Wednesday 12 August 2015

Perang Tanding Versus Kaum Rentenir



negeriemas.wordpress.com

Saya menulis artikel ini ditemani dengan secangkir kopi. Porsi kopinya memang sengaja lebih banyak dibanding gula. Bukan tanpa alasan, karena ciri khas dari kopi adalah rasa pahit. Ini salah satu cara saya untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Efek pahit yang dirasakan dari kopi, membuat saya sadar, bahwa saya ada di sini dan saat ini. Saya fokus.

Kopi yang saya seduh mengingatkan saya pada manager koperasi pemberdayaan Baitut Tamkin Tazkia Madani (BTTM), bapak Abdul Haris. Beliau sangat senang ketika saya bawakan oleh-oleh kopi dari kampung halaman. Kami pertama kali jumpa pada bulan Juni 2014. Saat itu saya magang di koperasi pemberdayaan yang dia pimpin. Sebuah lembaga keuangan syariah mikro yang berada di desa Babakan Madang, Bogor.

Saya seorang mahasiswa ekonomi. Setiap hari selalu mendiskusikan perihal ekonomi, dari yang makro sampai ke mikro, bahkan lebih kecil lagi “nano” ekonomi. Tapi, baru sekali ini saya melihat dari dekat, apa yang sering kami bahas di perkuliahan. Bagaimana cara memaknai ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas simbol pencapaian, tapi sebagai alat pembedah realitas kehidupan. Harus ada proses pembumian nilai dan keberpihakan pada kaum mustadh’afin di sana. 

Pengalaman magang di BTTM, bagi saya, adalah sebuah bagian hidup yang sangat berharga. Saya bisa merasakan bagaimana denyut nadi masyarakat kecil. Saya bersentuhan langsung dengan mereka. Lebih-lebih pengalaman merasakan bagaimana sengitnya pertarungan melawan kaum rentenir. Baik yang menjelma dalam bentuk perusahaan ataupun yang berdiri sendiri. 

wayang.wordpress.com
 
Kalimat terakhir itulah, yang membuat saya banyak merenung. Perlawanan melawan riba, ternyata tidak semudah memberikan argumen tentang keharamannya ketika berdiskusi di kelas, tidak juga segampang lontaran pendapat hukum (fatwa) para ulama. Semuanya akan sia-sia jika tidak ada yang terjun langsung ke lapangan. Seperti yang pernah disampaikan Anis Baswedan, perbuatan serupa baru sebatas “udun angan”, belum sampai “turun tangan.” 

Kita perlu melihat, meraba dan merasakan langsung bagaimana tiap jengkal perjuangan melawan riba yang sudah mengakar kuat di belahan bumi. Semuanya, musti ikut ambil bagian. Katakanlah antara Bank Syariah dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT), keduanya harus saling membantu dengan peranannya masing-masing. Tidak boleh saling melemahkan antar satu sama lain. Satu bergerak di bidang makro dan yang lain di bidang mikro. 

Ya, dari BTTM, saya berkesempatan menjajal islam substantif. Bagaimana islam dipahami, tidak hanya perkara masjid atau perdebatan golongan mana yang paling syar’i, tapi ada proses pemberian manfaat untuk sekitar dengan menjadikan kesejahteraan sebagai tujuannya. Menjadi agen Ilahiyah yang menebar rahmat di muka bumi. BTTM mencoba mengambil peran di ranah ini. Menjawab kebutuhan spiritual sekaligus finansial, karena selain kebutuhan ibadah, masyarakat kecil juga butuh penghidupan. Perkara SPP anak yang belum dibayar, asap dapur yang musti mengepul, usaha yang kekurangan modal, adalah sekelumit persoalan yang butuh tindakan cepat. Bila tidak mau dikatakan “mustahil selesai” dengan hanya berdebat.

Pada tahun 2014, ada sebanyak 1.419 orang yang menjadi binaan BTTM. Mereka tersebar di setiap desa yang ada di kecamatan Babakan Madang dan Sukaraja. Masing masing desa membentuk kelompok yang terdiri dari lima sampai dua puluh orang. Ada yang berlokasi di tengah keramaian seperti hunian sekitar Sirkuit Sentul, namun tak sedikit yang tinggal di pinggiran desa atau perkampungan dekat sawah, bahkan ada yang berlokasi di daerah Pegunungan Pandjar. Jalannya tentu sudah bisa ditebak. Berkelok, terjal dan menanjak, tapi bukan ini permasalahannya. Kabar buruknya! Kaum rentenir sudah lebih dulu masuk ke daerah-daerah di atas. Menjajahkan uang sebagai komoditas. Lalu mengambil bunga sebagai keuntungannya.

 
Tidak sedikit masyarakat Babakan Madang yang kepincut mengambil pinjaman dari mereka. Alasannya sederhana, kaum rentenir bersedia menggelotorkan dana yang lebih besar. Sedangkan BTTM, hanya mampu menyentuh angka dua juta. Tak lebih. Bukan karena BTTM tidak berani bermain di atas angka yang lebih besar, tapi karena dana yang ada, semaksimal mungkin diusahakan agar tersebar merata. Bukan hanya berpatokan pada untung-rugi semata, tapi bagaimana caranya agar uang yang dipinjamkan bisa disampaikan pada orang yang tepat. 

Ada satu pembeda yang membuat BTTM nampak lebih menarik. BTTM tak hanya memberikan pembinaan finansial, tapi juga menjawab kebutuhan spiritual. Bisa dikatakan ini yang menjadi nilai lebih BTTM. 

Sebelum memulai pertemuan, terlebih dahulu ada pengajian yang dipimpin langsung oleh petugas lapangan (Field Officer). Inilah bentuk lain dari pengamalan kata “Tamkin” pada BTTM, yakni pemberdayaan masyarakat untuk mecapai madani (kesejahteraan), baik secara duniawi maupun ukhrowi.

Oh iya, pola pembinaan yang ada di BTTM, diadaptasi dari Grameen Bank, lembaga keuangan besutan Muhammad Yunus yang ada di Bangladesh. Di BTTM, tidak ada jaminan dalam setiap pinjaman. Sehingga yang jadi modalnya adalah kepercayaan. Jadi, mau tak mau setiap karyawan di BTTM dituntut untuk mengenali setiap anggota binaan. Mulai dari kehidupan mereka, dimana mereka bekerja, berapa penghasilan mereka, bahkan perkembangan usaha mereka. Sehingga hubungan bukan lagi hanya sebatas mitra, tapi sudah seperti sebuah keluarga. Wajar bila kemudian mereka selalu bertukar kabar setiap minggunya. Pun jika ada salah seorang anggota yang sakit, ada sebuah peraturan yang mewajibkan karyawan untuk membesuknya. Keunikan lainnya, setiap anggota BTTM adalah para ibu rumah tangga.

Seperti yang kita ketahui bahwa BTTM dan juga BMT atau lembaga serupa, adalah salah satu ikhtiar dalam melawan riba pada masyarakat lapisan bawah. Namun tidak bisa dipungkiri, keberadaannya belum terlalu banyak dan masih kalah subur jika dibanding kaum rentenir. Padahal idealnya, satu desa mempunyai satu koperasi syariah.

Merujuk pada data Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2013, Indonesia memiliki 81.253 desa dan kelurahan. Semantara koperasi syariah dan BMT di Indonesia baru ada sebanyak 22.000 gerai. Walaupun pertumbuhannya terlihat signifikan mengingat koperasi syariah baru didirikan secara hukum pada tahun 2004[1], tapi angka ini masih jauh dari kata cukup. Sehingga seluruh penggiat ekonomi islam harus bekerja lebih keras lagi untuk mengenjot pertumbuhan lembaga keuangan syariah, baik itu BMT maupun Bank Syariah. Namun yang terpenting, setiap individu harus mau menyatu dan membangun agenda kolektif. Kerjasama dan gotong royong adalah pilihan yang tidak bisa ditawar agar berhasil melawan dominasi riba.

Tentu kita semua berharap akan ada banyak pelaku ekonomi syariah yang terpanggil dan terketuk hatinya untuk berkecimpung di garda terdepan dalam membumikan ekonomi islam. Bergerak cepat dalam menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat. Mudah-mudahan inilah yang dinamakan dengan menebar Rahmat untuk semesta.

Meminjam istilah Lalu Fatah dalam tulisannya Buka Lebar Pintu Toleransi, ini memang bukan proyek “Roro Jonggrang” yang bisa diwujudkan dalam waktu semalam. Jadi, jika tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi? Sudah siap untuk bergabung dalam proyek Ketuhanan ini? Selamat! Kita dalam satu barisan.



[1] FoSSEI. 2013. Menilik Perkembangan Koperasi Syariah dan Potensinya dalam Perbaikan Kesejahteraan Masyarakat. http://fossei.org/2013/01/menilik-perkembangan-koperasi-syariah-dan-potensinya-dalam-perbaikan-kesejahteraan-masyarakat/. Diakses 10 Agustus 2015.

6 comments:

  1. Paragraf akhirnya keren banget.
    bukan proyek roro jongrang yang bisa diwujudkan dalam semalam.
    sepakat bung

    ReplyDelete
  2. hahaha, yok kite gabung
    mumpung masih punya kesempatan :D

    ReplyDelete
  3. apakah kelebihan yang disebutkan dalam tulisa itu bisa dijadikan tolak ukur pembeda anatar BTTM dengan rentenir ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. serta seberapa efektif cara yang disebutkan dalam tulisan di atas? hehe

      Delete
  4. iya bal, pada tulisan di atas saya sampaikan bahwa rentenir menjadikan uang sebagai komoditas. uang yang dipinjam harus dibayar lebih dari nominal yang di pinjam. berbeda dengan BTTM, ia tidak mengambil kelebihan dari setiap pembiayaan melainkan berdasarkan akad bagi hasil.Hatur nuhun sudah komen :D

    ReplyDelete
  5. Susunan kata nya sangat menggugah, renyah dan begitu syahdu.

    Ini ditulis dengan hati.

    ReplyDelete