Sunday 2 February 2020

Orang "Pulo" Dalam Kepungan Wisatawan

Bersama Bang Qustam usai mengecek bakal lokasi lobster.
"Wah, Kapok! Jalan-jalan pake kapal laut. Masih mending naik gunung," kata seorang lelaki saat menimpali guide-nya. Kapal yang kami tumpangi berkali-kali dihantam ombak besar. Berulang kali pula seisi di dalamnya terpental. Terpaan angin Barat pagi itu, sukses mendaratkan gulungan air laut ke badan kapal. Oleng kapten!

Ketika yang lain berteriak histeris, aku malah tertidur pulas. Sebab sebelumnya, kelopak mataku terus terbuka sepanjang malam. Seandainya kapal Cina dan Indonesia perang sekalipun, pasti aku tak sadar. Sedari awal masuk kapal, aku sudah mencari posisi untuk rebahan. Beralas matras pelampung, aku melayang ke alam mimpi.

Saat terbangun, aku hanya melihat lambung kapal sudah penuh sesak oleh penumpang. Matras sudah berserakan. Perempuan di sampingku menyembungkuskan mukanya ke dalam kresek hitam. Ia mabuk laut.

Perjalanan ke Pulau Seribu, diawali ajakan bang Muhammad Qustam Sahibuddin untuk menemaninya mengecek lokasi pembudidayaan Ikan Kerapu di pulau Panggang. Salah satu unit bisnis yang berada dibawah naungan PKSPL-IPB.

Tanpa banyak pertimbangan, langsung saja kuiyakan. Hitung-hitung memperkaya sudut pandang kebaharian. Agar istilah "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" tak hanya menjadi slogan kosong saja.

Teng, pukul 04.00 pagi saat bumi Pasundan diguyur hujan, kami bergegas dengan Katana, mobil legendaris. Suara decitan penyeka kaca mobil menemani hingga ke Pelabuhan Muara Angke. Ya, pinggiran ibukota itu juga tak luput  dari sergapan hujan.

Saat sampai di pelabuhan, realitas khas pasar pesisir langsung tercium. Aroma lembab garam berpadu amis ikan, plus becek hujan. Kulihat loket tiket dipadati manusia dengan beragam rupa. Rata-rata wisatawan. Di samping antrian terdapat waring yang dihinggapi lalat-lalat besar. Kupikir mereka juga sedang ikut berteduh dari sapaan cuaca yang kurang bersahabat.

"Jon, sini KTP-mu," ucap Bang Qustam.

Deg! Aku langsung lemas. Jangankan KTP, satupun tak ada indentitas diri yang kubawa. Sumpah, aku baru tahu kao beli tiket harus pakai KTP. Aku tidak terbiasa memakai dompet. Semuanya kusimpan dalam tas. Sayangnya, saat ke sini, aku bukan menggunakan tas yang biasa kupakai.

Beruntung masih bisa diakali. Ada scan KTP di hapeku. Petugas loket juga tak begitu rewel. Akhirnya dua tiket sudah di tangan. Aih, betapa kegundahan dan kebahagiaan kadang hanya dibatasi oleh senar tipis bernama detik. Keduanya bisa berbalik dalam sekejap.

Saat kapal menepi di Pulau Pari, penumpang berkurang lebih dari setengah. Sisanya tak sampai sepuluh orang, termasuk aku dan bang Qustam.

"Ternyata yang asli orang pulo sedikit ya," ucap seorang pria pada istrinya dengan dilaek "mengayun". Ya,  masyarakat yang tinggal di kepulauan Seribu, Jakarta, menamakan diri mereka dengan sebutan "Orang Pulo". Begitupun orang luar menamai mereka. Sapaan tersebut sekaligus mempertebal identitas mereka sebagai penduduk bahari. Masyarakat yang lahir dan besar dalam asuhan laut.

Aku mengaminkan. Kulihat orang-orang yang turun didominasi oleh anak muda. Tampilan mereka khas traveller. Kacamata hitam, tas carrier lengkap dengan perlengkapan camping. Ditambah, ini akhir pekan. Waktunya liburan bagi masyarakat perkotaan.

0 komentar:

Post a Comment