"Susah jaman sekarang, Jon. Daerah tidak semenarik
dulu... Izin tambang dah diambil pusat. Lahan 'garapan kita' jadi hilang. Gak
ada lagi mainan, bro..." ucap seorang kawan. Dia orang kepercayaan salah
satu bupati di daerah penghasil batubara. Ring setengah penguasa.
Praktis, sejak diberlakukannya peralihan perizinan tambang,
dari daerah ke pusat, banyak kepala daerah yang kecele. Sebab sektor perizinan
memang menjadi lahan basah selama ini. Ada banyak celah untuk mengeruk
pundi-pundi uang dari proses pengelolaan kekayaan alam tersebut.
Sebelum pemberlakuan UU Minerba tahun 2020, Bupati adalah
raja-raja kecil di daerahnya. Bahkan kekuasaannya bisa melampaui pejabat pusat.
Mereka punya wewenang untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa
kontrol. Selagi kendalanya hanya sebatas teknis-administrarif, semuanya bisa di
atasi sekali kedip.
Jika mereka mampu mengkonsolidasikan pemerintahan dengan
baik, mereka bisa menerima cuan melimpah dalam waktu singkat. Hanya bermodal
selembar surat sakti dan tanda tangan.
"Kita bisa mainkan tarif setiap IUP yang terbit.
Rentangnya antara Rp. 500 Juta - 1 Milyar. Atau kalau mau aman, kita minta
porsi saham di perusahaan. Masukkan nama saja sebagai salah satu
direksinya," ungkap sang kawan. Selama ini ia memang kerap ditunjuk oleh bupati
sebagai operator lapangan. Juru nego sekaligus tukang angkut-angkut cuan panas.
Selain dua cara di atas, jasa imbal balik yang kerap dipakai
Kepala Daerah, yakni meminta setoran dari setiap ton penjualan komoditas
perusahaan. 50:50, 40:60, sesuai deal-dealan. Jika kompromi kepentingan ini
tidak menemukan kesepakatan, proses izinpun terancam dihambat.
Kewenangan kepala daerah mengeluarkan IUP tak lepas dari
kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Jika
ditelusuri lebih jauh, prosesnya diawali dengan berakhirnya kekuasaan orde
baru. Reformasi menandai pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah.
Sentralisasi ke desentralisasi.
Sejak itu, perizinan tambang bagai cendawan di musim hujan.
Dalam rentang sepuluh tahun, penerbitan IUP meningkat 10 kali lipat. Jika
sebelumnya domain perizinan hanya dimonopoli pusat lewat kroni Orba-nya, tidak
sejak pemberlakuan otonomi daerah.
Para bupati sudah memiliki titah ampuh untuk mengelola
daerahnya. Mereka mampu melahirkan izin sebanyak-banyaknya. Bahkan mereka bisa
mencabut izin yang sudah eksis. Jual-beli izin inilah yang menyebabkan kekayaan
mereka meningkat berkali lipat.
Tak heran, 2020 ke bawah, kerap kita dengar pejabat daerah
yang ditangkap gara-gara suap izin pertambangan. Ada juga yang tertangkap
karena mencabut paksa IUP perusahaan tertentu, dan menerbitkan IUP perusahaan
lain sebagai gantinya. Bisa jadi karena yang lama setorannya tidak lancar.
Sehingga terjadi pergantian pemain.
Contoh kasus lain, saking beraninya, ada seorang bupati
menerbitkan izin di atas hutan lindung atau hutan konservasi. Mereka langkahi
wewenang pusat. Tak ada pamit ataupun surat. KLHK, lewaaaatt...
Ada banyak kasus, dimana lahan konsesi hampir mendominasi
luasan wilayah satu kabupaten. Merangsek hingga ke pemukiman penduduk tanpa
sepengetahuan mereka. Tindakan ini menyebabkan tumpah tindih status pemanfaatan
wilayah. Berujung pada penggusuran secara halus hunian warga.
Ada banyak operandi korupsi yang lazim dijalankan.
Sederhananya, izin bisa diobral secara serampangan demi mengejar keuntungan
tanpa peduli lokasi yang ditunjuk tersebut milik siapa, dan kawasan apa.
Penambang tanpa izin turut dipelihara. Cuan dari mereka tidak terpantau oleh
negara. Tidak ada pajak yang disetorkan. Kerja-kerja dalam senyap. Pencurian
devisa dilakukan secara sistematis, masif dan terstruktur.
Proses perizinan sengaja dibiarkan tertutup. Tak banyak
informasi terkait rantai pengelolaan kekayaan alam tersebut. Tujuannya agar
publik tak banyak ikut campur. Kongkalingkong pejabat, pengusaha, pihak
keamanan, dan elit setempat bergerak dengan kompak dalam satu harmoni.
Diketuknya UU Minerba adalah petaka bagi pejabat daerah.
Terdengar bagai petir yang merobek telinga. Lebih-lebih bagi mereka yang baru
saja terpilih lewat Pilkada 2020 silam. Tidak balik modal. Lahan
"basahnya" sudah berpindah tangan.
Peralihan kuasa perizinan tersebut jadi babak baru dalam
pengelolaan sumber daya alam negara. Masih hangat pemberitaan awal tahun lalu,
Presiden mencabut 2.078 izin tambang yang dianggap 'nakal'. Ribut-ributnya
masih terdengar sampai sekarang. Entah pertanda baik atau sebaliknya.
"Hanya pergantian pemain saja. Nanti juga bakal dikocok
ulang itu barang. Upaya kanalisasi perizinan satu pintu oleh pusat. Intinya
pemerintah ingin mengembalikan monopoli perizinan yang selama ini jadi domain
daerah. ORBA Reborn," cetus kawanku. Saya hanya tertawa datar.
Bagi saya, sudah betul perizinan itu ada di daerah. Alasan
awal kenapa perizinan tidak di pusat, sebab daerah lah yang tahu persis kondisi
dan kebutuhannya. Mendekatkan kebijakan kepada publik. Termasuk soal
perlindungan lingkungan.
Yang perlu dibenahi adalah proses pengawasan. Dorong
pemerintah daerah untuk lebih akuntabel. Beri publik akses penuh terhadap
rantai pengelolaan SDA, dari perizinan hingga produksi agar turut terlibat
aktif mengawasi.
Terpenting dari semua itu, kuncinya terletak pada penegakkan
hukum dan kebijaksanaan pemerintah. The Man Behind The Gun. Tergantung pada si
pemegang pistol. Jika dia adalah seorang Oligarki bermental predator, semuanya
bakal dilumat tak bersisa.