Minimarket Halal di Korea |
“Ngapain
sibuk nerbitin sertifikat halal. Indonesia kan mayoritas penduduknya muslim.
Yang dibutuhkan malah sebaliknya, sertifikat HARAM." Itulah sebait kalimat
yang kuucapkan, saat bertemu seorang kawan. Dia sosok yang getol
kampanye tentang industri Halal di Indonesia.
Kulihat dia agak terganggu dengan celetukanku. Namun tidak dilampiaskannya dengan
kekesalan. Alih-alih tutup telinga dengan endapan pemahaman pribadinya, ia
malah meladeniku dengan kumpulan argumen balasan. Aku suka. Di banyak
kesempatan, kami memang sudah terbiasa diskusi dengan tensi berapi-api.
Seduhan
kopi liong dan kacang kulit yang kami pesan, jadi teman dialektika yang cukup
asik. Tak terasa sudah habis dua bungkus.
"Jon,
penggunaan istilah halal-haram memang terkesan fanatik dan ekslusif khusus agama
Islam. Namun kita harus maklum, fenomena tersebut merupakan sumbangan dari
politisasi agama dalam perhelatan politik. Di tingkat global, entah muslim atau
bukan, semuanya sepakat industri halal sedang naik daun. Ia pendatang baru yang
dianggap punya prospek besar untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Tak sekerdil
hanya pada sertifikasi makanan saja,” timpalnya.
Baca juga: Potensi Produk Halal dalam Gelanggang MEA
Dia
lalu menjelaskan panjang lebar industri halal lintas sektor. Mulai dari
makanan, biro perjalanan, keuangan, fashion, pendidikan, pariwisata dan lain-lain. Dia
juga mention beberapa negara “kafir” yang menjadi pemain tangguh di sektor industri
halal. Negara Australia contohnya, dikenal sebagai juara pemasok daging halal
di dunia. Brazil sebagai negara pengekspor pangan halal terbesar.
“Bayangkan,
Seoul saja sedang bersiap-siap mengembangkan pariwisata syariah. Mereka sadar,
pecinta Kpop dan Drama Korea di hampir setiap belahan dunia ingin melihat
langsung Oppa dan Ahjussi di negara Ginseng itu. Gelombang wisatawan terus
meningkat dari waktu ke waktu. Tak sedikit dari mereka berasal dari negara
muslim,” ucap kawanku.
Dia
melanjutkan, tanpa melihat perbedaan agama, suku atau bangsa, Negara Korea menyambut
peluang tersebut. Disiapkan pelayanan yang sesuai kebutuhan masyarakat global.
Mereka paham betul, untuk menembus pasar dunia, mereka musti punya komunikasi
yang lentur. Toleransi adalah kunci untuk mengakses kue ekonomi. Walaupun
motif laba memang terlihat dominan. Namun harus diakui, logika kapital memang
mesin penggerak dunia paling paten saat ini.
Didukung kemajuan
teknologi semakin membuat masyarakat global saling terhubung. Menyulap semua
negara serupa dusun-dusun kecil yang terintegrasi. Persinggungan antar bangsa
menjadi sebuah keniscayaan. Dialog kebudayaan, ekonomi dan ilmu pengetahuan
terjadi setiap saat. Indonesia dengan penduduk muslim terbanyak dunia serupa
kolam besar dengan ikan yang melimpah. Pasar potensial yang bakal menyerap
semua produk industri halal.
Aku
tercekat saat mendengar penjelasannya. Aku jadi teringat skripsiku yang
membahas label halal dalam mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli
produk. Hasilnya signifikan. Di salah satu pertanyaan terbuka penelitian,
perihal alasan memilih produk bersertifikasi halal, ada responden yang menjawab
begini;
“Pertimbangan saya memilih produk yang ada label halal, karena jaminan kehalalan-nya ditentukan oleh banyak hal, dimulai dari pemilihan bahan baku, proses produksi, packaging, hingga ke logistiknya,” tulisnya.
Ya,
penentuan halal-tidaknya sebuah produk juga dilihat dari prosesnya. Lidzatihi wa
lighoirihi. Misalkan mie instan, sekalipun terbuat dari bahan baku halal,
jika dalam proses pembuatannya banyak merugikan hak-hak karyawan, maka belum
bisa dikatakan halal seratus persen. Begitu idealnya. Walaupun dalam
pengejawantahannya belum seketat dan sedalam dalilnya.
Untuk
soal memaksimalkan industri halal, Indonesia masih jauh tertinggal. Merujuk
laporan Global Islamic Indeks, negara kita menempati urutan 10 sebagai produsen
produk halal dunia. Sementara di sisi lain, kita tercatat peringkat kelima
sebagai negara pengimpor produk halal. Neraca perdagangannya defisit, sekaligus
memperpanjang deretan fakta bahwa Indonesia adalah juara impor dunia. Aih!
“Jadi,
apa alasan yang membuat kita engan untuk mengambil bagian dalam Industri halal?
Padahal jika kita sadar, dengan potensi penduduk muslim terbanyak dunia,
Indonesia bisa mengendalikan industri halal dan menjadi kiblat. Kita punya
pasar sekaligus suara terbanyak untuk mempengaruhi industri tersebut. Bahkan standarisasi
halal bisa dijadikan sistem proteksi negara dari gempuran produk impor.
Lagipula, halal itu bukan istilah untuk golongan tertentu. Ia nilai universal
yang bisa dianut semua orang.”
Kawanku
sudah hampir sampai pada kesimpulan. Dia tersenyum tenang saat melihatku
mengangguk-angguk tanda sepakat. Pertanda diskusi akan segera usai. Dikupasnya kulit
kacang terakhir dari bungkus keempat.
“Lalu, kenapa
harus pakai istilah industri ‘halal’ yang terkesan Arab?” cetusku. Dengan
lemas, dipesannya lagi kacang garuda untuk bungkus selanjutnya.
Cetusan terakhirmu memang sedikit menyebalkan bang aha
ReplyDeleteBiar tidak langsung klimaks bang. Hehe
Delete