Friday 3 January 2020

Melacak Keterbelakangan Teknologi Indonesia

Sumber ilustrasi: Kompasiana.com
Di sebuah hunian salah satu perumahan di Bogor, aku dan Andre fokus merapikan pekarangan rumah. Aku tinggal sementara di tempat senior. Beberapa hari lalu ia berpesan agar memanggil tukang saja untuk memotong rumput yang sudah meraja lela.

Sayangnya, selalu saja ada alasan yang menjegalnya. Jadilah aku dan Andre berinisiatif mengambil alih pekerjaan tersebut.

Kalau saja tukang rumput tak berhalangan, mungkin hanya membutuhkan waktu dua-tiga jam untuk membasmi rumput-rumput itu. Tapi ceritanya jadi berbeda ketika dikerjakan secara konvensional, kami berdua membutuhkan waktu tiga hari untuk menyelesaikannya.

Selain tidak biasa, kami juga sering menyelinginya dengan aktivitas sempalan. Tidak benar-benar fokus dan konsisten. Ya guyon, ngobrol, kadang rehat sejenak lalu main cupang dan terlena.

Saat bersih-bersih, berulang kali kami berandai-andai tentang keberadaan mesin rumput. Tidak perlu membuang banyak tenaga. Cukup tekan tombol on, lalu pekerjaan selesai dalam sekejap. Diam-diam aku jadi sadar, teknologi memang sangat membantu. Kehadirannya bisa meringankan pekerjaan manusia. Membuat waktu jadi lebih efisien.

Mungkin itu juga yang menjadi alasan, kenapa negara-negara maju selalu lebih unggul dibanding negara berkembang dalam hal produktivitas. Sistem kerja mereka ditopang oleh industri yang digerakkan langsung oleh alat-alat teknologi maha canggih.

Ia serupa energi yang memompa produktivitas suatu negara berkali lipat. Saat tenaga seorang manusia hanya mampu menjahit satu baju, maka di waktu bersamaan satu mesin bisa menghasilkan pasar baju.

Aku jadi teringat buku Keterbelakangan Teknologi yang ditulis oleh Prof. Didin, bang Auhadillah dkk. Ada fakta mengelitik yang menelanjangi Indonesia. Kecakapan teknologi negara kita jauh tertinggal dibanding beberapa negara tetangga. Sebut saja Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand. Empat negara tersebut memiliki daya saing di atas Indonesia.

Tingkat penggunaan teknologi dalam aktivitas produksi mereka lebih mumpuni ketimbang kita. Padahal kita sama-sama tahu, teknologi merupakan faktor penting dalam interaksi antar negara. Saking vitalnya, ia serupa ‘nyawa’ bagi keberlangsungan abad 21 saat ini.

Dalam sejarah, Indonesia bukanlah bangsa ecek-ecek. Kita pernah jadi kiblat peradaban dunia. Termasuk elit papan atas dalam hal penguasaan teknologi. Pada zamannya, kita pernah jadi kuncen atas segala pesan zaman.

Benar juga apa yang pernah disampaikan oleh Gus Muwafiq. Dilihat dari alat musik saja, kita sudah bisa menarik kesimpulan, betapa canggihnya penguasaan teknologi kita di masa lampau. Saat bangsa Timur Tengah identik dengan Gambus, Barat dikenal dengan gitar, notabene kedua alat musiknya dibuat dengan cara sederhana.

Sementara pendahulu kita sudah mampu melahirkan alat musik berupa gamelan. Rumit dan detail. Tentu butuh penguasaan skill untuk mengekstrak logam. Nusantara jauh melampaui zamannya saat itu.

Perhatikan juga keberadaan Candi Borobudur, bukti bahwa penguasaan teknologi dalam bidang arsitektur bangsa Indonesia di atas rata-rata. Lihatlah bangunannya yang simetris. Begitu rapi dengan rilief yang sarat oleh muatan nasihat leluhur.

Melalui tapak jejak kerajaan Majapahit, kita bisa melihat simbol penguasaan teknologi dalam sektor agraris. Mustahil muncul kerajaan yang besar tanpa disokong keahlian di bidang pertanian, sistem irigasi yang baik dan alat bercocok tanam yang melampaui zaman hari itu.

Baca juga: Hilangnya Tradisi Bertani (Terkikisnya Guyub, Perkasanya Laba) 
Lewat sejarah kerajaan Sriwijaya, kita juga bisa menelusuri kecanggihan teknologi perkapalan nenek moyang Indonesia. Selain sebagai penguasa Selat Malaka, sejarah Sriwijaya memperlihatkan pada kita, bahwa masyarakat Nusantara telah memiliki bekal historis selaku pedagang yang cekatan jauh sebelum abad 21.

Mobilitasnya tinggi dengan jalur dagang antar wilayah. Meretas pulau manggapai benua. Masyarakat Nusantara memang sudah menjadi bangsa Maritim sejak dalam rahim. Lautan luas tidak dipandang sebagai pembatas, namun dimaknai sebagai penghubung. Keren memang. Itu dulu, sekarang beda cerita.

Paska dihantam oleh badai kolonialisme berabad-abad lamanya, bangunan ilmu pengetahuan dan kebudayaan nusantara hancur lebur tak tersisa. Kita memasuki masa-masa kelam sebagai sebuah bangsa. Termasuk juga pencapaian dalam teknologi. Layaknya flashdisk dengan muatan full memori, tiba-tiba direstart ulang. Kosong melompong!

Jika saja tak disela oleh penjajahan, mungkin estafet peradaban bakal terus berlanjut. Tidak menempatkan kita sebagai bangsa terbelakang, pun dalam hal teknologi. Sehingga tidak meninggalkan kerusakan parah yang menimpa karakteristik kita selaku anak bangsa yang lahir kemudian.

Lantas bagaimana? Entahlah... Lieur aing! 

Baca juga: Mengintip Sekolah Zaman Penjajah

0 komentar:

Post a Comment