Saya menulis artikel ini ditemani dengan secangkir kopi. Porsi kopinya
memang sengaja lebih banyak dibanding gula. Bukan tanpa alasan, karena ciri
khas dari kopi adalah rasa pahit. Ini salah satu cara saya untuk menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Efek pahit yang dirasakan dari kopi, membuat saya
sadar, bahwa saya ada di sini dan saat ini. Saya fokus.
Kopi yang saya seduh mengingatkan saya pada manager koperasi
pemberdayaan Baitut Tamkin Tazkia Madani (BTTM), bapak Abdul Haris. Beliau
sangat senang ketika saya bawakan oleh-oleh kopi dari kampung halaman. Kami
pertama kali jumpa pada bulan Juni 2014. Saat itu saya magang di koperasi
pemberdayaan yang dia pimpin. Sebuah lembaga keuangan syariah mikro yang berada di
desa Babakan Madang, Bogor.
Saya seorang mahasiswa ekonomi. Setiap hari selalu mendiskusikan
perihal ekonomi, dari yang makro sampai ke mikro, bahkan lebih kecil lagi
“nano” ekonomi. Tapi, baru sekali ini saya melihat dari dekat, apa yang sering
kami bahas di perkuliahan. Bagaimana cara memaknai ilmu pengetahuan tidak hanya
sebatas simbol pencapaian, tapi sebagai alat pembedah realitas kehidupan. Harus
ada proses pembumian nilai dan keberpihakan pada kaum mustadh’afin di
sana.
Pengalaman magang di BTTM, bagi saya, adalah sebuah bagian hidup
yang sangat berharga. Saya bisa merasakan bagaimana denyut nadi masyarakat
kecil. Saya bersentuhan langsung dengan mereka. Lebih-lebih pengalaman
merasakan bagaimana sengitnya pertarungan melawan kaum rentenir. Baik yang menjelma
dalam bentuk perusahaan ataupun yang berdiri sendiri.
Kalimat terakhir itulah, yang membuat saya banyak merenung. Perlawanan
melawan riba, ternyata tidak semudah memberikan argumen tentang keharamannya
ketika berdiskusi di kelas, tidak juga segampang lontaran pendapat hukum
(fatwa) para ulama. Semuanya akan sia-sia jika tidak ada yang terjun langsung
ke lapangan. Seperti yang pernah disampaikan Anis Baswedan, perbuatan serupa
baru sebatas “udun angan”, belum sampai “turun tangan.”
Kita perlu melihat, meraba dan merasakan langsung bagaimana tiap
jengkal perjuangan melawan riba yang sudah mengakar kuat di belahan bumi. Semuanya,
musti ikut ambil bagian. Katakanlah antara Bank Syariah dan Baitul Mal wat Tamwil
(BMT), keduanya harus saling membantu dengan peranannya masing-masing. Tidak
boleh saling melemahkan antar satu sama lain. Satu bergerak di bidang makro dan
yang lain di bidang mikro.
Ya, dari BTTM, saya berkesempatan menjajal islam substantif.
Bagaimana islam dipahami, tidak hanya perkara masjid atau perdebatan golongan
mana yang paling syar’i, tapi ada proses pemberian manfaat untuk sekitar dengan
menjadikan kesejahteraan sebagai tujuannya. Menjadi agen Ilahiyah yang menebar
rahmat di muka bumi. BTTM mencoba mengambil peran di ranah ini. Menjawab kebutuhan
spiritual sekaligus finansial, karena selain kebutuhan ibadah, masyarakat kecil
juga butuh penghidupan. Perkara SPP anak yang belum dibayar, asap dapur yang musti
mengepul, usaha yang kekurangan modal, adalah sekelumit persoalan yang butuh
tindakan cepat. Bila tidak mau dikatakan “mustahil selesai” dengan hanya berdebat.
Pada tahun 2014, ada sebanyak 1.419 orang yang menjadi binaan BTTM.
Mereka tersebar di setiap desa yang ada di kecamatan Babakan Madang dan
Sukaraja. Masing masing desa membentuk kelompok yang terdiri dari lima sampai
dua puluh orang. Ada yang berlokasi di tengah keramaian seperti hunian sekitar
Sirkuit Sentul, namun tak sedikit yang tinggal di pinggiran desa atau
perkampungan dekat sawah, bahkan ada yang berlokasi di daerah Pegunungan
Pandjar. Jalannya tentu sudah bisa ditebak. Berkelok, terjal dan menanjak, tapi
bukan ini permasalahannya. Kabar buruknya! Kaum rentenir sudah lebih dulu masuk
ke daerah-daerah di atas. Menjajahkan uang sebagai komoditas. Lalu mengambil
bunga sebagai keuntungannya.
Tidak sedikit masyarakat Babakan Madang yang kepincut mengambil pinjaman dari mereka.
Alasannya sederhana, kaum rentenir bersedia menggelotorkan dana yang lebih
besar. Sedangkan BTTM, hanya mampu menyentuh angka dua juta. Tak lebih. Bukan
karena BTTM tidak berani bermain di atas angka yang lebih besar, tapi karena
dana yang ada, semaksimal mungkin diusahakan agar tersebar merata. Bukan hanya berpatokan
pada untung-rugi semata, tapi bagaimana caranya agar uang yang dipinjamkan bisa
disampaikan pada orang yang tepat.
Ada satu pembeda yang membuat BTTM nampak lebih menarik. BTTM tak
hanya memberikan pembinaan finansial, tapi juga menjawab kebutuhan spiritual. Bisa
dikatakan ini yang menjadi nilai lebih BTTM.
Sebelum memulai pertemuan, terlebih dahulu ada pengajian yang
dipimpin langsung oleh petugas lapangan (Field Officer). Inilah bentuk lain
dari pengamalan kata “Tamkin” pada BTTM, yakni pemberdayaan masyarakat untuk
mecapai madani (kesejahteraan), baik secara duniawi maupun ukhrowi.
Oh iya, pola pembinaan yang ada di BTTM, diadaptasi dari Grameen
Bank, lembaga keuangan besutan Muhammad Yunus yang ada di Bangladesh. Di BTTM,
tidak ada jaminan dalam setiap pinjaman. Sehingga yang jadi modalnya adalah
kepercayaan. Jadi, mau tak mau setiap karyawan di BTTM dituntut untuk mengenali
setiap anggota binaan. Mulai dari kehidupan mereka, dimana mereka bekerja,
berapa penghasilan mereka, bahkan perkembangan usaha mereka. Sehingga hubungan
bukan lagi hanya sebatas mitra, tapi sudah seperti sebuah keluarga. Wajar bila
kemudian mereka selalu bertukar kabar setiap minggunya. Pun jika ada salah
seorang anggota yang sakit, ada sebuah peraturan yang mewajibkan karyawan untuk
membesuknya. Keunikan lainnya, setiap anggota BTTM adalah para ibu rumah
tangga.
Seperti yang kita ketahui bahwa BTTM dan juga BMT atau lembaga
serupa, adalah salah satu ikhtiar dalam melawan riba pada masyarakat lapisan
bawah. Namun tidak bisa dipungkiri, keberadaannya belum terlalu banyak dan
masih kalah subur jika dibanding kaum rentenir. Padahal idealnya, satu desa
mempunyai satu koperasi syariah.
Merujuk pada data Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2013,
Indonesia memiliki 81.253 desa dan kelurahan. Semantara koperasi syariah dan
BMT di Indonesia baru ada sebanyak 22.000 gerai. Walaupun pertumbuhannya terlihat
signifikan mengingat koperasi syariah baru didirikan secara hukum pada tahun
2004[1],
tapi angka ini masih jauh dari kata cukup. Sehingga seluruh penggiat ekonomi
islam harus bekerja lebih keras lagi untuk mengenjot pertumbuhan lembaga
keuangan syariah, baik itu BMT maupun Bank Syariah. Namun yang terpenting, setiap
individu harus mau menyatu dan membangun agenda kolektif. Kerjasama dan gotong
royong adalah pilihan yang tidak bisa ditawar agar berhasil melawan dominasi
riba.
Tentu kita semua berharap akan ada banyak pelaku ekonomi syariah
yang terpanggil dan terketuk hatinya untuk berkecimpung di garda terdepan dalam
membumikan ekonomi islam. Bergerak cepat dalam menjawab permasalahan yang
dihadapi masyarakat. Mudah-mudahan inilah yang dinamakan dengan menebar Rahmat
untuk semesta.
Meminjam istilah Lalu Fatah dalam tulisannya Buka Lebar Pintu
Toleransi, ini memang bukan proyek “Roro Jonggrang” yang bisa diwujudkan
dalam waktu semalam. Jadi, jika tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi? Sudah
siap untuk bergabung dalam proyek Ketuhanan ini? Selamat! Kita dalam satu
barisan.
[1] FoSSEI. 2013. Menilik Perkembangan Koperasi Syariah
dan Potensinya dalam Perbaikan Kesejahteraan Masyarakat. http://fossei.org/2013/01/menilik-perkembangan-koperasi-syariah-dan-potensinya-dalam-perbaikan-kesejahteraan-masyarakat/. Diakses 10 Agustus 2015.
Paragraf akhirnya keren banget.
ReplyDeletebukan proyek roro jongrang yang bisa diwujudkan dalam semalam.
sepakat bung
hahaha, yok kite gabung
ReplyDeletemumpung masih punya kesempatan :D
apakah kelebihan yang disebutkan dalam tulisa itu bisa dijadikan tolak ukur pembeda anatar BTTM dengan rentenir ?
ReplyDeleteserta seberapa efektif cara yang disebutkan dalam tulisan di atas? hehe
Deleteiya bal, pada tulisan di atas saya sampaikan bahwa rentenir menjadikan uang sebagai komoditas. uang yang dipinjam harus dibayar lebih dari nominal yang di pinjam. berbeda dengan BTTM, ia tidak mengambil kelebihan dari setiap pembiayaan melainkan berdasarkan akad bagi hasil.Hatur nuhun sudah komen :D
ReplyDeleteSusunan kata nya sangat menggugah, renyah dan begitu syahdu.
ReplyDeleteIni ditulis dengan hati.