. Bahkan ia tanamkan kalimat itu dalam berbagai kebijakan.

Sebut saja rumus makanan bergizi, yakni istilah "empat sehat lima sempurna." Ia bangun kesadaran soal struktur pangan yang benar. Bukan semata berpatok pada kuantitas, mahal atau kemewahan. Tapi terletak pada ketercukupan gizi yang dikonsumsi.

Dalam lingkup yang lebih strategis, kebijakan itu bisa kita lihat pada UU Reforma Agraria. Mengembalikan tanah sebagai alat produksi kepada masyarakat luas. Sehingga mereka bisa bercocok tanam secara merdeka tanpa terkungkung oleh upah dari tuan tanah.

Warisan monumental lainnya yang ditinggalkan Bung Karno, yakni buku resep Mustika Rasa. Sekilas terlihat remeh dan sepele. Dimana letak spesialnya, seorang presiden, malah meninggalkan kebijakan berupa buku resep. Ya, Bung Karno memang terkenal sebagai sosok yang mampu menyederhanakan realitas. Ia amat piawai menyajikan pesan-pesan yang mudah dikunyah.

Jika kita telusuri lebih jauh, lewat buku ini, Bung Karno sedang berpesan pada kita, agar hati-hati dengan apa yang kita makan. Sebab apa yang kita makan menentukan seberapa daulat kita.

Pangan adalah realitas paling dekat dengan laju peradaban manusia. Suatu bangsa yang tak mampu memenuhi kebutuhan perutnya secara mandiri, terancam bakal berakhir dengan kepunahan. Sebab keberlangsungannya bergantung pada entitas di luar dirinya.

Perkara makan adalah urusan serius. Dalam buku yang digagas oleh Bung Karno tersebut, terkandung tekad yang kuat tentang lidah rakyat Indonesia yang tidak boleh dijajah oleh makanan impor. Jika pengetahuan perihal resep kuliner itu melekat dalam kepala, kita tak bakal kesulitan mencari alternatif dalam kondisi terjepit.

Saya jadi paham keresahan Bu Mega persoalan minyak goreng. Ia sebetulnya sedang mengamalkan nasihat mendiang ayahnya. Buku Mustika Rasa adalah ejawantah atas kekayaan kuliner Indonesia. Petunjuk jalan bagi rakyat Indonesia agar tidak terjebak pada rekayasa penyeragaman cara memasak.

Pernah satu waktu, saya ikut diskusi bersama kawan-kawan IPB. Bahasannya seputar dampak kebijakan politik orde baru. Salah satu poin diskusinya tentang politik penyeragaman pangan di Indonesia. Dari yang sebelumnya makan Jagung, Tiwul, Sagu, lewat rekayasa kebijakan, dirubah menjadi beras. Alasannya untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Rumusnya efektif dan efesien.

Sekilas memang kita mampu mencapai swasembada pangan dalam masa tertentu. Namun di sisi lain, sebetulnya telah terjadi genosida terhadap keanekaragaman pangan di waktu bersamaan. Saat itu komparasinya terkait jumlah varietas sagu yang mulai berkurang karena kalah dominan oleh beras. Dampak jangka panjangnya, kita menjadi ketergantungan. Terbukti, saat ini pasokan beras dalam negeri harus dipenuhi lewat pasar global.

Padahal jauh-jauh hari bung Karno sudah mengingatkan, kehadiran buku resep Mustika Rasa secara tak langsung mengajak kita untuk bergerak ke konsumsi pangan yang lebih beragam, bukan hanya beras. Berlaku juga untuk kasus lainnya. Bukan hanya menggoreng, tapi juga mengukus, merebus dan memanggang.

Walaupun pada kenyataannya, jujur, persolan di atas tidak lagi hanya sebatas merubah gaya hidup sesuai anjuran Bung Karno. Tapi sudah berkembang jauh lebih rumit dan kompleks. Negara sudah terdikte oleh kekuatan lain diluar negara. Menteri Perdagangan pun sudah mengaku kalah oleh kartel pangan dan mafia.


Sunday, 3 April 2022

Warning, Jangan BIarkan BBM Subsidi Disedot Oleh Industri

Dulu saat SD, saya termasuk orang yang sering kena dampak kehadiran Kereta Babaranjang. Panjangnya minta ampun. Pernah satu waktu, keretanya macet. Sementara jam sekolah sudah mepet. Tak ada pilihan lain, saya terpaksa merunduk di bawah badan kereta. Tindakan nekat.

Baru saya tahu, ternyata komoditas yang dibawa adalah batubara. Padahal namanya sudah melekat dalam nama Babaranjang itu sendiri, kereta batu bara rangkain panjang.

Maklum, otak SD-ku saat itu memang belum terangsang untuk mengenal realitas asing. Apalagi proses industrinya tidak terikat langsung dengan lingkunganku. Hanya numpang lewat. Berbeda dengan PT Semen, misalnya. Saban waktu, atap rumah kamipun kerap kena debu hasil peledakannya. Jadi, bagi saya, Semen lebih terdengar familiar ketimbang Batubara.

Ya, batubara andalah emas hitam yang menjadi sumber listrik utama di Indonesia. Konon batubara yang diangkut Babaranjang inilah yang menerangi seperempat pulau Jawa, Bali dan Madura. Lokasi pembakarannya ada di PLTU Suralaya, Banten.

Sejak pertama kali beroperasi, KA Babaranjang hanya melayani pengangkutan batubara dari PT Bukit Asam. Sebab sama-sama perusahaan berplat merah. Namun di tahun 2016, jasa angkut batubara ini sudah terbuka untuk swasta. Kurang lebih ada tujuh perusahaan yang bekerjasama.

Polemik yang kerap muncul adalah penggunaan BBM subsidi pada kereta barang. Pasang surut perdebatannya terkait layak tidakkah KA logistik tersebut disuntik uang negara. Mengingat batubara adalah industri besar. Namun di sisi lain, jika tak disubsidi, proses angkut batubara ini rentan merusak jalan-jalan masyarakat akibat tonase-nya overload.

Saat ini, kita dihebohkan dengan kelangkaan BBM subsidi di berbagai tempat. Antrian panjang mengular di tiap SPBU-SPBU. Salah satu penyebabnya karena penyaluran yang tidak tepat sasaran.

Dua Minggu lalu, kita dikejutkan dengan praktik oknum yang mengoplos solar subsidi dengan minyak mentah. Hasil olahannya mereka jual ke industri tambang batubara Muara Enim.

Sedihnya, praktik ini sudah menjamur di hampir setiap lokasi yang ada tambang dan sudah berlangsung bertahun-tahun. Khususnya di Sumsel. Wajar saja kuota BBM subsidi sering bocor. Untuk 3 bulan ini saja, Pertamina terpaksa mengucurkan kuota melampaui patokan yang ditetapkan pemerintah.

Berdasarkan catatan BPH Migas, pada Januari 2022 realisasi solar subsidi mencapai 1,34 juta KL, melebihi kouta yang ditetapkan sebanyak 1,23 juta KL. Lalu pada Februari 2022 realisasinya mencapai 1,21 juta KL dari kouta yang ditetapkan sebesar 1,14 juta KL.

Serta sepanjang periode 1-27 Maret 2022, realisasinya mencapai 1,20 juta KL dari kouta yang ditetapkan sebanyak 1,11 juta KL. Sehingga secara total hingga 27 Maret 2022, realisasi penyaluran solar subsidi sudah menyentuh 3,76 juta KL.

Perkara subsidi ini memang bukan persoalan sepele. Duit negara lumayan banyak yang tersedot ke BBM. Namun sayang, proses penyalurannya kerap diselewengkan. Padahal dalam seliter solar yang dibeli, pemerintah musti membayar ke Pertamina sebesar Rp. 7800. Selisihnya dengan BBM tanpa subsidi mencapai 5000-an rupiah.

Beban yang ditanggung pemerintah ini perlu diketahui masyarakat. Kita perlu terlibat aktif dalam pengawasan, karena hal ini menyangkut uang negara dan uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan. Subsidi harus tepat sasaran.


Monday, 7 February 2022

WC yang Membuat Saya Kesemutan


"Standar toilet bagiku, ketika nyaman dipakai untuk coli. Bersih, aman dan tertutup," begitu kilah seorang kawan beberapa tahun lalu. Sekarang orangnya sudah menikah dan sudah punya anak. Ia hidup bahagia dengan keluarga kecilnya di salah satu pulau paling Timur Indonesia sana.

Lama saya renungkan, ternyata ada benarnya. Terlepas aktivitas yang dilakukan di dalamnya, toilet musti memenuhi ketercukupan syarat perlindungan privasi seseorang. Tempatnya harus tertutup rapat dan memiliki air yang cukup.

Selain itu, pintunya musti yang bisa dikunci dari dalam. Biar gak was-was. Jangan sampai di tengah BAB, tiba-tiba ada yang buka pintu karena tak tahu. Rasanya seperti pendosa yang kena grebek. Tertangkap basah. Tentu yang saya maksud adalah toilet berjamah, yg biasa dipakai sama-sama. Umumnya oleh penghuni kos-kosan atau penghuni rumah kontrakan.

Maklum, toilet juga bisa dijadikan patokan untuk melihat "kelas sosial" dalam masyarakat. Kalangan elit biasanya sudah punya kamar mandi lengkap dengan fasilitas MCK-nya. Sementara masyarakat kelas bawah masih ada yg harus rela menggunakan toilet umum. Contoh lain kos-kosan mahasiswa. Bagi yang berduit, biasanya memiliki kamar mandi di dalam. Bukan yang rame-rame.

Saya termasuk orang yang hobi berlama-lama dalam toilet. Untuk sekali buang hajat, durasinya paling minimal sebatang rokok. Bukan semata karena hendak mencari inspirasi seperti kata orang-orang, lebih dari itu, saya senang menikmati ruang kesendirian tersebut. Jika WC jongkok, hanya kesemutan di kaki saja yang mampu membangkitkan kembali kesadaran saya dari persemayaman.

Saya selalu punya kesan yang membekas untuk setiap toilet yang saya pakai. Kampus tentu yang paling spesial. Selain toiletnya bersih dan nyaman, biliknya juga ada banyak. Usut punya usut, titahnya memang datang langsung dari rektor. Ia ultimatum bentul perihal kebersihan kakus tersebut.

Tak berbeda jauh dengan toilet masjid kampus. Dibuat standar hotel. Ia bermaksud membongkar asumsi publik selama ini, fasilitas umum pasti jorok. Ia berhasil. Siapapun yg baru pertama menjajalnya pasti langsung jatuh hati. Sang rektor sadar betul, perihal kebersihan sebagian dari iman, bukan semata narasi yang hanya selesai di mulut saja. Tapi harus dibumikan.

Tak heran, dulu, saya lebih sering memilih mandi dan be'ol di kampus ketimbang di kosan. Apalagi jika musim kemarau. Airnya sering habis. Kering kerontang tak tersisa.

Toilet kampus memang penuh kenangan. Ia juga kerap jadi tempat pertukaran informasi paling strategis. Khusunya saat ujian, banyak mahasiswa yg menjadikan toilet untuk buka contekan. Hehe...

Lain lagi saat di pesantren dulu. Walaupun toiletnya seperti kapal meledak, tapi masih jadi pilihan terbaik untuk sembunyi dari pantauan ustadz. Bahkan tak jarang, ada banyak santri yang melanjutkan tidurnya di sana. Khususnya menjelang sholat subuh. Setiap bilik pasti penuh. Sebab jarang ustadz mau mengecek toilet satu persatu.

Membincang toilet, saya jadi teringat mata pelajaran Fiqh bab istinja. Saya menerimanya saat di pesantren dulu. Pengetahuan tentang bagaimana membersihkan diri setelah BAB. Diterangkan kalo zaman Nabi, masyarakatnya menggunakan batu untuk membersihkan dubur.

Saat itu, saya belum bisa mencerna dengan baik. Sebab "akal Indonesia kita", lazimnya pasti membayangkan air untuk membilas pantat paska buang hajat. Lubang fases bukanlah daging dengan permukaan mulus. Sekuat-kuatnya kita tekan pakai batu, pasti masih ada lengketan yang bersembunyi dibalik lipatan. Hehe

Tapi itulah medium paling tepat. Sebab untuk konteks Masyarakat Arab, sampai saat ini saja mereka masih belum leluasa menggunakan air. Tak hanya masyarakat Arab, untuk ukuran peradaban manusia Abad ke-7 (masyarakat global yang hidup sezaman dengan nabi), evolusi jamban memang belum sedahsyat seperti abad 21.

Masyarakat Cina kuno misalnya, mereka menggunakan permukaan keramik untuk bebersih paska buang hajat. Lain lagi bangsa Romawi jaman dulu, mereka malah memakai sabut busa yang diikatkan ke ujung kayu. Alat itulah yang mereka gosokkan ke dubur. Satu spons dipakai ramai-ramai. Bisa jadi karena alat busanya masih langka.

Kata senior saya, peradaban suatu bangsa bisa juga dilihat dari toiletnya. Sesimpel-simpelnya lubang WC yang berbentuk kail, ada jejak cendikiawan di dalamnya. Ya, kerja-kerja intelektual memang tak pernah menganak-tirikan suatu pembahasan. Termasuk untuk urusan tahi!


Friday, 20 August 2021

Ilmu Saja Tidak Cukup, Tapi Juga Musti Bernyali


Sepakbola bisa jadi olahraga paling populer di daratan Asia dan Benua Eropa, tapi tidak di Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam, sepakbola hanya menempati urutan kelima olahraga paling banyak ditonton. Lantas, cabor apa yang paling banyak digemari?

Jawabnya, American Football. Walaupun sama-sama mengunakan istilah football, tapi di Amerika berbeda. Masyarakat disana lebih familiar menyebutnya dengan Soccer untuk sepakbola yang kerap kita terjemahkan dengan kata football.

Saya tidak bermaksud mengulas lebih jauh perbedaan keduanya. Atau menceritakan mana yang lebih seru antara satu dan yang lain. Saya hanya ingin mengulas film berjudul Concussion (Gegar Otak).

Ini bukan film tentang sepakbola Amerika, tapi tentang kemanusiaan. Dibuat berdasarkan kisah nyata. Bercerita tentang seorang ilmuan bernama Dr. Bennet Omalu. Dia adalah imigran kerkulit hitam yang harus berhadapan dengan company global.

Penelitiannya memantik konflik besar melawan raksasa Amerika Serikat, National Football League (NFL). Sebuah organisasi penyelenggara kompetisi sepak bola Amerika.

Sebagai olahraga yang digandrungi banyak orang, jelas American Football juga menjadi sektor bisnis yang menggiurkan. Ada banyak perputaran uang di dalamnya. Semacam dongkrak perekonomian yang mendatangkan keuntungan berlimpah bagi banyak pihak.

Namun fakta yang tidak bisa disembunyikan, ada banyak pemain profesional American Football yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Satu waktu, saat Bennet Omalu bertugas mengautopsi salah satu mayat bersangkutan, ia menemukan jika penyebabnya adalah benturan kepala yang kerap terjadi pada olahraga sepakbola.

Lihat saja tiap pertandingannya. Ada banyak tabrakan tubuh antar pemain. Sekalipun sudah pakai helm, itu hanya melindungi kepala, tidak dengan efek gegar yang menghantam otak. Bennet lalu menciptakan alat pendeteksi yang mampu mengukur dampak tabrakan. Walhasil ia sampai pada kesimpulan jika olahraga tersebut adalah mesin pembunuh jangka panjang. Ia mampu memberikan penjelasan dengan rasional lengkap dengan pendekatan sainsnya.

Penemuan tersebut membawanya pada perlawanan dengan konspirasi penguasa dan pengusaha setempat. Sebagai ilmuan kelas dua (red. Imigran) ruang geraknya terbatas. Kiprah dan karirnya diboikot. Keluarga diteror sana-sini, bahkan sampai ancaman pembunuhan. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke kota lain.

Sebetulnya penemuan Bennet bisa saja langsung dipercayai oleh publik, tapi karena NFL bersekongkol dengan pemerintah Amerika, penelitiannya baru diterima setelah tiga tahun kemudian. Tepatnya saat salah seorang petinggi NFL, juga pensiunan America Football meninggalkan wasiat agar otaknya diberikan pada Bennet untuk diteliti sebelum mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Ternyata apa yang ditemukan oleh Bennet sudah menjadi rahasia umum di kalangan dokter. Namun tak banyak dari mereka yang berani mengambil sikap untuk menentang. Mereka takut melawan arus. Lebih nyaman hidup dalam kerumunan sekalipun berselimut kebohongan.

Dr. Bennet Omalu mengajarkan kita agar berkomitmen pada kebenaran. Ilmu saja tidak cukup, tapi harus bernyali. Siap bereksperimen dengan nasib dan sains. Sebab tugas pengetahuan adalah menyingkap tabir kegelapan. Memperjelas keadaan dan menghilangkan kepandiran. Bukan sebatas menyala, lalu mati tanpa menerangi apa-apa.


Sunday, 16 August 2020

Proyek 2 M

Wajah Kahfi, Ketua Karang Taruna Dusun Kuang Dalam terlihat lesu. Malam itu gairahnya luntur disapu kabar tak sedap. Langkahnya amat gontai saat menuju bale-bale, tempat ia biasa kumpul bersama anggotanya. Di tangannya, terselip lipatan kertas dengan balutan map.


Apa sebabnya? Ternyata ia baru saja menerima surat edaran pemerintah tentang larangan mengadakan rangkaian lomba 17 Agustus. Lazimnya aktivitas yang dilakukan saat memperingati hari kemerdekaan. Tentu saja alasannya untuk mencegah penyebaran virus Korona. Dalil yang tak kalah rasional untuk menunda segala bentuk keramaian.


Beberapa hari sebelumnya, aku menyaksikan sendiri, Kahfi dan kawan-kawannya bermusyawarah menyiapkan acara HUT RI ke 75. Mulai dari jenis lomba yang bakal diadakan sampai persiapan teknis dan pembuatan proposal pendanaan. Dengan berbagai macam pertimbangan, mereka pun legowo untuk menghentikan persiapan.


Sebagai gantinya, mereka lakukan musyawarah ulang untuk membahas agenda apa yang bisa dilakukan selain perlombaan. Tercetuslah ide membuat gapura. Penanda pintu masuk-keluar dusun Kuang Dalam. Gagasan itulah yang akhirnya mereka sepakati.


Namun buah pemikiran mereka kembali berbenturan dengan masalah klasik umat manusia, "amunisi". Metafora untuk menyebut duit operasional. Setelah berdebat cukup alot, akhirnya mereka sepakat untuk bergerak saja dulu. Memulai dari hal-hal yang tak membutuhkan biaya di awal. Seperti mengumpulkan kayu dan bambu sebagai material utama.


Karena dimulai tanpa dana, Kahfi dan kawan-kawannya menamai kegiatan tersebut dengan julukan proyek "dua M", yakni proyek yang hanya bermodalkan "Mau & Melangkah".


Beruntungnya, ada beberapa warga yang berbaik hati memberikan material awal. Lokasi hutannya pun tak jauh dari dusun. Seiring berjalan waktu, akhirnya banyak masyarakat yang melirik dan antusias. Makin banyak swadaya warga dusun tergerak untuk membantu. Ada yang menolong pengangkutan bahan material dengan mobil, pengadaan paku, peminjaman truck, tangga, cat, cemilan, rokok dan lain sebagainya.



Aku melihat semangat gotong royong dalam pembuatan gapura tersebut. Terpantul nilai-nilai kebersamaan. Baik dari warga, terutama kawan-kawan yang sudah mengambil peran aktif saat pembuatan. Ada aliran semangat dan kekompakan dari kreasi yang mereka tuangkan berhari-hari.

Setelah memakan waktu kurang lebih sebulan, akhirnya gapura tersebut berdiri kokoh. Hari ini, aku dikirimi seorang kawan beberapa foto hasil final Gapura. Sebuah kreativitas menyambut hari kemerdekaan. Terus terang aku kagum, melihat hasil kreasi Karang Taruna dusun Kuang Dalam yang sudah tegak menjulang. Eksotis dan artistik.


Tingginya enam meter dari badan jalan. Terbuat dari komponen bambu yang tersusun rapi. Ya, bambu adalah ikon perjuangan pahlawan tempo dulu. Setiap sisi gapura, dibalut dengan dominasi warna Merah Putih sebagai simbol negara Indonesia.


Di atasnya, tertancap bendera Indonesia yang menantang langit, alarm sejarah yang akan terus menyimpan ingatan tentang kemerdekaan. Sekilas memang terlihat sederhana, namun Gapura ini sudah cukup merefleksikan semangat Gotong Royong dan kebersamaan. "Dik ade ye dik pacak mun galak. Insyaallah ade care".


Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka!