Thursday 30 January 2020

Industri Halal Indonesia: Pelopor, Pengekor atau Pengimpor?

Minimarket Halal di Korea
“Ngapain sibuk nerbitin sertifikat halal. Indonesia kan mayoritas penduduknya muslim. Yang dibutuhkan malah sebaliknya, sertifikat HARAM." Itulah sebait kalimat yang kuucapkan, saat bertemu seorang kawan. Dia sosok yang getol kampanye tentang industri Halal di Indonesia.

Kulihat dia agak terganggu dengan celetukanku. Namun tidak dilampiaskannya dengan kekesalan. Alih-alih tutup telinga dengan endapan pemahaman pribadinya, ia malah meladeniku dengan kumpulan argumen balasan. Aku suka. Di banyak kesempatan, kami memang sudah terbiasa diskusi dengan tensi berapi-api.

Seduhan kopi liong dan kacang kulit yang kami pesan, jadi teman dialektika yang cukup asik. Tak terasa sudah habis dua bungkus.

"Jon, penggunaan istilah halal-haram memang terkesan fanatik dan ekslusif khusus agama Islam. Namun kita harus maklum, fenomena tersebut merupakan sumbangan dari politisasi agama dalam perhelatan politik. Di tingkat global, entah muslim atau bukan, semuanya sepakat industri halal sedang naik daun. Ia pendatang baru yang dianggap punya prospek besar untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Tak sekerdil hanya pada sertifikasi makanan saja,” timpalnya.

Baca juga: Potensi Produk Halal dalam Gelanggang MEA

Dia lalu menjelaskan panjang lebar industri halal lintas sektor. Mulai dari makanan, biro perjalanan, keuangan, fashion, pendidikan, pariwisata dan lain-lain. Dia juga mention beberapa negara “kafir” yang menjadi pemain tangguh di sektor industri halal. Negara Australia contohnya, dikenal sebagai juara pemasok daging halal di dunia. Brazil sebagai negara pengekspor pangan halal terbesar.

“Bayangkan, Seoul saja sedang bersiap-siap mengembangkan pariwisata syariah. Mereka sadar, pecinta Kpop dan Drama Korea di hampir setiap belahan dunia ingin melihat langsung Oppa dan Ahjussi di negara Ginseng itu. Gelombang wisatawan terus meningkat dari waktu ke waktu. Tak sedikit dari mereka berasal dari negara muslim,” ucap kawanku. 

Dia melanjutkan, tanpa melihat perbedaan agama, suku atau bangsa, Negara Korea menyambut peluang tersebut. Disiapkan pelayanan yang sesuai kebutuhan masyarakat global. Mereka paham betul, untuk menembus pasar dunia, mereka musti punya komunikasi yang lentur. Toleransi adalah kunci untuk mengakses kue ekonomi. Walaupun motif laba memang terlihat dominan. Namun harus diakui, logika kapital memang mesin penggerak dunia paling paten saat ini.

Didukung kemajuan teknologi semakin membuat masyarakat global saling terhubung. Menyulap semua negara serupa dusun-dusun kecil yang terintegrasi. Persinggungan antar bangsa menjadi sebuah keniscayaan. Dialog kebudayaan, ekonomi dan ilmu pengetahuan terjadi setiap saat. Indonesia dengan penduduk muslim terbanyak dunia serupa kolam besar dengan ikan yang melimpah. Pasar potensial yang bakal menyerap semua produk industri halal.

Aku tercekat saat mendengar penjelasannya. Aku jadi teringat skripsiku yang membahas label halal dalam mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli produk. Hasilnya signifikan. Di salah satu pertanyaan terbuka penelitian, perihal alasan memilih produk bersertifikasi halal, ada responden yang menjawab begini;

“Pertimbangan saya memilih produk yang ada label halal, karena jaminan kehalalan-nya ditentukan oleh banyak hal, dimulai dari pemilihan bahan baku, proses produksi, packaging, hingga ke logistiknya,” tulisnya.

Ya, penentuan halal-tidaknya sebuah produk juga dilihat dari prosesnya. Lidzatihi wa lighoirihi. Misalkan mie instan, sekalipun terbuat dari bahan baku halal, jika dalam proses pembuatannya banyak merugikan hak-hak karyawan, maka belum bisa dikatakan halal seratus persen. Begitu idealnya. Walaupun dalam pengejawantahannya belum seketat dan sedalam dalilnya.

Untuk soal memaksimalkan industri halal, Indonesia masih jauh tertinggal. Merujuk laporan Global Islamic Indeks, negara kita menempati urutan 10 sebagai produsen produk halal dunia. Sementara di sisi lain, kita tercatat peringkat kelima sebagai negara pengimpor produk halal. Neraca perdagangannya defisit, sekaligus memperpanjang deretan fakta bahwa Indonesia adalah juara impor dunia. Aih!

“Jadi, apa alasan yang membuat kita engan untuk mengambil bagian dalam Industri halal? Padahal jika kita sadar, dengan potensi penduduk muslim terbanyak dunia, Indonesia bisa mengendalikan industri halal dan menjadi kiblat. Kita punya pasar sekaligus suara terbanyak untuk mempengaruhi industri tersebut. Bahkan standarisasi halal bisa dijadikan sistem proteksi negara dari gempuran produk impor. Lagipula, halal itu bukan istilah untuk golongan tertentu. Ia nilai universal yang bisa dianut semua orang.”

Kawanku sudah hampir sampai pada kesimpulan. Dia tersenyum tenang saat melihatku mengangguk-angguk tanda sepakat. Pertanda diskusi akan segera usai. Dikupasnya kulit kacang terakhir dari bungkus keempat.

“Lalu, kenapa harus pakai istilah industri ‘halal’ yang terkesan Arab?” cetusku. Dengan lemas, dipesannya lagi kacang garuda untuk bungkus selanjutnya.

2 comments:

  1. Cetusan terakhirmu memang sedikit menyebalkan bang aha

    ReplyDelete