Hai, perkenalkan nama saya Dinar. Kalian tahu siapa saya? Oke, memang masih terdengar asing bagi masyarakat luas, tapi jika kau seorang penggiat keuangan syariah, you must know, who am i? Sebab saya lah mata uang yang digadang-gadang sebagai mata uang masa depan, mata uang yang akan menopang laju pertumbuhan ekonomi syariah.
Sekali lagi pangil saya “Dinar”, nama saya ini bukan berasal dari bahasa Arab
loh! Nama saya diadopsi dari bahasa Romawi Timur, yakni denarius. Keren bukan?
Saya kira untuk
urusan nama sudah jelas. Lalu bagaimana dengan riwayat hidup?
Jauh sebelum kedatangan islam, dunia sudah melakukan transaksi
perdagangan, baik dalam skala internasional maupun domestik. Saat itu bangsa
Arab yang memang dikenal sebagai bangsa pedagang, sering sekali melakukan
transaksi dengan orang-orang dari Romawi Byzantium, Persia dan bangsa lainnya.
Bagaimana nasib saya? Ya, saya lah yang membantu mereka dalam
melakukan transaksi. Lewat tangan-tangan pedagang ini saya dibawa ke Jazirah
Arab. Saya menggantikan budaya barter sekaligus kulit unta yang berperan sebagai
alat transaksi sebelumnya. Saya adalah sarana pemersatu yang mempertemukan
kepentingan antar bangsa saat itu. Bangga nian jika saya mengingatnya. Kenapa
mengingat? Karena sekarang keadaannya sudah berubah. Saya sudah mulai
ditinggalkan karena dianggap kurang efisien. Nanti saya ceritakan kronologinya.
Berlanjut pada zaman Nabi Muha mmad, al-hamdulillah saya masih
diterima sebagai alat pembayaran dan pertukaran. Senang bukan kepalang. Bisa
jadi inilah pengamalan dari klausal fikih, “menerima sesuatu yang lama karena
ada kebaikan di dalamnya, dan menerima hal-hal baru yang lebih baik.” Sampai
kalimat di atas tentu anda dapat menyimpulkan, bahwa saya sebenarnya bukanlah
mata uang yang diwajibkan dalam islam. Saya hanyalah bentuk kompromi dengan
tradisi yang dinilai baik saat itu.[1]
Akan tetapi jika mau jujur, saya adalah mata uang yang tidak
tergerus nilainya sepanjang zaman. Maaf, bukan hendak sombong, ini fakta. Tentu
perkataan diatas bukanlah kalimat yang kering makna. Saya akan buktikan.
Dulu ketika saya berada di zaman Rosul, nilai saya sama dengan
harga satu kambing. Tidak banyak berubah sampai sekarang. Karena nilai saya
tahun 2015 setara dengan nilai Rp 2.016.609.[2]
Dengan uang senilai 2 juta, anda sudah mampu membeli kambing dengan kualitas
yang bagus. Dan saya jamin, anda juga akan menemukan hal serupa di masa
mendatang. Berani taruhan? Eits, itu perbuatan terlarang dalam Islam. Judi euy.
Oh iya, berat saya setara dengan 4,25 gram emas 22 karat dengan diameter 23 milimeter.[3]
Inilah ukuran standar dalam keluarga kami. Namun tidak ada jaminan bahwa ukuran
saya ini sama beratnya ketika saya berada pada zaman rosulullah dulu. Karena pada
saat pemerintahan zaman nabi, saya masih dicetak oleh bangsa Persia. Baru
ketika pemerintahan Abdul Malik bin
Marwan, kurang lebih 50 tahun setelah wafat nabi, saya lahir dan dicetak oleh
pemerintahan islam.
Apakah anda juga mengenal dirham? Dia adalah temanku, walaupun
nilai tukarnya lebih kecil dibanding saya, tapi kami selalu disandingkan bila
berbicara sejarah uang dalam islam.
Keberadaan kami berdua, juga pernah mendominasi pasar-pasar di
sebagian besar Nusantara. Ya, bumi Indonesia yang anda tempati sekarang. Kami digunakan
ketika Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326) berkuasa di Kerajaan Samudera
Pasai. Bedanya saat itu, ukuran saya tiap koinnya hanya memiliki berat 0,60
gram dan berdiameter 10 milimeter.[4] Dibagian
depan tubuh saya, tertera nama Muhammad Malik Al-Zahir sementara di bagian
belakang saya, tertera ungkapan ‘al-Sultan al-’Adl‘. Karenanya, saya
sudah punya hubungan erat dengan sejarah Indonesia. Jadi, jangan merasa asing
lagi jika mendengar nama saya, okey.
Lalu kenapa sekarang posisi saya tergantikan oleh mata uang rupiah?
Ceritanya panjang sob...
Sederhananya, mata uang kertas (rupiah dkk) memang benar
menggantikan saya, tentunya atas sepengetahuan saya (back up). Hal ini dilakukan
karena saya dirasa kurang efektif bila digunakan dalam transaksi kecil, membeli
permen contohnya. Hayooo... bingung kan cari kembaliannya?
Akibatnya, orang-orang dengan terpaksa menerima uang kertas sebagai
representasi saya (Emas/dinar). Di samping itu, hal ini juga dijamin langsung
oleh pemerintah bahwa kertas tersebut dapat ditukar dengan emas senilai dengan
nominal yang terdapat pada uang. Uang kertas ini juga bisa ditukar oleh si
pemegang uang, kapan pun mereka mau.
Tapi karena fitrah manusia, sosok yang tak luput dari salah dan
dosa. Mereka terlena. Perlahan-lahan uang yang dikeluarkan oleh negara justru
melampui populasi saya. Imbasnya, saya tak mampu lagi mengimbangi pertumbuhan uang
semu tersebut. Walhasil, saya digeser total oleh mata uang kertas. Dominasi
saya kalah banyak. Saya tidak berlaku lagi sebagai alat tukar. Saya
tersisihkan. Hiks...
Saya hanya melihat dari jauh bagaimana uang kertas membuat ulah dan
keributan di sana-sini. Salah satu ulah yang paling sering ia munculkan adalah
“inflasi”. Karena terus menerus dicetak,
uang kertas semakin mudah didapat. Nilai nominal dan nilai tukarnya sudah tidak
sepadan lagi.
Jika sebelumnya uang dengan nilai nominal Rp. 5000 bisa ditukar
dengan seporsi bubur ayam, namun belum tentu hal serupa bisa dilakukan esok
hari, karena bisa jadi harga produksi sudah meningkat berkali-kali lipat.
Nilai pada mata uang kertas memang tak pernah berubah, namun nilai
tukarnya dapat berubah setiap saat. Itulah uang kertas, ia sejatinya tidak
memiliki daya tukar, karena memang secara intrinsik, dia tidak memiliki nilai
ekonomi sebagaimana saya. Hanya saja, ada sebuah hukum yang dipaksakan melekat
atasnya. Dia dianggap punya nilai tukar. Inilah perbedaan mencolok dengan saya.
Saya selain bisa digunakan sebagai alat tukar, saya juga bisa
menyimpan nilai sekaligus alat pengukur nilai. Bagaimana? Dari penuturan saya di
atas, apakah anda berminat memperjuangkan saya kembali menggantikan uang
kertas? Tapi, pertumbuhan saya di Indonesia memang lambat. Kabarnya, memang ada
sosok yang tidak ingin saya memiliki keterkaitan dengan mata uang kertas. Sebut
saja namanya IMF (International Monetary Fund). Saya melihat gelagat ketidak
senangan itu dari indikasi negara-negara yang menjadi anggota IMF. Tak satupun
dari negara anggota IMF menjalin hubungan dengan saya. Bisa jadi ini memang
sengaja di design.Ada indikasi untuk mempersulit akses terhadap saya.
Beruntungnya, Bank Syariah di Indonesia sekarang sudah mulai
menciptakan produk-produk yang masih satu akar dengan saya. Seperti BRI Syariah
dengan produk Kepemilikan Logam Mulia-nya, BNI Syariah dengan produk pembiayaan
emas yang diberi nama Pembiayaan iB Emas Hasanah dan baru baru ini BSM juga
meluncurkan produk Cicil Emas. Ya, walaupun saya tidak menjadi pemeran
utamanya, tapi saya senang, karena kami (saya dan emas batangan) masih berasal
dari rumpun yang sama “emas”.
Sekalipun saya memang belum masuk pada Bank Syariah secara resmi, kabar
gembiranya! Saya sudah hadir di Indonesia melalui jalur semi perbankan. Sebuah
perusahaan Logam Mulia- PT. Aneka Tambang Tbk, telah memproduksi saya. Jadi, jangan
kaget bila dikemudian hari kita akan berjumpa. Karena saya yakin, ada banyak
orang yang semangat untuk kembali menggunakan saya. Semoga perjumpaan kita
tidak lama lagi. Wallahu a’lamu bishowab.
[1] Majalah
MySharing. 2012. Polemik Dinar Emas.
Edisi 70, tahun VII, Oktober 2012.
[2]
www.geraidinar.com
[3] Hidayatulloh,
Arif. 2013. Dinar Dirham dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia. http://ariefhidayatulloh.blogspot.com/2013/12/dinar-dirham-dan-sejarah.html
[4] Agustianto.
2011. Keunggulan dan Keberkahan Dinar. https://www.google.com/search?q=keunggulan+dan+keberkahan+dinar+agustianto&ie=utf-8&oe=utf-8.
Memang ekonomi syariah penuh berkah dan sesuai syariat
ReplyDeleteal hamdulillah ya mbak :D hehe
ReplyDeletetulisan mbak enak banget ngebacanya
Salam, artikelnya bagus, semoga menang, BTW thx udha mention majalah Sharing (Sekarang jadi MySharing)...:D
ReplyDeletesiaaap.. mimin nu kasep :D terimakasih atas kunjunganya
Deletemantap kak
ReplyDelete